Jakarta, CNN Indonesia --
Wacana agar pemilihan kepala daerah (Pilkada) dipilih lewat Dewan Pimpinan Rakyat Daerah atau DPRD disuarakan kembali saat pimpinan MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) dkk bertemu dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Senin (10/10) lalu.
Bamsoet berdalih bahwa langkah mengembalikan Pilkada melalui DPRD sah dilakukan. Sebab, menurut dia, proses itu tetap demokratis dan sesuai dengan Pancasila.
Politikus Golkar itu mengaku khawatir dengan penyelenggaraan Pilkada langsung oleh rakyat yang menurutnya justru semakin menyengsarakan kehidupan rakyat karena ruang korupsi semakin terbuka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa mewanti-wanti praktik politik dagang sapi yang bisa muncul andai penyelenggaraan Pilkada dikembalikan ke DPRD.
Menurut dia, dalih Pilkada langsung yang saat ini diterapkan memunculkan praktik korupsi di daerah belum bisa dibuktikan. Selain itu, Pilkada lewat DPRD juga tak menjamin akan bebas dari transaksional.
"Apakah ada jaminan lewat DPRD tidak ada yang namanya money politics? Jangan-jangan yang muncul ada oligarki juga di sana kan. Jadi, money politics di situ bukan lagi put buying, tapi lebih kepada dagang sapi," ucap Saan.
Wacana mengevaluasi penyelenggaraan Pilkada secara langsung atau dipilih oleh rakyat pernah mengemuka pada akhir tahun 2019. Saat itu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjadi pihak yang melempar usulan tersebut.
Tito mempermasalahkan ongkos politik yang dikeluarkan calon kepala daerah cukup tinggi. Ia menyatakan Pilkada langsung lebih banyak mudaratnya.
Tito memandang perlu dilakukan pengkajian untuk melihat dampak positif dan negatif dari sistem Pilkada langsung. Usulan ini sempat disambut baik Komisi II DPR RI saat itu.
"Banyak manfaatnya yakni partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," kata Tito di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 6 November 2019.
Bahaya Bagi Demokrasi
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menilai wacana peniadaan Pilkada langsung dan diganti lewat DPRD membahayakan demokrasi. Sebab, menurut dia, hak rakyat memilih kepala daerahnya menjadi hilang.
"Kalau kemudian membahayakan, tentu iya. Karena kan pertama salah satu semangat otonomi daerah karena kita rakyat itu bisa memilih secara langsung bukan hanya presidennya tapi juga kepala daerahnya dipilih secara langsung," ujar Nisa saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (11/10).
Nisa mafhum konstitusi tidak menyebut gamblang bahwa penyelenggaraan Pilkada langsung melainkan secara demokratis. Namun, ia mengingatkan bahwa sudah ada preseden di mana pengembalian Pilkada ke DPRD sempat mendapat penolakan publik.
Dalam hal ini Nisa menyinggung saat DPR dan pemerintah mengesahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengembalikan proses Pilkada ke DPRD.
Namun, Presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang mengembalikan proses Pilkada dilakukan langsung oleh rakyat.
"Artinya kan publik merasa ada yang dicabut dari hak mereka memilih kepala daerah secara langsung," imbuh Nisa.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Ia menambahkan dalih Pilkada langsung memunculkan praktik korupsi di daerah adalah penilaian keliru. Sebab, menurut dia, Pilkada lewat DPRD juga tak menjamin akan bebas dari praktik kotor dan jahat tersebut.
Nisa menegaskan yang harus diperbaiki adalah tahap pencalonan kepala daerah yang sering kali dibantu oleh pemodal atau cukong di Pilkada. Hal itu yang membuat praktik korupsi sangat menjamur.
"Justru kalau kekhawatirannya tadi soal politik uang, kalau dipilih langsung oleh publik ada politik uang, kan kalau dipilih DPRD jadi kita bisa asumsikan ada politik uang hanya saja lingkupnya lebih kecil yang publik enggak bisa awasi. Keterlibatan publik, partisipasi publik enggak ada," tutur Nisa.
"Kalau menurut kami enggak relevan kalau kemudian harus menggeser cara memilihnya dipilih oleh rakyat atau DPRD karena masalahnya pada saat pencalonannya, masalah juga di sisi model kandidasi di partai politik yang dipilih mereka yang punya modal finansial besar," tandasnya.
Nisa menegaskan Pilkada langsung oleh rakyat sudah final sebab publik punya tingkat partisipasi yang tinggi, baik dalam memilih maupun mengawasi kepala daerah.
"Iya kita harus refleksi juga memang ada masalah. Misalnya politik uang, ada uang mahar, dan lain sebagainya itu menurut saya kalau masalahnya di situ, itu yang harus diselesaikan. Bukan dengan mengubah sistemnya," pungkasnya.
Ide Jahat Merusak Konstitusi
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah memahami bahwa sistem Pilkada langsung masih ada permasalahan. Namun, menurut dia, Pilkada langsung tidak serta merta harus dihilangkan.
"Tidak dapat dihindari jika Pilkada langsung memang memiliki risiko disintegrasi sosial, tetapi tidak lantas dihilangkan," kata Dedi melalui pesan tertulis.
"Yang benar diperbaiki sistem pemilihan langsungnya, menguatkan regulasi pengawasan, termasuk memperkuat kewenangan pengawas pemilu agar lebih berdampak pada penertiban pemilihan," imbuhnya.
Ia menilai wacana peniadaan Pilkada langsung dan menggantinya lewat DPRD merupakan suatu kejahatan yang merusak konstitusi.
"Jika kemudian pemerintah, parlemen, mengupayakan peniadaan Pilkada langsung, jelas ini upaya kriminal, tidak saja merusak konstitusi tetapi juga merusak hak politik warga negara. Mewacanakan peniadaan Pilkada langsung sudah masuk kategori kejahatan," kata Dedi.
Ia pun mengkritik dalih penghematan di balik wacana Pilkada lewat DPRD.
"Justru yang lebih tepat ditiadakan adalah DPRD Provinsi, baik proses pemilihannya maupun keberadaan lembaganya. Ini jelas menghemat biaya pemilihan dan anggaran negara," kata Dedi.
"Sementara soal Pilkada langsung harus tetap dijalankan. Sebaliknya daerah istimewa yang saat ini tidak ada Pilkada justru layak dihapus agar tidak ada dikotomi," sambungnya.
Dedi turut memberikan catatan ke lembaga legislatif terkait pelaksanaan Pilkada langsung.
"DPR seharusnya membuat regulasi lebih kuat, semisal sanksi pelanggar pemilihan, diskualifikasi kandidat yang terbukti tidak jujur, baik administratif maupun praktik kampanye," tutur dia.
Rekomendasi KPK Bantu Parpol
KPK melalui Tim Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Stranas PK) telah merekomendasikan pemerintah untuk meningkatkan bantuan dana bagi partai politik (parpol).
Upaya itu dilakukan dengan maksud mengatasi praktik korupsi kepala daerah akibat biaya politik tinggi.
Pada tahun ini, anggaran negara melalui APBN yang digelontorkan untuk parpol sebesar Rp126 miliar. Rinciannya, parpol di pusat mendapat Rp1.000/satu suara dan Rp1.200/satu suara bagi parpol di daerah dengan APBD. Jumlah itu masih cenderung kecil bila dibandingkan dengan biaya operasional parpol.
Berdasarkan hasil kajian KPK bersama LIPI, baseline kebutuhan operasional parpol pada tahun 2023 adalah Rp16.922/suara. Artinya, bantuan keuangan yang bisa diberikan negara sebesar 50 persen atau setara dengan Rp8.461/suara.
Dengan bantuan itu, parpol dimungkinkan mempunyai pendanaan yang lebih sehat sehingga mengurangi risiko korupsi.
"Penambahan dana parpol memiliki urgensi tersendiri dalam rangka menyongsong Pemilu 2024," kata Koordinator Harian Stranas PK Niken Ariati dalam bincang-bincang bertajuk "Cegah Korupsi Politik, Anak Muda Bisa Apa?" di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (24/8).