Jakarta, CNN Indonesia --
Upaya pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tertunda sejak 2019 silam.
Kegagalan pengesahan RKUHP di ujung masa bakti atau ujung masa bakti DPR periode 2014-2019 itu terjadi karena masifnya penolakan dari publik lewat gelombang demonstrasi di sejumlah daerah di Indonesia.
Kini, pemerintah dan DPR disebutkan bakal mempersiapkan kembali pengesahan RKUHP yang ditargetkan dilakukan dalam rapat paripurna pada Juli mendatang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, bagaimana isi draf terbaru itu? Apakah sudah mengalami perubahan seperti yang dituntut pada 2019 silam? Masyarakat belum mengetahuinya secara pasti.
Atas dasar itu, pada Kamis (9/6) perwakilan Aliansi Nasional Reformasi RKUHP yang terdiri dari 82 organisasi mengirim surat terbuka kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) via Kantor Sekretariat Negara di Jakarta Pusat. Selain kepada Jokowi, aliansi juga sudah menyurati hal yang sama kepada DPR.
Dalam surat tersebut, mereka mendesak draf terbaru RKUHP bisa diakses publik sebelum disahkan dalam rapat paripurna pemerintah bersama DPR RI.
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) Citra Referandum menjelaskan sejak pengesahan RKUHP ditunda pada 2019 silam, pemerintah dan DPR kembali melakukan pembahasan.
DPR, kata dia, menginformasikan ada 14 poin perubahan RKUHP hasil sosialisasi yang dilakukan para pembuat undang-undang sejak setahun sebelumnya.
Namun, sampai saat ini draf terbaru tersebut tidak bisa diakses publik. Sehingga, publik tak bisa memantau langsung perkembangan terbaru isi RKUHP tersebut.
"Di media, Kemenkumham menyampaikan bahwa akan mengesahkan paling lambat Juli 2022. Sementara ini udah 9 Juni kita enggak tah drafnya yang mana. Yang kita tau draf yang September 2019 yang pernah dibuka ke publik," kata Citra di depan kantor Setneg, Jakarta Pusat, Kamis.
Berdasarkan draf RKUHP terakhir, yakni September 2019, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai masih banyak catatan kritis yang perlu ditinjau dan dibahas bersama secara substansial. Oleh sebab itu, aliansi juga menyerukan agar partisipasi publik tidak hanya formalitas. Mereka ingin dilibatkan, sebelum RKUHP disahkan.
Sebagai otoritas publik, kata dia, pemerintah dan DPR berkewajiban menjamin setiap penyusunan peraturan dan kebijakan publik dilakukan secara transparan, khususnya RKUHP yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat luas.
Menurutnya, dalih tidak membuka draf RKUHP terbaru guna menghindari polemik publik bertentangan prinsip demokrasi yang dianut bangsa Indonesia.
Sebelumnya, keluhan terkait informasi jernih mengenai posisi draf RKUHP yang terbaru datang pula dari Komnas Perempuan.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani beberapa waktu lalu menyebut kesulitan tersebut akhirnya membuat koalisi hanya bisa merujuk pada draf RKUHP yang dikeluarkan pada 2019.
Sebelumnya, menanggapi keluhan sejumlah pihak karena tak dapat mengakses RKUHP, Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan meminta masyarakat tak perlu khawatir.
Sebagai informasi, disebutkannya naskah terakhir merupakan hasil perbaikan dalam rapat antara Komisi III DPR dengan pemerintah pada 26 Mei lalu. RUU tersebut ditargetkan bakal dibawa ke Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang sebelum reses anggota dewan awal Juli 2022.
Menurut Arteria, naskah terakhir hasil rapat pihaknya dengan pemerintah saat ini masih dalam pembahasan dan perbaikan oleh pemerintah. Namun, ia menyatakan tak ada perubahan dari keputusan terakhir sejak pengesahannya ditunda pada 2019.
Ia menjamin isi RKUHP tidak berubah sejak disahkan di rapat pleno pengambilan keputusan tingkat satu pada 2019. Perubahan hanya terjadi pada 14 poin krusial hasil rapat pihaknya dengan pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Sharif Omar Hiariej.
Sementara sisanya, kata dia, naskah RKUHP dalam proses perbaikan redaksi dan sinkronisasi sebelum dibawa ke presiden untuk kemudian dibawa ke Paripurna.
"Sekarang hanya memperbaiki redaksi, isinya sama, enggak ada yang berubahlah mudah-mudahan. Isinya, substansinya pada prinsipnya tidak berubah, ini hanya penyempurnaan saja," kata dia kepada wartawan di kompleks parlemen, Selasa (7/6).
Beberapa waktu lalu, Edward membeberkan salah satu isi dari RKUHP terbaru adalah aturan ancaman pidana hingga 3,5 tahun bagi setiap orang yang dianggap menyerang kehormatan dan harkat martabat presiden dan wakil presiden.
Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 218 KUHP ayat (1). Namun, Edward mengklaim pasal penghinaan presiden di RKUHP tersebut telah berubah menjadi delik aduan yang harus dilakukan sendiri.
"Yang ada dalam RKUHP ini adalah delik aduan dan kami menambahkan itu bahwa pengaduan dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden," kata Eddy kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Rabu (25/5).
Adapun beberapa pasal lain yang dihapus yaitu terkait pemidanaan dokter gigi dan pengacara. Ia mengklaim hal itu dilakukan setelah mempertimbangkan berbagai pendapat yang masuk.
Kilas balik belasan pasal bermasalah dalam draf RKUHP 2019 yang memicu gejolak demo ada di halaman selanjutnya.
Kontroversi isi dan pengesahan RKUHP sudah berlangsung sejak 2019. Kala itu, elemen masyarakat--dari pelajar hingga buruh--di sejumlah wilayah melakukan demonstrasi besar menolak pasal-pasal yang bermasalah. Beberapa yang bermasalah itu adalah soal pidana LGBT, kumpul kebo, dan penghinaan presiden.
Seiring waktu berjalan, pemerintah dan DPR mengklaim telah membuat sejumlah perbaikan, termasuk pada pasal-pasal yang dianggap bermasalah pada 2019 silam. Namun, jelang rencana pengesahan yang dijadwalkan Juli mendatang, masyarakat sipil menyatakan mereka masih 'buta' terhadap draf terbaru RKUHP yang disusun pembuat undang-undang.
"Sementara ini udah 9 Juni [2022], kita enggak tahu drafnya yang mana. Yang kita tahu draf [RKUHP] yang September 2019, yang pernah dibuka ke publik," ujar Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) Citra Referandum, yang mewakili aliansi masyarakat sipil mengirim surat ke Jokowi via Kemensetneg, Kamis (9/6).
Berdasarkan draf RKUHP terakhir, yakni September 2019, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai masih banyak catatan kritis yang perlu ditinjau dan dibahas bersama secara substansial.
Dan, berikut beberapa klaster pasal yang dianggap bermasalah dalam draf RKUHP pada 2019 hingga mengundang gejolak demonstrasi kala itu, yang dikutip dari catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR):
1. Penghinaan Presiden, Wakil Presiden, dan Pemerintahan yang sah.
Pasal 218-219, kemudian 240-241, dan pasal 353-354 dinilai sebagai pasal-pasal kolonial yang tak relevan untuk masyarakat demokratis. Terkait penghinaan presiden dan wakil presiden menjadi sorotan karena pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan putusan Nomor 013-022/puu-iv/2006 dengan alasan warisan kolonial.
Selain itu, pasal penghinaan presiden-wakil presiden bakal menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, di dalam draf RKUHP itu yang akan memproses hukum adalah kepolisian--yang merupakan bawahan presiden.
2. Penghinaan Pengadilan
ICJR mengkritik aturan dalam Pasal 281. Aturan yang tidak rinci ini diprediksi akan mengganggu kebebasan ekspresi mengkritik putusan pengadilan.3. Penghinaan
Pasal 440-449 dinilai masih karet. Karenanya, ICJR mengusulkan pengecualian terhadap kritik untuk kepentingan umum, karena terpaksa membela diri, tidak ada kerugian yang nyata, pernyataan yang disampaikan secara emosional, dan/atau pernyataan tersebut disampaikan kepada penegak hukum.
Selain itu, mereka juga menyarankan pengecualian untuk pernyataan yang dilakukan dalam koridor pelaksanaan profesi yang dilakukan sesuai kode etik profesi, pernyataan yang tidak dilakukan di depan umum atau merupakan korespondensi secara pribadi, dan/atau pernyataan yang disampaikan adalah kebenaran.
4. Pembiaran Unggas
Pasal 548 mengatur pidana untuk orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain.
5. Alat Kontrasepsi
Pasal 414 mengatur pidana bagi orang yang mempertunjukkan atau menawarkan alat pencegah kehamilan. ICJR menilai ada salah persepsi di pemerintah yang mengaitkan akses terhadap kontrasepsi dengan seks bebas.
ICJR mengutip penelitian Kemenkumham berjudul Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Penanggulangan Prostitusi dan Pencegahan Penyebaran HIV/AIDS, tahun 1995/1996 yang menyebut pengenalan kondom atau alat kontrasepsi masuk dalam penyuluhan pencegahan AIDS.
7. Zina
Pasal 27 BW yang memidanakan persetubuhan antara seseorang yang telah kawin dengan orang lain. ICJR memahami Indonesia menjunjung tinggi moral, tapi aturan ini dikhawatirkan menabrak hak privat warga negara.
Mereka berpendapat seharusnya negara mengatur pidana untuk kekerasan seksual. Memidanakan perilaku seksual tanpa unsur kekerasan, menurut ICJR, akan menghadirkan diskriminasi terhadap kelompok terstigma dan kesewenang-wenangan aparat.
8. Kohabitasi
Pasal 419 memidanakan pasangan di luar perkawinan yang tinggal seatap. Pidana ini bisa diproses melalui delik aduan yang dilakukan oleh kepala desa setempat.
ICJR menilai bakal ada kesewenang-wenangan dalam penerapan pasal ini. Sebab wewenang menentukan moral publik berada di tangan kepala desa atau pemimpin daerah setempat.
9. Penggelandangan
Pasal 505 menyebut orang yang melakukan bergelandangan diancam hukuman tiga bulan penjara. ICJR menilai pasal ini bertentangan dengan UD 1945.
Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara. Mereka berpendapat seharusnya pemerintah merumuskan kebijakan sosial, bukan malah melakukan tindakan represif.
10. Aborsi
Aturan kriminalisasi aborsi dalam pasal 347 ini disebut bakal bertabrakan dengan UU Kesehatan dan UU Perlindungan Anak. Sehingga bakal menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. ICJR mengusulkan pemerintah mengkaji ulang pasal itu.
11. Hukum Hidup
Pasal 2 ayat (1) dan pasal 598 disoroti karena akan membuat aturan karet. Pasal-pasal ini akan menimbulkan kesewenang-wenangan karena aparat punya kuasa menentukan hukum hidup di masyarakat yang dilanggar.
Ketentuan ini juga akan dituangkan dalam perda di wilayah masing-masing. ICJR melihat akan ada perda diskriminatif jika pasal ini disahkan.
12. Pidana Mati
Pasal 67, 99, 100, dan 101 masih menerapkan hukuman mati. Padahal menurut ICJR sudah asa 2/3 dari seluruh negara di dunia yang menghapuskan hukuman mati. Indonesia diminta ikut melangkah ke peradaban yang lebih maju.
13. Makar
Pengaturan makar dalam pasal 167 dinilai tidak sesuai dengan asal kata aanslag yang berarti serangan. RKUHP, kata ICJR, cenderung mendefinisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat.
14. Pelanggaran HAM Berat
Pasal 599 dan 600 mencantumkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Aturan baru ini dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk penuntutan yang efektif.
Selain itu, ICJR juga menyebut masuknya pidana pelanggaran HAM berat ke RKUHP akan menghilangkan kekhususan pidana ini. Mereka juga mengkhawatirkan asas retroaktif untuk pelanggaran HAM berat dihapuskan.
 Sejumlah pelajar mengikuti unjuk rasa menentang UU KPK hasil revisi dan RKUHP, yang berujung ricuh di Jalan Tentara Pelajar, Palmerah, Jakarta, Rabu (25/9/2019). (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
15. Narkotika
Pasal 611 hingga 616 kembali menempatkan stigma narkotika sebagai masalah kriminal. Padahal secara internasional negara-negara dunia telah memproklamasikan pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan masyarakat.
16. Pencabulan
Pasal 421 disoroti ICJR karena frasa "sesama jenis" dalam pidana pencabulan. Mereka khawatir pasal ini akan menimbulkan diskriminasi terhadap orientasi seksual seseorang.
17. Penodaan Agama
Pidana dalam pasal 304 akan menimbulkan diskriminasi terhadap penganut kepercayaan. Sebab pasal itu mengatur penodaan agama terhadap "agama yang dianut di Indonesia". ICJR juga mewanti-wanti pasal ini akan menjadi pasal karet karena tidak ada frasa "dilakukan dengan sengaja".