Pada 1994, 10 LSM membentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KASUM), untuk melakukan proses advokasi dan investigasi dugaan kasus pembunuhan buruh Marsinah oleh Aparat Militer.
Setelah terjadinya kasus pembunuhan terhadap Marsinah, tercatat pada tahun 1994, Ketua Komnas HAM Ali Said, telah mengeluarkan Surat Perintah Nomor 10/TUA/III/94.
Pembentukan tim Pencari fakta Surat Perintah itu diberikan kepada Ali Said, Marzuki Darusman, Baharuddin Lopa, Hamid S. Attamimi, Bambang W. Soeharto, Muladi, Satjipto Rahardjo, Soetandyo Wignyosoebroto, Clementino Dos Reis Amaral, Djoko Soegianto, dan Soegiri.
Kasus Marsinah kembali mencuat ke permukaan pada era presiden ke-4 RI Abdurahman Wahid. Kala itu, pria yang akrab disapa Gus Dur itu memerintahkan agar kasus Marsinah dituntaskan.
Sementara itu komnas HAM dalam penyelidikan awal melihat ada indikasi keterlibatan tiga anggota militer dan seorang sipil dalam kasus pemubunuhan Marsinah.
Pada 2000 silam, kasus Marsinah dibuka lagi. DNA Marsinah yang diperiksa di Australia sudah diserahkan ke Puslabfor. Hasilnya, DNA tersebut sama dengan bercak darah Marsinah yang ditemukan di rumah Direktur PT CPS Yudi Susanto.
"Akan tetepi hasilnya berbeda dengan hasil tes DNA yang dilakukan oleh mabes POLRI," demikian tulis KontraS.
Kemudian pada 2002, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menyetujui rencana Komnas HAM untuk mengusut kasus Marsinah. Pada Mei 2002, sidang pleno Komnas HAM telah memutuskan akan membuka kembali kasus Marsinah.
Alasan Komnas HAM membuka kembali kasus itu adalah ditemukannya bukti-bukti baru yang sebelumnya tidak muncul.
"Namun sampai saat ini peristiwa pembunuhan terhadap Marsinah menguap begitu saja," kata KontraS Surabaya.