Legalisasi Ganja Medis dan Perjuangan Ibu yang Tak Henti di MK

CNN Indonesia
Jumat, 22 Jul 2022 11:07 WIB
Setelah Mahkamah Konstitusi menolak permohonan legalisasi ganja untuk keperluan medis, sejumlah ibu tetap memperjuangkannya.
Foto ilustrasi. (ANTARA FOTO/SYIFA YULINNAS)
Jakarta, CNN Indonesia --

Ganja kembali menjadi perbincangan setelah Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon sejumlah ibu yang meminta narkotik golongan I itu dilegalkan untuk keperluan medis.

Pada 26 Juni lalu, seorang ibu asal Sleman, Yogyakarta, menggelar aksi damai di kawasan Bundaran HI, Jakarta, saat Car Free Day. Dia membentangkan papan bertulis 'Tolong Anakku Butuh Ganja Medis'.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perempuan itu, Santi Warastuti, memohon kepada MK untuk mengabulkan permohonan uji materi undang-undang tentang narkotika demi anaknya, Pika, yang mengidap cerebral palsy atau lumpuh otak.

Pika, diketahui menderita kelainan otak Japanese encephalitis. Kondisi itu menyebabkan dia mengalami cerebral palsy. Ia membutuhkan ganja medis untuk mengatasi kejang akibat kondisi tersebut.

Dalam aksi damai itu, Santi mengingatkan bahwa dirinya telah bertahun-tahun menunggu putusan MK bersama dua ibu lain yang memiliki anak dengan kondisi serupa. Permohonan itu teregistrasi sejak 2020 dengan nomor perkara 106/PUU-XVIII/2020.

Persidangan demi memutus permohonan itu pun bergulir. Malangnya, pada 20 Juli lalu, MK memutuskan menolak seluruh permohonan tersebut.

Saat dihubungi, Santi mengaku tak kaget dengan putusan tersebut. Ia memang kecewa, namun sudah menduganya. Menurutnya, wajar bila MK menolak permohonan itu, dan justru mengejutkan apabila MK mengabulkannya.

"Soalnya kan kita di Indonesia. Indonesia kan masih parno sekali dengan ganja. Jadi ya dengan hasil seperti itu saya enggak terlalu yang kecewa sekali," kata Santi kepada CNNIndonesia.com, Kamis (21/7).

"Karena kita kan sudah terlatih dengan banyak kekecewaan kalau dengan (sesama) orang tua berkebutuhan khusus," ujarnya.

Obat Cannabis

Santi mengatakan Pika hingga kini belum bisa makan dan duduk sendiri. Menjelang usia 14 tahun, anaknya masih perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.

Hal itu sudah terjadi sejak Pika divonis dokter mengalami cerebral palsy. Kala itu, Pika masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK). Gejala awal yang muncul saat itu yakni muntah dan lemas.

"Jadi kayak muntah-muntah, lemes. Kemudian baru kejang. (Kejang) kayaknya mungkin awal tahun 2015," ucapnya.

Santi bercerita pada 2015 atasannya pernah menawarinya obat untuk mengatasi kondisi Pika. Ketika itu atasannya berada di luar negeri. Ia mengirimkan gambar botol obat yang bertuliskan 'cannabis'.

Cannabis biasa digunakan di Eropa untuk mengatasi epilepsi. Dari informasi itulah Santi mengetahui bahwa ganja bisa dialihfungsikan untuk pengobatan dan legal di sejumlah negara.

Akan tetapi, Santi paham bahwa Indonesia melarang penggunaan ganja, sekalipun untuk medis. Ia sadar bila menerima tawaran itu akan menimbulkan masalah ke depan.

Oleh sebab itu, dengan berat hati ia menolak tawaran atasannya tersebut.

"Botolnya itu tertulis cannabis. Jadi saya bilang enggak usah nanti malah bermasalah di sini," tuturnya. 

Tak Bisa Sekolah

Kondisi Pika saat ini juga tak memungkinkan untuk mengemban pendidikan. Santi berujar sejak sakit Pika tidak bisa sekolah. Sekolah luar biasa (SLB) sekalipun tidak sepenuhnya bisa menerima siswa dengan kondisi seperti Pika.

"Pika tidak saya masukkan sekolah karena pertama juga tidak semua SLB itu kan menampung anak-anak dengan kondisi seperti ini. Mereka kan punya keterbatasan sumber daya manusia juga," tutur Santi.

Walhasil, Pika hanya bisa menghabiskan hari-harinya di rumah. Ia hanya rutin melakukan pengobatan untuk mengatasi kondisinya tersebut.

Kendati demikian, Santi mengatakan dulu dirinya dan sejumlah ibu dengan anak berkebutuhan khusus sempat mengadakan kelompok belajar untuk anak-anak mereka. Kelompok belajar itu diadakan seminggu sekali dari satu rumah ke rumah yang lain.

Biasanya, kelompok belajar itu diadakan di hari minggu.

"Kita mengadakan outing juga. Kadang kita sewa kereta kelinci, kita puter-puter gitu. Ke Candi Prambanan gitu puter-puter. Jadi kita mengadakan sekolah sendiri," sambung Santi.

Kelompok belajar itu terdiri dari lima orang anak dengan kondisi tak jauh berbeda. Mereka didampingi guru SLB selama kegiatan belajar mengajar.

Akan tetapi, kelompok belajar itu terpaksa berhenti karena pandemi. Pika dan teman-temannya tak bisa sekolah sejak 2020.

Seiring waktu, kelompok belajar itu pun bubar. Sebab, salah seorang anak memutuskan pindah rumah.

"Ibu Nofie yang ibunya Keynan itu, salah satu pemohon juga, pindah ke Tangerang. Jadi belum mulai lagi. Kalau mau mulai lagi harus nyari personel baru lagi," tuturnya.

Artikel bersambung ke halaman berikutnya: Fokus Kawal Riset.

Infografis 7 Manfaat dan Bahaya GanjaInfografis 7 Manfaat dan Bahaya Ganja. (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)

Fokus Kawal Riset

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER