Komnas Perempuan: Pemisahan Tempat Duduk di Angkot Bukan Solusi

CNN Indonesia
Selasa, 12 Jul 2022 20:26 WIB
Wacana pemisahan tempat duduk di angkot dinilai bukan solusi pencegahan kekerasan seksual di transportasi umum (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Komisi Nasional Perempuan menilai kebijakan pemisahan tempat duduk antara penumpang perempuan dan pria di angkutan kota (angkot) bukan solusi untuk mencegah kasus kekerasan seksual.

Selain itu, adanya perspektif bahwa perempuan harus dipisah dengan laki-laki karena perempuan ditempatkan pada posisi sebagai penyebab kasus kekerasan seksual yang terjadi. Padahal, masalahnya pada cara pandang pelaku yang menempatkan korban sebagai objek seksual.

"Pemisahan penumpang laki-laki dan perempuan bukan solusi untuk untuk upaya pencegahan kekerasan seksual. Justru kebijakan ini semakin memposisikan perempuan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual," ujar Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani kepada CNNIndonesia.com, Selasa (12/7).

Kebijakan ini, kata Tiasri, sebagai proses yang semakin membatasi ruang gerak perempuan untuk mengakses transportasi publik. Karena siapapun berhak untuk memilih tempat yang dirasa aman.

Menurut Tiasri, melakukan upaya pencegahan kekerasan seksual tidak sesederhana hanya memisahkan laki-laki dan perempuan di ruang publik, melainkan menyoroti akar persoalannya.

"Tidak sesederhana itu. Justru kita cari akar persoalannya yang tadi. Cara pandang menempatkan perempuan sebagai objek seksual, bagaimana hasrat seksual pelaku yang tidak dapat dikendalikan sehingga mencari korban. Itu yang sebenarnya harus disoroti bukan pembatasan dan pemisahan ruang gerak di dalam transportasi publik," ujarnya.

Pembatasan dinilai tak cukup untuk mencegah kasus kekerasan seksual, tetapi dibutuhkan upaya yang benar-benar komprehensif. Upaya tersebut dapat dimulai dari edukasi publik untuk membangun perspektif baru bahwa melihat kasus kekerasan seksual bukan lagi sebagai sebagai aib tapi kejahatan kepada kemanusiaan.

Selain itu, membangun perspektif baru dengan tidak menempatkan perempuan objek seksual tapi sebagai manusia yang memiliki hak asasi untuk dihargai dan dihormati.

Kemudian, yang terpenting adalah melihat kasus kekerasan seksual itu bukan melihat perempuannya saja, tetapi melihat perilakunya pelaku yang menjadi penyebabnya.

Dengan telah disahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Tiasri mengatakan, pekerjaan rumah (PR) dan tantangannya adalah bagaimana implementasi pelaksanaan UU TPKS ini untuk memastikan upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan bagi korban.

(pop/isn)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK