Jakarta, CNN Indonesia --
Udara kering membekap utara pulau Jawa, di tengah pikuk para nelayan yang bertelanjang dada. Aroma peluh para pengangkut solar, bau ikan, dan kucing-kucing lapar bercampur di suatu sore di Pelabuhan Karangantu, Banten, bentala tua saksi Nusantara memulai riwayatnya.
Ikan-ikan mati dijemur di anyaman bambu. Sementara ikan segar dipajang. Ada kakap merah, cumi, kerang hijau hingga udang. Meracau para pedagang yang merupakan istri para nelayan di pelelangan ikan. Jemuran belum diangkat dari rumah-rumah petak yang saling rapat di kampung itu. Kampung Bugis namanya, tempat di mana para pelimbang asal Sulawesi menghuni.
Sukar untuk merangkai kepingan riwayat, bahwa di pelabuhan tua inilah 'pintu masuk' kolonialisasi di Nusantara mengawali sejarahnya. Ketika lebih dari 400 tahun lalu empat kapal berbendera Belanda: Duyfken, Hollandia, Mauritius, dan Amsterdam membuang jangkar, merebahkan sekoci dan menanam hasrat kolonialisasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
 Benteng Van Der Wijck, salah satu jejak peninggalan Belanda di Banten Lama. CNN Indonesia/Andry Novelino |
Pada akhir Juni 1596, sebanyak 297 awak mendarat setelah 14 bulan terombang-ambing di lautan. Pimpinan ekspedisi saat itu adalah Cornelis de Houtman yang juga mengepalai urusan perdagangan. Sementara Pieter de Keyser pegang navigasi
Ekspedisi Houtman bermodal catatan seorang Belanda yang bekerja di pelayaran Portugis, Huygen van Linschoten (1563-1611). Catatan yang terbit pada 1595 itu dikenal dengan 'Reysgeschrift', lebih populer dikenal Itinerario. Rute rahasia yang ia selundupkan dari Lisbon, Portugal hingga sampai ke para pelaut di Pelabuhan Amsterdam.
Saat Cornelis datang, situasi Banten, mengutip Ragam Pusaka Budaya Banten (2019), telah dibangun kemegahan pelabuhan, pasar, hingga gudang. Karangantu difungsikan Kesultanan Banten sebagai pasar dengan lada sebagai komoditas utama. Toko-toko berdiri mengitari pelabuhan. Membentuk jantung permukiman. William Lodewijk, saudagar Belanda yang ikut dalam rombongan Cornelis menghitung setidaknya ada 36 kapal asing yang berlabuh di Banten kala itu. Mulai dari Portugis, Arab, Persia, China hingga Gujarat.
"Besar kemungkinan Pelabuhan Karangantu entreport terbesar dan pusat aktivitas perdagangan di abad ke-16," ujar Pamong Budaya Ahli Muda Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten, Yanuar Mandiri.
"Diriwayatkan Cornelis terperangah melihat riuh pelabuhan," ujar Yanuar.
Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten sekaligus Pembina Laboratorium Bantenologi, Mufti Ali menyebut kemapanan ekonomi Kesultanan Banten tak terlepas dari peran pedagang asing, termasuk Portugis. Strategi ekonomi politik raja saat itu, Syarif Hidayatullah, menjadikan Portugis bukan sebagai musuh, melainkan mitra.
Kedatangan Cornelis pada 1596 awalnya disambut baik. Banten kala itu dipimpin oleh Sultan Abdul Mafakhir. Penyambutan bahkan telah dimulai dari tengah laut. Kapal-kapal Belanda dijamu dengan makanan terhebat, disuguhi hiburan terbaik.
Simak Video Liputan Khusus CNN Indonesia ke Banda Neira di Bawah:
[Gambas:Video CNN]
"Sultan saat itu masih kecil, disambut oleh Mangkubuminya-lah, karena dia (Cornelis) menunjukkan sikap yang sama dengan pedagang lainnya di Banten," kata Mufti.
Satu bulan berlalu, belum ada tingkah ganjil Cornelis Cs di Banten. Kondisi serupa berjalan hingga bulan ketiga. Namun pada bulan keempat, gejolak terjadi. Sikap Cornelis mengganggu konstelasi politik dagang yang sudah sangat mapan. Belanda mulai mendirikan kantor dagang. Cornelis dipaksa angkat kaki dari Banten.
Bersambung ke halaman berikutnya: Melihat Karangantu Kini..
Perubahan menerabas lebih cepat ketimbang ingatan. Wajah pelabuhan hari ini dominan diisi kapal lapuk. Kayu, sampah, bertebaran di atas airnya yang begitu keruh. Hiruk pikuk sebuah pasar internasional tinggal cerita.
"Ini mah seleher bebek (kedalamannya). Kalau bebek berenang kan cuma seleher," kata seorang nelayan bernama Hasbi kepada CNNIndonesia.com sore itu untuk menggambarkan dangkalnya perairan Karangantu kini.
"Lihat saja kalau sore, kering (di pinggir), hanya tengah-tengahnya yang ada air," kata nelayan lain, Haruna.
Haruna mengenang kesibukan pelabuhan terjadi pada masa Presiden Soeharto. Pelabuhan dibangun dan dibesarkan sejak 1975. Saking sibuknya, ia menggambarkan rumah-rumah warga di pinggiran pelabuhan sampai tak terlihat akibat tumpukan kayu di mana-mana.
Saat ini ada 2.390 nelayan yang beraktivitas di Pelabuhan Karangantu. Berasal dari ragam daerah. Rata-rata adalah nelayan tradisional dengan kapal 1-20 GT. Buruan di laut yang diangkut adalah ikan pelapis kecil seperti Kembung, Bawal, Teri, Cumi, Udang.
Kondisi pendangkalan pernah dilaporkan ke Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Lantaran pendangkalan, kapal nelayan maupun kapal pelayaran sulit keluar atau masuk, kecuali menunggu sampai air laut pasang.
Salah seorang nelayan, Agus mengatakan beberapa tahun lalu sempat dilakukan pengerukan di sungai. Namun pengerukan tak berdampak banyak.
"Cuma keruknya diacak-acak doang. Diambil di satu tempat dipindahkan ke pinggir. Sama saja bohong," kata Agus.
Juru Bicara KKP, Wahyu Muryadi mengatakan kewenangan pengerukan ada Balai Besar Sungai Banten dan Dinas PUPR Banten. Menurutnya, sungai itu sempat dikeruk pada 2013.
"Pada bulan Maret (2022) lalu sempat dirapatkan, Balai Besar menanggapi akan turun ke lapangan meninjau kondisi dan kewenangan pengerukan," kata Wahyu.
Tak ada Peninggalan Tersisa
Tak ada jejak peninggalan yang tersisa di Karangantu kini. Hanya sisa kejayaan masa lalu Kesultanan Banten masih bisa ditemui jika berkunjung ke Kawasan Banten Lama.
 Keraton Surosowan, Banten Lama. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Salah satunya yang masih tersisa kini adalah bekas kompleks Keraton Surosowan. Keraton ini bukanlah tempat tinggal Sultan yang pertama didirikan di Banten. Tempat tinggal Sultan Banten pertama diduga didirikan di dekat Karangantu. Keraton Surosowan dibangun antara tahun 1552 sampai dengan 1570 dalam beberapa tahap.
Saat ini, Keraton Surosowan hanya menyisakan reruntuhan. Bangunan yang tampak adalah tembok benteng yang mengelilingi sisa bangunan, hingga sisa petirtaan dan bekas kolam taman.
Peninggalan lain yang masih terselamatkan di Banten Lama juga yakni Benteng Speelwijk yang didirikan pada 1685-1686.
Benteng ini adalah satu-satunya peninggalan struktur bangunan yang dibuat oleh Belanda ketika Kesultanan Banten masih berdaulat. Nama Speelwijk diambil dari nama Gubernur Jenderal VOC, Cornelis Jansz Speelman. Di samping temuan arkeologis berupa monumen, Banten Lama juga menyimpan temuan berupa sejumlah artefak seperti gerabah, keramik hingga mata uang koin.
Cerita pendaratan Cornelis di Banten tak dapat dibantah telah menjadi pembuka jalan bagi kolonialisme Belanda di Indonesia. Meski sempat diusir, kedatangan Cornelis ke Banten pertama kali tidak bisa dibilang gagal sama sekali. Ia menemukan jalur menuju negeri kaya rempah-rempah.
 Benteng Van Der Wijck di kawasan Banten Lama, Serang, Banten. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Beberapa tahun usai kedatangan Cornelis itu, tepatnya pada 1598, rombongan ekspedisi dagang Belanda kembali datang. Mengacak-acak Nusantara demi mengeruk semua rempah dengan harga sangat murah. Tak puas cuma jadi pembeli, Belanda bermain jauh hingga ke Timur, surga Pala dan Rempah di Nusantara.
Simak kisah selanjutnya di Lipsus Ekspedisi CNNIndonesia.com