Kontroversi isi dan pengesahan RKUHP sudah berlangsung sejak 2019. Kala itu, elemen masyarakat--dari pelajar hingga buruh--di sejumlah wilayah melakukan demonstrasi besar menolak pasal-pasal yang bermasalah. Beberapa yang bermasalah itu adalah soal pidana LGBT, kumpul kebo, dan penghinaan presiden.
Seiring waktu berjalan, pemerintah dan DPR mengklaim telah membuat sejumlah perbaikan, termasuk pada pasal-pasal yang dianggap bermasalah pada 2019 silam. Namun, jelang rencana pengesahan yang dijadwalkan Juli mendatang, masyarakat sipil menyatakan mereka masih 'buta' terhadap draf terbaru RKUHP yang disusun pembuat undang-undang.
"Sementara ini udah 9 Juni [2022], kita enggak tahu drafnya yang mana. Yang kita tahu draf [RKUHP] yang September 2019, yang pernah dibuka ke publik," ujar Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) Citra Referandum, yang mewakili aliansi masyarakat sipil mengirim surat ke Jokowi via Kemensetneg, Kamis (9/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan draf RKUHP terakhir, yakni September 2019, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai masih banyak catatan kritis yang perlu ditinjau dan dibahas bersama secara substansial.
Dan, berikut beberapa klaster pasal yang dianggap bermasalah dalam draf RKUHP pada 2019 hingga mengundang gejolak demonstrasi kala itu, yang dikutip dari catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR):
Pasal 218-219, kemudian 240-241, dan pasal 353-354 dinilai sebagai pasal-pasal kolonial yang tak relevan untuk masyarakat demokratis. Terkait penghinaan presiden dan wakil presiden menjadi sorotan karena pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan putusan Nomor 013-022/puu-iv/2006 dengan alasan warisan kolonial.
Selain itu, pasal penghinaan presiden-wakil presiden bakal menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, di dalam draf RKUHP itu yang akan memproses hukum adalah kepolisian--yang merupakan bawahan presiden.
ICJR mengkritik aturan dalam Pasal 281. Aturan yang tidak rinci ini diprediksi akan mengganggu kebebasan ekspresi mengkritik putusan pengadilan.3. Penghinaan
Pasal 440-449 dinilai masih karet. Karenanya, ICJR mengusulkan pengecualian terhadap kritik untuk kepentingan umum, karena terpaksa membela diri, tidak ada kerugian yang nyata, pernyataan yang disampaikan secara emosional, dan/atau pernyataan tersebut disampaikan kepada penegak hukum.
Selain itu, mereka juga menyarankan pengecualian untuk pernyataan yang dilakukan dalam koridor pelaksanaan profesi yang dilakukan sesuai kode etik profesi, pernyataan yang tidak dilakukan di depan umum atau merupakan korespondensi secara pribadi, dan/atau pernyataan yang disampaikan adalah kebenaran.
Pasal 548 mengatur pidana untuk orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain.
Pasal 414 mengatur pidana bagi orang yang mempertunjukkan atau menawarkan alat pencegah kehamilan. ICJR menilai ada salah persepsi di pemerintah yang mengaitkan akses terhadap kontrasepsi dengan seks bebas.
ICJR mengutip penelitian Kemenkumham berjudul Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Penanggulangan Prostitusi dan Pencegahan Penyebaran HIV/AIDS, tahun 1995/1996 yang menyebut pengenalan kondom atau alat kontrasepsi masuk dalam penyuluhan pencegahan AIDS.
Pasal 27 BW yang memidanakan persetubuhan antara seseorang yang telah kawin dengan orang lain. ICJR memahami Indonesia menjunjung tinggi moral, tapi aturan ini dikhawatirkan menabrak hak privat warga negara.
Mereka berpendapat seharusnya negara mengatur pidana untuk kekerasan seksual. Memidanakan perilaku seksual tanpa unsur kekerasan, menurut ICJR, akan menghadirkan diskriminasi terhadap kelompok terstigma dan kesewenang-wenangan aparat.
Pasal 419 memidanakan pasangan di luar perkawinan yang tinggal seatap. Pidana ini bisa diproses melalui delik aduan yang dilakukan oleh kepala desa setempat.
ICJR menilai bakal ada kesewenang-wenangan dalam penerapan pasal ini. Sebab wewenang menentukan moral publik berada di tangan kepala desa atau pemimpin daerah setempat.
Pasal 505 menyebut orang yang melakukan bergelandangan diancam hukuman tiga bulan penjara. ICJR menilai pasal ini bertentangan dengan UD 1945.
Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara. Mereka berpendapat seharusnya pemerintah merumuskan kebijakan sosial, bukan malah melakukan tindakan represif.
![]() |
Aturan kriminalisasi aborsi dalam pasal 347 ini disebut bakal bertabrakan dengan UU Kesehatan dan UU Perlindungan Anak. Sehingga bakal menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. ICJR mengusulkan pemerintah mengkaji ulang pasal itu.
Pasal 2 ayat (1) dan pasal 598 disoroti karena akan membuat aturan karet. Pasal-pasal ini akan menimbulkan kesewenang-wenangan karena aparat punya kuasa menentukan hukum hidup di masyarakat yang dilanggar.
Ketentuan ini juga akan dituangkan dalam perda di wilayah masing-masing. ICJR melihat akan ada perda diskriminatif jika pasal ini disahkan.
Pasal 67, 99, 100, dan 101 masih menerapkan hukuman mati. Padahal menurut ICJR sudah asa 2/3 dari seluruh negara di dunia yang menghapuskan hukuman mati. Indonesia diminta ikut melangkah ke peradaban yang lebih maju.
Pengaturan makar dalam pasal 167 dinilai tidak sesuai dengan asal kata aanslag yang berarti serangan. RKUHP, kata ICJR, cenderung mendefinisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Pasal 599 dan 600 mencantumkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Aturan baru ini dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk penuntutan yang efektif.
Selain itu, ICJR juga menyebut masuknya pidana pelanggaran HAM berat ke RKUHP akan menghilangkan kekhususan pidana ini. Mereka juga mengkhawatirkan asas retroaktif untuk pelanggaran HAM berat dihapuskan.
![]() |
Pasal 611 hingga 616 kembali menempatkan stigma narkotika sebagai masalah kriminal. Padahal secara internasional negara-negara dunia telah memproklamasikan pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan masyarakat.
Pasal 421 disoroti ICJR karena frasa "sesama jenis" dalam pidana pencabulan. Mereka khawatir pasal ini akan menimbulkan diskriminasi terhadap orientasi seksual seseorang.
Pidana dalam pasal 304 akan menimbulkan diskriminasi terhadap penganut kepercayaan. Sebab pasal itu mengatur penodaan agama terhadap "agama yang dianut di Indonesia". ICJR juga mewanti-wanti pasal ini akan menjadi pasal karet karena tidak ada frasa "dilakukan dengan sengaja".