Catatan Penting dari LSM, Menteri hingga Polisi untuk UU TPKS

CNN Indonesia
Rabu, 13 Apr 2022 15:54 WIB
Sejumlah LSM, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) hingga polisi merespons UU TPKS yang disahkan oleh DPR RI.
Ilustrasi UU TPKS yang mengatur kekerasan seksual disahkan DPR RI. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia --

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyoroti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang belum seutuhnya mengakomodir hak-hak korban.

Sebelumnya, rapat paripurna DPR secara resmi mengesahkan RUU TPKS menjadi undang-undang. Pengesahan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-19 masa sidang IV tahun sidang 2021-2022.

"Hak korban terkait penanganan belum seluruhnya diakomodir, seperti hak atas kemudahan mengakses layanan pengaduan, hak untuk menyampaikan keterangan dan pendapat secara bebas," ujar Pengacara publik LBH Jakarta, Citra Referandum, melalui keterangan tertulis, Rabu (14/3).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia merinci korban kekerasan seksual juga belum diakomodir terkait hak untuk mendapatkan izin meninggalkan pekerjaan dengan mendapat upah penuh, hak bebas dari pertanyaan menjerat, dan hak untuk tidak mendapatkan stigma dan perlakuan diskriminasi dan UU TPKS.

Sedangkan, terkait perlindungan, Citra membeberkan beberapa contoh hak yang belum diakomodir seperti hak untuk mendapatkan pemberdayaan hukum dan terlibat dalam proses pelaksanaan perlindungan serta hak untuk mendapatkan layanan rumah aman.

"[Termasuk] hak untuk mendapatkan informasi dalam hal tersangka atau terdakwa tidak ditahan atau terpidana akan selesai menjalani masa hukuman," sambungnya.

Bahkan, menurut Citra, hak pemulihan korban pun belum sepenuhnya diakomodir. Padahal, pemulihan dianggap sebagai bagian fundamental dalam proses pembahasan UU TPKS. Salah satu yang disebut Citra adalah hak atas pemulihan sosial budaya dan hak atas pemulihan politik.

"Meski sudah mengatur pemulihan secara fisik, psikologi dan ekonomi namun UU TPKS belum menjamin kebutuhan korban dengan rinci," ucap Citra.

Ia memberikan contoh terkait jaminan atas kebutuhan dasar yang layak bagi korban serta kemudahan akses untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Catatan LBH APIK untuk UU TPKS

Sementara itu, Koordinator pelaksana Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Khotimun Sutanti pengesahan TPKS jadi harapan baru bagi para pendamping maupun korban kekerasan seksual sebagai payung hukum untuk memperoleh hak atas keadilan.

"Serta memperkuat mandat pencegahan kekerasan seksual baik bagi pemerintah maupun peran serta masyarakat," ujarnya ketika dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Rabu (13/4).

Hanya saja, Khotimun mengatakan, pengesahan UU TPKS dalam rapat paripurna kemarin masih menyisakan beberapa hal yang yang tidak sesuai harapan. Salah satu terkait tindak kekerasan pemerkosaan yang masih belum terakomodasi dalam UU TPKS.

"Jadi deliknya telah disebutkan di UU TPKS, namun rumusannya direncanakan akan ada di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Itu sebetulnya yang belum sesuai dengan apa yang kita harapkan," jelasnya.

Khotimun mengatakan, keberadaan aturan yang dipisahkan dalam dua UU yang berbeda tersebut dikhawatirkan akan menyulitkan implementasi hukum di lapangan. Terlebih pembahasan RKUHP di DPR saat ini masih belum menemukan titik terang.

"RKUHP merupakan RUU yang kompleks dengan berbagai isu serta beberapa Pasal yang masih kontroversial di masyarakat, sehingga potensi (delik perkosaan) berlarut-larut untuk disahkan dapat terjadi," tuturnya.

Apabila kondisi tersebut masih terjadi, Khotimun mengatakan, mau tidak mau penanganan kasus pemerkosaan masih harus menggunakan aturan KUHP yang lama, yakni Pasal 285 s.d. Pasal 288 KUHP.

Padahal menurutnya, aturan ini sudah sejak lama dikritik oleh pelbagai kelompok masyarakat lantaran belum memadai dan tidak sepenuhnya memiliki keberpihakan terhadap korban.

Sebab hanya mengakomodasi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi penis ke vagina yang dapat dibuktikan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi.

Meski begitu, pihaknya tetap mendorong pemerintah untuk segera menerbitkan UU TPKS yang telah disahkan dalam rapat paripurna di DPR, Selasa (12/4).

Sementara itu, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid juga mengaku UU TPKS belum sempurna tapi sangat dibutuhkan.

"Meskipun UU TPKS adalah legislasi yang sangat diperlukan, UU ini belum sempurna," kata Usman sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (13/4).

Senada dengan LBH APIK, ia juga mendesak DPR memastikan pasal-pasal mengenai perkosaan yang bakal diatur dalam RKUHP sesuai dengan UU TPKS dan mengutamakan hak-hak korban.

Catatan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak hingga Polisi

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER