Daftar Elite Politik Gugat UU Pemilu ke MK: Yusril hingga Eks Panglima

CNN Indonesia
Sabtu, 09 Jul 2022 12:03 WIB
Beberapa permohonan soal gugatan UU pemilu sudah diputus MK, dan masih ada yang berproses.
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi. (ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sejumlah elite politik ramai-ramai mendaftarkan uji materi terkait beberapa Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Di antaranya ada yang menguji Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden alias presidential threshold.

Beberapa permohonan sudah diputus, dan masih ada yang berproses. Berikut daftar elite politik yang menggugat UU Pemilu untuk Pilpres 2024 ke MK.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yusril Ihza Mahendra

Partai Bulan Bintang (PBB) dalam hal ini diwakili oleh Ketua Umum Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal Afriansyah Noor mengajukan permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden alias presidential threshold.

Mereka menganggap mempunyai hak konstitusional untuk mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Namun, hak tersebut menjadi berkurang akibat berlakunya Pasal 222 UU Pemilu yang menambahkan syarat perolehan suara sebanyak 20 persen.

Dalam pemilihan legislatif tahun 2019, PBB hanya memperoleh suara sebanyak 1.099.849 atau sebesar 0,79 persen dari total suara yang telah ditetapkan berdasarkan keputusan KPU Nomor: 1316/PL.01.9-Kpt/06/KPU/VIII/2019.

Yusril dan Afriansyah menilai Pasal 222 UU Pemilu telah menjadikan Pemilu dikontrol oleh oligarki dan penguasa modal, sehingga bukan merupakan hasil kehendak kedaulatan rakyat ataupun pilihan subjektif partai politik.

Dalam sidang pengucapan putusan yang digelar terbuka untuk umum, Kamis (7/7), MK menolak gugatan tersebut.

Mahkamah menyatakan tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu berkaitan dengan esensi norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut mahkamah, permohonan uji materi tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. 

Merespons penolakan MK, Yusril menuding MK telah menjadi pelindung oligarki dan membahayakan demokrasi 

La Nyalla dan Anggota DPD RI

Ketua DPD Aa La Nyalla Mahmud Mattalitti serta Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Baktiar Najamudin turut menggugat aturan presidential threshold 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional sebagaimana termuat dalam Pasal 222 UU Pemilu.

Gugatan mereka teregister dengan nomor perkara yang sama dengan PBB yakni: 52/PUU-XX/2022.

Menurut La Nyalla dkk, berlakunya Pasal 222 UU Pemilu telah menghalangi hak serta kewajiban pemohon untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan bagi putra-putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.

Namun, MK memutuskan tidak menerima gugatan tersebut lantaran pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan uji materi.

Mahkamah berpendirian terkait pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU Pemilu adalah (i) partai politik atau gabungan partai politik, dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Anis Matta dan Fahri Hamzah

Partai Gelora yang diwakili oleh Muhammad Anis Matta, Mahfuz Sidik, dan Fahri Hamzah menggugat Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Pasal yang digugat itu mengatur pelaksanaan Pemilu secara serentak.

Menurut Anis Matta dkk, frasa 'serentak' dimaknai secara sempit sebagai waktu pemungutan suara Pemilu yang harus dilaksanakan pada hari yang sama untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih anggota DPRD.

Jika pada 2024 pemilihan anggota DPR dilaksanakan pada hari yang sama dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, konsekuensi hukum yang timbul adalah hasil perolehan suara atau kursi DPR yang digunakan sebagai syarat bagi partai politik untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di Pemilu 2024 akan menggunakan atau didasari pada perolehan suara atau kursi DPR yang diperoleh partai politik dari hasil Pemilu terakhir (2019).

Sementara, Anis Matta dkk pada penyelenggaraan Pemilu 2019 belum membentuk partai politik dan mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum publik. Hal itu membuat mereka tidak bisa mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu mendatang.

Setelah diperiksa, MK menolak gugatan petinggi Partai Gelora tersebut karena permohonan tidak beralasan menurut hukum.

Anis Matta dkk mempersoalkan frasa 'serentak' dalam norma a quo. Menurut Mahkamah, keinginan pemohon untuk memisahkan waktu penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak dilaksanakan pada hari yang sama tetapi pada tahun yang sama, sama saja mengembalikan model penyelenggaraan Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014 yang telah tegas dinilai dan dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah.

Gugat UU Pemilu hingga Ambang Batas Capres

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER