Seribu Pantai, Mata Lembu dan Riang Hati Susuri Jalur Mudik Pansela
Enam hari saya menyusuri jalur Pantai Selatan Jawa (Pansela), dari Jakarta sampai Yogyakarta. Enam hari. Waktu yang cukup lama.
Saya pikir akan mati gaya sepanjang perjalanan. Tapi, di hari terakhir, saya justru berpikir sebaliknya. Enam hari, waktu yang singkat. Lebih lama, sepertinya lebih seru.
**
Sabtu 26 Maret, pukul 03.30 WIB dini hari alarm ponsel saya berbunyi untuk yang kesekian kali. Jika tak ingat agenda liputan mudik, mungkin saya akan mengabaikan lagi alarm itu.
Saya bergegas untuk bersiap-siap karena harus kumpul di kawasan Tendean, Jakarta Selatan paling lambat pukul 04.00 WIB. Ada dua rekan kerja dan satu driver tim ekspedisi jalur mudik Pansela yang akan saya temui di sana.
Lihat Juga :MUDIK LEWAT PANSELA Mudik Lebaran 2022, Pilih Jalur Pansela atau Tol Trans Jawa? |
Kami tiba di titik kumpul sebelum pukul 04.00 WIB. Waktu yang ada kami gunakan untuk mengulas kembali rencana perjalanan. Tidak lupa, berdoa sebelum pergi.
Ada beberapa titik pemberhentian yang sudah kami rencanakan. Mulai dari Ciwidey, Cianjur, Garut, Pangandaran, Cilacap, Kebumen sampai Yogyakarta.
Dari titik itu, ada lagi daftar turunannya. Segambreng destinasi wisata di Selatan Jawa, mulai dari curug, kawah, pantai sampai tebing. Segambreng pula makanan khas tiap daerah yang menanti untuk dicicipi.
Realisasi dari daftar itu lah yang membuat saya tak mati gaya selama enam hari di perjalanan menggunakan Toyota Fortuner GR Sport 2.8.
Sejuk Ciwidey dan Menengok Kawah Putih
Kami memasuki daerah Kabupaten Bandung sekitar pukul 07.00 WIB, setelah keluar tol Purbaleunyi. Dari situ, kami mulai memasuki Soreang, Pasir Jambu sampai menginjak Ciwidey untuk sarapan pada pukul 08.00 WIB.
Ada banyak tempat makan di sepanjang Soreang-Ciwidey yang belum buka sepagi itu. Untungnya kami menemukan satu yang sudah melayani pengunjung di Jalan Raya Ciwidey. Namanya 'Kedai Sari Ciwidey'.
Tempatnya luas, konstruksi bangunannya didominasi kayu dan semi-terbuka. Udara sejuk Ciwidey pun menemani makan pagi kami.
Pilihan lauknya cukup banyak, mulai dari olahan daging, ikan, udang sampai sayur.
Di samping kiri kedai ini, ada kebun strawberry yang bisa dipetik sendiri. Di sebelah kanan ada sentra oleh-oleh Ciwidey.
Setelah sarapan, kami melanjutkan perjalanan ke Kawah Putih. Kami berkeliling menyusuri danau berwarna putih yang agak kehijauan. Warga lokal bilang, kadang-kadang airnya suka berubah warna menjadi putih kebiruan.
Lihat Juga :CATATAN PERJALANAN Jalur Mudik Pansela: Surga Wisata Anti Bosan nan Menantang |
Menikmati Curug Ceret Naringgul
Dari Kawah Putih, kami melanjutkan perjalanan ke Cianjur. Ini bukan perjalanan mudah, meski masih bermandi pemandangan indah.
Pengemudi harus ekstra hati-hati. Di beberapa titik, mobil tak bisa melaju mulus karena tikungan tajam tanpa cermin lalu lintas di sudut jalan bisa membahayakan.
Trek berkelok diselingi jurang juga ditemui di jalur menuju Cianjurini. Kejelian, feeling, diutamakan sebab tak ada pagar pembatas jalan dan jurang.
Melintas pagi hari di jalur ini juga akan disapa oleh kabut. Terutama ketika berada di Warung Kabut, Gunung Sumbul. Kabut bisa turun kapan saja. Jarak pandang jadi lebih pendek.
Lihat Juga :MUDIK LEWAT PANSELA Tujuh Titik Rawan Jalur Mudik Pansela |
Curug Ceret Naringgul mencegat perjalanan saya. Ada tepat di pinggir jalan utama, curugini bak oase di padang pasir. Dinamakan 'Ceret' karena air yang mengalir dari tebingnya menyiprat ke jalanan. Dalam bahasa Sunda, kata menyiprat adalah ceret.
Curug ini berada di Jalan Ciwidey - Cidaun, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat atau 45 km dari Ciwidey.
Kami berhenti untuk menikmati kesegaran di sekitar curug ini setelah melewati jalanan yang berkelok-kelok dan lumayan mengocok perut.
Sore Hari di Pantai Jayanti
Dari curug itu, kami kembali melanjutkan perjalanan karena tak ingin kemalaman untuk sampai di pantai pertama. Sebab untuk sampai ke pantai itu masih 30 kilometer lagi.
Pantai yang kami tuju adalah Pantai Jayanti. Selain indah, pantai ini juga terkenal dengan hasil lobsternya yang melimpah.
Sekitar pukul 15.00 WIB kami tiba di Jayanti.
Desiran ombak sudah terdengar dari kejauhan. Ada banyak bebatuan di sekitar pantai. Kami pun menyusuri batuan itu dan sesekali duduk menikmati angin dan ombak Jayanti.
Hari pertama menyusuri Pansela, Sabtu, 26 Maret, kami memutuskan bermalam di Jayanti.
Berkenalan dengan Mata Lembu
Pukul 09.12 WIB, 27 Maret, kami melanjutkan perjalanan. Jayanti adalah permulaan.
Semakin menyusuri Pansela di wilayah Garut, semakin banyak kami menemukan pantai. Mulai dari Pantai Rancabuaya yang penuh dengan karang, tapi enak untuk berteduh, sampai Pantai Santolo.
Perjalanan kami dari Jayanti pun berhenti di Santolo, sekitar pukul 14.00 WIB. Di sana kami menyeberang ke Pulau Santolo yang terdapat pelabuhan bersejarah peninggalan Belanda.
Lihat Juga :MUDIK LEWAT PANSELA Sejumlah Catatan Sebelum Menjajal Jalur Mudik Pansela |
Ada juga benteng di pelabuhan itu, tapi sudah tak terpakai sejak tahun 80-an. Saat ini hanya tersisa reruntuhan.
Dari pelabuhan kami menyisirbibir pantai. Menikmati hamparan pasir putih dan laut biru.
Menjajal pantai di Garut, membuat kami lupa belum mengisi perut sedari siang. Akhirnya, kami mencari makanan di sekitar pantai, masih di Santolo.
Ada satu menu yang jarang ditemukan di tempat makan seafood di luar Garut, yaitu Mata Lembu.
Dalam bahasa Indonesia, mata lembu berarti mata sapi. Disebut begitu lantaran penutup cangkangnya berbentuk bulat, berwarna putih dan hijau kehitaman, menyerupai mata kerbau.
Ada banyak pilihan, mata lembu ditumis, disate, dan direbus. Saat itu kami lebih memilih rebus karena ingin merasakan keotentikan rasa siput yang satu ini. Ketika kami coba, rasanya gurih seperti tutut.
Menjelajahi Pangandaran
Cukup pelesir di pantai-pantai Garut, kami bergeser ke salah satu wilayah memiliki banyak atraksi wisata kenamaan: Kabupaten Pangandaran. Berangkat pukul 19.00 dari Santolo, tiba di Pangandaran pukul 11 malam lebih.
Perjalanan menembus Pangandaran tak kalah menantang. Menyusuri malam di Pansela, pengemudi harus dalam kondisi prima. Minimnya penerangan jalan bisa mendatangkan masalah.
Beruntung, tidak ada kendala berarti sepanjang jalan.
Pagi hari 28 Maret di Pangandaran kami awali dengan kegiatan menyusuri sungai Green Canyon dengan body rafting.
Setelah berjalan cukup jauh akhirnya kami tiba di titik Guha Bahu. Kami langsung loncat menceburkan diri ke sungai itu. Arus langsung membawa badan kami dari satu titik ke titik lain.Body rafting dimulai dari Guha Bahu. Untuk sampai sana, kami menaiki mobil pikap selama 15 menit dan memasuki hutan lindung yang rimbun.
Kami menghabiskan waktu lebih dari dua jam di Green Canyon. Keluar dari sana kami lebih bahagia dan bersemangat.
Malamnya kami keliling di sekitaran Pantai Pangandaran dengan menyewa motor listrik. Kami berkeliling sambil menikmati suasana malam Pangandaran.
Tak lupa kami juga makan di Kampung turis. Ada 12 resto bernuansa bambu di sana. Kami memesan seafood sambil mendengarkan riuh ombak Pantai Pangandaran. Dua malam kami berada di kampung halaman Susi Pudjiastuti ini.