Warga hingga pelaku usaha pariwisata di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) memprotes kebijakan pemerintah menaikkan tarif tiket masuk Pulau Komodo dan Pulau Rinca dari Rp150 ribu-Rp200 ribu menjadi Rp3,75 juta.
Akibat dari lonjakan harga tiket masuk tersebut, agen perjalanan wisata melakukan aksi mogok. Menurut mereka, kenaikan tarif masuk tersebut akan membunuh usaha masyarakat Labuan Bajo yang selama ini menggantungkan rezeki sebagai pelaku usaha pariwisata.
"Ini namanya pemerintah membunuh kami secara perlahan. Kalau mau bunuh, sekalian saja, jangan dengan cara begini," ujar Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Wisata Bahari (Gawisri) Budi Widjaya saat aksi demo massa menuntut pemerintah membatalkan kenaikan tarif di Labuan Bajo pada Senin (18/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dampak negatif itu katanya sudah terjadi. Berdasarkan informasi yang diterimanya, sejumlah tamu atau wisatawan yang telah melakukan reservasi memutuskan untuk membatalkan kunjungan ke Pulau Komodo setelah mendengar rencana kenaikan itu.
Senada dengan Budi, Ketua Asosiasi Kapal Wisata (Askawi) Labuan Bajo Ahnyar tak hanya berdampak ke masyarakat, kenaikan tiket masuk secara luas juga akan berdampak luas ke wisata di Labuan Bajo.
"Ini akan membuat pariwisata di Labuan Bajo menjadi Lesu karena wisatawan banyak yang telah membatalkan kunjungan," kata Ahnyar.
Ahnyar menyebutkan kenaikan tarif masuk bagi wisatawan atau pengunjung telah menimbulkan keresahan seluruh pelaku usaha pariwisata di Labuan Bajo.
Namun, aksi mogok massal yang dilakukan pelaku dan operator pariwisata di Labuan Bajo berujung penangkapan oleh polisi di Manggarai Barat pada Senin (1/8).
"Sekitar 10-an orang (yang ditangkap) tapi kalau untuk teman yang saya tahu itu yang setahu saya sendiri enam orang. Tapi informasi semua sepuluh orang," kata Rio saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (1/8).
Dia menyampaikan penangkapan terhadap massa yang melakukan aksi mogok terjadi di Puncak Wairingin. Ada beberapa dari sepuluh orang yang ditangkap polisi dikenali olehnya. Mereka adalah Ahyar Abadi, Luis, Rafael Todowela (Ketua Formapp) dan Afand.
Dia membantah penangkapan terhadap massa yang melakukan aksi tersebut berlangsung di Bandara Komodo seperti disampaikan Kapolres Manggarai Barat, AKBP Felli Hermanto.
"Di Puncak Wairingin penangkapannya bukan di Bandara. Tidak ada aksi di bandara, tidak ada, tidak ada. Saya jamin itu. Tidak ada aksi demo di bandara," ujar Rio yang ikut dalam aksi mogok tersebut.
Menurut keterangannya, penangkapan tersebut dilakukan oleh sepasukan polisi bersenjata lengkap saat massa tiba di Puncak Wairingin. Salah satu warga yang ditangkap yakni Luis sedang melakukan orasi kala mengakhiri kegiatan mogok massal seraya memungut sampah.
"Kalau dari aparat jelas ada (kekerasan) dan bukti-bukti video ada," ungkapnya.
Rio mengatakan pelaku pariwisata yang melakukan mogok massal kini menjadi resah akibat kekerasan dan penangkapan yang dilakukan kepolisian.
Buntut dari penangkapan itu, Ketua Forum Masyarakat Peduli Pariwisata (Formapp) Manggarai Barat berinisial RT ditetapkan sebagai tersangka.
"Tersangka satu orang, inisialnya RT," kata Kapolres Manggarai Barat AKBP Felli Hermanto kepada CNNIndonesia.com, Selasa (2/8).
RT dijerat dengan pasal 14 Undang-udang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan hukum pidana dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.