ANALISIS

Bahaya Siasat Pilkada Lewat DPRD

CNN Indonesia
Rabu, 12 Okt 2022 07:39 WIB
Wacana agar Pilkada dipilih lewat DPRD kembali mengemuka. MPR dan Dewan Pertimbangan Presiden sudah intens membahas persoalan ini.
Sekelompok elite menghendaki hak pilih rakyat dicabut dalam Pilkada, dengan cara mengembalikan pemilihan melalui DPRD. Foto: CNN Indonesia/Safir Makki
Jakarta, CNN Indonesia --

Wacana agar pemilihan kepala daerah (Pilkada) dipilih lewat Dewan Pimpinan Rakyat Daerah atau DPRD disuarakan kembali saat pimpinan MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) dkk bertemu dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Senin (10/10) lalu.

Bamsoet berdalih bahwa langkah mengembalikan Pilkada melalui DPRD sah dilakukan. Sebab, menurut dia, proses itu tetap demokratis dan sesuai dengan Pancasila.

Politikus Golkar itu mengaku khawatir dengan penyelenggaraan Pilkada langsung oleh rakyat yang menurutnya justru semakin menyengsarakan kehidupan rakyat karena ruang korupsi semakin terbuka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa mewanti-wanti praktik politik dagang sapi yang bisa muncul andai penyelenggaraan Pilkada dikembalikan ke DPRD.

Menurut dia, dalih Pilkada langsung yang saat ini diterapkan memunculkan praktik korupsi di daerah belum bisa dibuktikan. Selain itu, Pilkada lewat DPRD juga tak menjamin akan bebas dari transaksional.

"Apakah ada jaminan lewat DPRD tidak ada yang namanya money politics? Jangan-jangan yang muncul ada oligarki juga di sana kan. Jadi, money politics di situ bukan lagi put buying, tapi lebih kepada dagang sapi," ucap Saan.

Wacana mengevaluasi penyelenggaraan Pilkada secara langsung atau dipilih oleh rakyat pernah mengemuka pada akhir tahun 2019. Saat itu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjadi pihak yang melempar usulan tersebut.

Tito mempermasalahkan ongkos politik yang dikeluarkan calon kepala daerah cukup tinggi. Ia menyatakan Pilkada langsung lebih banyak mudaratnya.

Tito memandang perlu dilakukan pengkajian untuk melihat dampak positif dan negatif dari sistem Pilkada langsung. Usulan ini sempat disambut baik Komisi II DPR RI saat itu.

"Banyak manfaatnya yakni partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," kata Tito di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 6 November 2019.

Bahaya Bagi Demokrasi

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menilai wacana peniadaan Pilkada langsung dan diganti lewat DPRD membahayakan demokrasi. Sebab, menurut dia, hak rakyat memilih kepala daerahnya menjadi hilang.

"Kalau kemudian membahayakan, tentu iya. Karena kan pertama salah satu semangat otonomi daerah karena kita rakyat itu bisa memilih secara langsung bukan hanya presidennya tapi juga kepala daerahnya dipilih secara langsung," ujar Nisa saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (11/10).

Nisa mafhum konstitusi tidak menyebut gamblang bahwa penyelenggaraan Pilkada langsung melainkan secara demokratis. Namun, ia mengingatkan bahwa sudah ada preseden di mana pengembalian Pilkada ke DPRD sempat mendapat penolakan publik.

Dalam hal ini Nisa menyinggung saat DPR dan pemerintah mengesahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengembalikan proses Pilkada ke DPRD.

Namun, Presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang mengembalikan proses Pilkada dilakukan langsung oleh rakyat.

"Artinya kan publik merasa ada yang dicabut dari hak mereka memilih kepala daerah secara langsung," imbuh Nisa.

Berlanjut ke halaman berikutnya...

Basmi Cukong di Pilkada

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER