Ironi UU TPKS: Vonis Bebas Kasus Seksual Lampung & Padang Picu Protes

CNN Indonesia
Selasa, 28 Jun 2022 10:34 WIB
Ilustrasi pengadilan. Sejumlah aktivis di Lampung dan Padang mengecam majelis hakim masing-masing PN wilayah karena memvonis bebas predator seksual meskipun sudah ada UU TPKS. (iStock/simpson33)
Lampung, CNN Indonesia --

Sejumlah aktivis di Lampung dan Padang mengecam majelis hakim masing-masing pengadilan negeri wilayah karena memvonis bebas terdakwa kekerasan seksual meskipun sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS.

Puluhan lembaga tergabung dalam Koalisi Satu Suara Lampung untuk keadilan korban kekerasan seksual mengecam hasil putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kalianda Kelas II Lampung Selatan memutus terdakwa oknum Kepala Desa (Kades) nonaktif Rawa Selapan, Bagus Adi Pamungkas (BAP) tidak terbukti bersalah dan divonis bebas.

Sementara itu LSM Nurani Perempuan WCC dan LBH Padang mengecam putusan bebas terdakwa pelecehan seksual pada dua anak dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Padang. Terdakwa yang sudah ditahan sejak 7 September 2021 dibebaskan atas pertimbangan hakim yang mengatakan bahwa Pelaku tidak terbukti bersalah.

Advokat Publik LBH Padang Decthree Ranti Putri mengatakan putusan bebas ini merupakan ironi setelah UU TPKS disahkan pemerintah dan DPR. Menurut pihaknya, majelis hakim yang mengadili perkara itu telah mencatat sejarah buruk dalam penegakan hukum kasus Kekerasan Seksual di Pengadilan Negeri Padang.

"UU TPKS jelas menyebutkan keterangan saksi dan/atau Korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan satu alat bukti sah lainnya, Ini malah terbalik bagaimana mungkin Majelis Hakim menerima keterangan saksi sedarah dengan Terdakwa," kata Dechtree akhir pekan lalu.

Untuk kasus di Lampung, terdakwa BAP, dinyatakan bebas dari segala tuntutan pada nomor perkara 67/Pid.B/2022/PN Kla atas kasus kekerasan seksual terhadap mantan staf desanya yang berusia 20 pada sidang putusan, Rabu (21/6) sore lalu.

Tim penasihat hukum Lembaga advokasi perempuan DAMAR Lampung, Afrintina mengatakan putusan majelis hakim PN Kalianda tersebut sebagai kemunduran penegakan hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Apalagi, negara sudah berkomitmen untuk mengakhiri kekerasan seksual dengan lahirnya UU nomor 12 tahun 2022 tentant TPKS pada 12 April lalu.

"Kami menyayangkan masih adanya hakim mempertanyakan saksi melihat peristiwa kekerasan seksual, dan proses pemeriksaan yang menyudutkan korban sebagai pemicu pelaku melakukan kekerasan seksual," kata Afrintina dalam keterangan tertulisnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (27/6).

Selain itu, pihaknya melihat putusan majelis hakim itu bertentangan dengan semangat lahirnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan berhadapan dengan Hukum.

"Minimnya saksi yang melihat peristiwa kekerasan seksual, seringkali membuat korban sulit mendapat keadilannya. Berdasar dari pengalaman kami (DAMAR) pendampingan terhadap korban, tidak ada satupun saksi yang melihat kejadian kekerasan seksual,"ungkapnya.

Selanjutnya kekerasan seksual dilakukan secara privat, yakni terjadi hanya adanya korban dan pelaku, menggunakan relasi kuasa yang dimiliki untuk memperdaya korban.

Perbedaan pandangan hakim dalam memutus bebas terdakwa BAP tersebut, lanjut Afrintina, menunjukkan masih minimnya hakim yang responsif dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan seksual.

"Alat bukti yang dihadirkan penuntut umum berupa baju yang dikenakan korban saat kejadian, lalu delapan saksi petunjuk serta visum et psikiatrum yang menunjukkan korban trauma berat tidak menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara a quo,"terangnya.

Surati KY dan Kasasi

Direktur Lembaga advokasi perempuan DAMAR Lampung, Ana Yunita Pratiwi juga menyayangkan hasil putusan hakim yang tidak responsif pada korban. Oleh karena itu, pihaknya yang tergabung dalam Koalisi Satu Suara Lampung mendorong Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk melakukan kasasi.

Mereka pun berjanji akan berkoordinasi dengan jaksa untuk mengusulkan ahli pidana yang responsif terhadap korban kekerasan seksual dalam penyusunan draf memori kasasi.

"Diharapkan JPU mengajukan kasasi, agar majelis hakim ditingkat kasasi dapat memperbaiki kesalahan penilaian fakta di dalam perkara tersebut dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa secara proposional sesuai perbuatannya dengan menerapkan amanat Peraturan MA Nomor 3 tahun 2017," katanya.

Selain itu, kata Ana, akan mensurati dan mendesak Komisi Yudisial (KY) untuk melakukan pemeriksaan terhadap hakim yang memutus bebas terdakwa kekerasan seksual tidak terbukti bersalah. Kemudian menyurati Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan pengawasan proses peradilan, dan mendesak pemerintah daerah melalui Dinas PPPA memastikan perlindungan dan upaya pemulihan psikis korban.

"Kami akan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengawal kasus ini hingga korban memperoleh keadilannya. Galangan dukungan dengan petisi, dialog dengan ahli, kampanye media sosial dan aksi damai," kata dia mewakili Koalisi Satu Suara Lampung untuk Keadilan Korban Kekerasan Seksual.

Setidaknya ada 20 organisasi di Lampung yang tergabung dalam koalisi tersebut. Selain DAMAR, beberapa di antaranya ada LBH Bandarlampung, Walhi Lampung, Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Provinsi Lampung, IPMAWATI Lampung, Solidaritas Perempuan Sebay Lampung, dan Aliansi Laki-laki baru Wilayah Lampung.

Hingga berita ini ditulis, CNNIndonesia.com belum mendapatkan pernyataan dari PN Lampung terkait putusan tersebut, pun termasuk dari pihak terdakwa dan perwakilannya.

Baca halaman selanjutnya, vonis bebas terdakwa kekerasan seksual di Padang.

Aktivis Padang Kritisi Logika Majelis Hakim Bebaskan Predator Seksual


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :