LIVE UPDATE: Obat Sirop Kelebihan EG dan DEG Ditarik dari Peredaran

Gangguan ginjal akut dialami lebih dari 200 anak di Indonesia dengan puluhan di antaranya meninggal dunia. Simak perkembangan terbarunya di laman ini.

Gangguan ginjal akut dialami lebih dari 200 anak di Indonesia dengan puluhan di antaranya meninggal dunia. Simak perkembangan terbarunya di laman ini.

  • RSCM Gunakan Antidotum dari Singapura Atasi Pasien Ginjal Akut

    RSCM mengumumkan penggunaan obat antidotum dari Singapura sebagai pengobatan gangguan ginjal akut progresif atipikal.

    RSCM memastikan penggunaan obat tersebut telah melalui izin dari Kementerian Kesehatan.

    "Kita cari obatnya, ternyata salah satunya yang menjual adalah Singapura," kata Direktur Utama RSCM Lies Dina Liastutidi RSCM, Jakarta Pusat, Kamis (20/10).

    Lies mengatakan pemberian antidotum tersebut berdasarkan kajian dari sejumlah ahli, termasuk ahli dari Australia dan Inggris yang ikut menangani kasus kematian anak di Gambia.

    Hanya saja, menurut Lies, obat tersebut kini dalam jumlah yang terbatas. Obat tersebut telah datang dalam jumlah 10 vial pada Selasa (18/10), namun RSCM telah menghabiskan dua vial setiap hari untuk 10 pasien yang dirawat.

    Menkes Budi Gunadi juga mengatakan penggunaan antidotum menunjukkan efek yang positif.

    "Kita datangkan obatnya dari Singapura, sudah tiba dan kita coba. Dari enam pasien, empat positif responsif. Jadi obat ini begitu kita lihat responsnya positif," kata Budi dalam acara daring yang disiarkan melalui YouTube FMB9ID_IKP, Jumat (21/10).

    Obat-obatan tersebut juga sudah melalui uji sampel tertentu dan relatif aman. Antidotum tersebut memiliki zat atau senyawa yang bisa mengikat racun dalam tubuh seseorang. Dengan demikian, Kemenkes berencana mendatangkan obat tersebut dalam jumlah yang banyak.

  • Menkes: Kematian Gangguan Ginjal Akut Bisa Capai 5 Kali Lipat

    Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan jumlah kasus kematian gangguan ginjal akut progresif atipikal di Indonesia bisa jadi melebihi dari data yang dilaporkan pemerintah saat ini.

    Per 18 Oktober, sebanyak 206 kasus dilaporkan dengan 99 di antaranya dinyatakan meninggal dunia.

    "Yang meninggalnya 35-40 per bulannya itu yang terdeteksi. Yang tidak terdeteksi bisa 3-5 kali lipat dari itu. Yang terdeteksi di rumah sakit sekitar 35-40 per bulan, dan naik terus kasusnya," kata Budi dalam acara daring yang disiarkan melalui YouTube FMB9ID_IKP, Jumat (21/10).

  • IAKMI Desak Pemerintah Segera Tetapkan KLB

    Anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai pemerintah harus segera menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) seiring merebaknya kasus gagal ginjal akut di Indonesia.

    Hermawan menyebut hal itu penting dilakukan agar kesadaran dan kewaspadaan bagi masyarakat.

    "Ini kan belum ada status KLB. Sebenarnya kita ingin pemerintah segera menetapkan kasus KLB sehingga level awareness-nya tinggi," kata Hermawan kepada CNNIndonesia.com, Kamis (20/10).

    Lebih lanjut, Hermawan berpandangan penetapan status KLB itu juga harus secara paralel dilakukannya investigasi yang mendalam. Sebab, sampai saat ini pemerintah belum menetapkan secara pasti penyebab dari naiknya jumlah penderita gagal ginjal akut dalam waktu relatif singkat.

  • Anak Tak Kunjung Pipis, Gejala Awal Gagal Ginjal Akut

    Direktur Utama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Lies Dina Liastuti mengungkapkan bahwa gejala utama gagal ginjal akut anak adalah tidak kencing.

    Lies juga mengingatkan bahwa gejala awal gagal ginjal bukan batuk pilek dan demam.

    "Gagal ginjal kan adanya saluran kencing. Batuk pilek itu saluran napas, jadi keduanya saluran yang berbeda. Walaupun bisa saja nantinya membuat batuk kalau cairannya sudah terlalu banyak yang membuat anak tidak bisa napas karena paru-parunya penuh cairan," kata Lies saat konferensi pers gagal ginjal akut di RSCM, Kamis (20/10).

    Untuk mendeteksi penyakit gagal ginjal pada anak, Lies mengingatkan kepada orang tua bahwa mereka perlu mengecek adanya gejala penurunan frekuensi atau volume urine pada anak, yakni gejala awal pada penyakit gagal ginjal.

    "Tetapi ini bisa jadi sesuatu yang berbeda atau bersamaan. Tapi, yang jelas, gejala awal dari gagal ginjal bukan demam, batuk dan pilek," ujarnya.

  • Konimex Tarik Termorex Terkait Kasus Gagal Ginjal Akut

    PT Konimex selaku produsen Termorex Sirup akan menghentikan produksi dan distribusi produk tersebut. Tak hanya itu, mereka juga akan menarik kembali alias recall produk Termorex Sirup 60 Ml yang sudah terlanjur diedarkan ke pasar.

    Langkah ini dilakukan setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebut Termorex Sirup mengandung etilen glikol dan dietilen glikol.

    "Sebagai wujud kepatuhan kami tengah mempersiapkan langkah untuk melakukan penghentian produksi, distribusi dan penarikan kembali (recall) produk Termorex Sirup 60ml dengan nomor batch: AUG22A06, sesuai surat edaran dari BPOM," kata Chief Executive Officer PT Konimex Rachmadi Joesoef.

  • Anak Telanjur Konsumsi 5 Obat Sirop Kelebihan EG-DEG Tak Mesti Cek Lab

    Kemenkes menyebut anak-anak yang sudah telanjur mengonsumsi lima merek obat sirop yang ditarik BPOM tidak perlu panik atau tidak wajib melakukan pemeriksaan fungsi ginjal yakni ureum dan kreatinin ke laboratorium.

    Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menyebut kewaspadaan yang perlu dilakukan orang tua adalah memeriksa secara konsisten kadar atau jumlah urine anak. Apabila mengalami oliguria (air kencing sedikit) atau anuria (tidak ada air kencing sama sekali), maka perlu dibawa ke fasilitas kesehatan.

    "Tidak perlu ya [pemeriksaan ureum dan kreatinin] kan ini penyakitnya akut, yang penting dimonitor frekuensi dan jumlah urinnya. Kalau sudah tidak minum obatnya, ginjal masih bisa memfiltrasi sesuai fungsinya," kata Nadia saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (21/10).

  • BPOM Tarik 5 Obat Sirop Kelebihan EG-DEG

    Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengungkap lima obat sirop mengandung senyawa etilen glikol (EG) yang melebihi ambang batas.

    Temuan itu berdasarkan pemeriksaan dugaan cemaran senyawa dalam 39 bets dari 26 sirup obat sampai 19 Oktober 2022. Pengujian itu menyusul merebaknya kasus gagal ginjal akut progresif atipikal di sejumlah daerah.

    Sesuai Farmakope dan standar baku nasional yang diakui, ambang batas aman atau Tolerable Daily Intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari.

    Berikut lima obat yang diduga mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang diterbitkan BPOM:

    1. Termorex Sirup (obat demam), produksi PT Konimex dengan nomor izin edar DBL7813003537A1, kemasan dus, botol plastik @60 ml.

    2. Flurin DMP Sirup (obat batuk dan flu), produksi PT Yarindo Farmatama dengan nomor izin edar DTL0332708637A1, kemasan dus, botol plastik @60 ml.

    3. Unibebi Cough Sirup (obat batuk dan flu), produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DTL7226303037A1, kemasan Dus, Botol Plastik @ 60 ml.

    4. Unibebi Demam Sirup (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DBL8726301237A1, kemasan Dus, Botol @ 60 ml.

    5. Unibebi Demam Drops (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DBL1926303336A1, kemasan Dus, Botol @ 15 ml.

  • Obat yang Dikonsumsi Pasien Gagal Ginjal Akut Diproduksi di RI

    Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan obat yang diduga menjadi penyebab kasus gangguan ginjal akut di Indonesia diproduksi di dalam negeri. Obat oni mengandung  senyawa etilon glikol dan dietilen glikol yang juga menyebabkan kematian pasien gagal ginjal akut di sejumlah negara.

    "Sebenarnya kasus ini terjadi di banyak negara lain, di India, China, segala macem. Etilon glikol dan dietilen glikol itu menyebabkan kematian banyak di negara (lain). Yang kita lihat obat yang dikonsumsi yang meninggal itu diproduksi di sini," kata Budi di Kota Serang, Banten, Kamis (20/10).

    Budi mengatakan sampel darah 99 pasien gagal ginjal akut yang meninggal dunia mengandung etilon glikol dan dietilen glikol. Selain itu, pihaknya juga telah memeriksa obat yang dikonsumsi balita tersebut.

    "Tapi intinya memang ada beberapa dari sudah ada 99 balita yang meninggal, terus 99 balita itu kita periksa ada kandungan zat kimia berbahaya di dalamnya, etilon glikol dan dietilen glikol," ujarnya.

    Baca artikel lengkapnya di sini.

  • Cara Aman Buang Obat Sirop yang Terlanjur Dibeli

    Membuang obat-obatan tak diperbolehkan di sembarangan tempat dengan bebas. Obat-obatan tersebut dapat mencemari air dan secara tidak sengaja membuat kita terpapar bahan kimianya.

    Studi terbaru menemukan obat-obatan yang dibuang ke saluran pembuangan dapat mencemari danau dan sungai, yang dapat melukai ikan dan satwa air lainnya, dan berakhir di air minum kita.

    Menurut peneliti, bakteri pun akan mencoba bertahan hidup ketika menemukan antibiotik di ekosistemnya. Perubahan ini dapat menyebabkan resistensi antibiotik, atau kemampuan bakteri untuk menahan efek antibiotik.

    Selain dampak lingkungan, obat-obatan yang dibuat sembarangan juga sangat rentan untuk disalahgunakan.

    Berikut adalah panduan untuk membuang obat secara aman.

    1. Copot obat itu dari bungkusnya dan campur dengan benda lain seperti bubuk kopi, debu, atau kotoran kucing. Itu membuat obatnya tidak menarik untuk anak-anak dan hewan peliharaan yang mungkin memeriksa tempat sampah.

    2. Taruh campuran tadi ke bungkus yang bisa ditutup untuk mencegah kebocoran.

    3. Buang campuran yang sudah dibungkus ke tempat sampah.

    4. Hapus informasi personal yang menempel di obat tersebut untuk melindungi identitas dan privasi

  • 3 Zat Kimia Berbahaya Ditemukan di Pasien Gagal Ginjal

    Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan terdapat temuan senyawa tertentu atau zat kimia berbahaya dalam riwayat obat yang dikonsumsi pasien gagal ginjal akut progresif atipikal, yakni etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), dan etilen glikol butil ether (EGBE).

    "Beberapa jenis obat sirop yang digunakan oleh pasien balita yang terkena AKI (kita ambil dari rumah pasien), terbukti memiliki EG, DEG, EGBE, yang seharusnya tidak ada atau sangat sedikit kadarnya di obat-obatan sirop tersebut," kata Budi dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (20/10).

    Budi menyebut ketiga zat kimia tersebut merupakan impuritas (cemaran) dari zat kimia 'tidak berbahaya' yakni polietilen glikol yang sering digunakan sebagai solubility enhancer atau zat pelarut tambahan di banyak obat-obatan jenis sirop.

    Menurut Budi, karena itulah Kemenkes menginstruksikan seluruh apotek untuk sementara ini tidak menjual obat sirup, demikian pula tenaga kesehatan diminta tak lagi memberikan resep obat sirop.

    Namun tak seluruh pasien anak yang mengalami gagal ginjal akut progresif terindikasi mengonsumsi obat atau zat kimia tertentu.

    RSUP Dr. Sardjito mengungkap salah satu pasien anak meninggal terkait kasus ginjal akut misterius sama sekali tidak mengonsumsi obat-obatan apapun sebelumnya.

    Dokter Spesialis Anak RSUP Dr Sardjito Kristia Hermawan menyebut pasien meninggal usia 7 bulan asal Kabupaten Bantul, DIY dilaporkan hanya mengonsumsi ASI dan MPASI alami.

    "Tidak mengonsumsi obat-obatan apapun. Baru dapat ASI dan MPASI, pun tidak kemasan," kata Kristia, Rabu (19/10).

  • Kriteria Gangguan Ginjal Akut Harus Rawat Inap

    Kemenkes RI mengungkapkan bahwa pasien anak di bawah usia kurang dari 18 tahun dengan oliguria (urine sedikit) atau anuria dan dengan riwayat demam, diare, muntah, sesak, batuk, dan pilek dianggap mengalami gejala gagal ginjal akut.

    Jika mengalami gejala ini maka anak sebaiknya dibawa ke dokter untuk dilakukan pemeriksaan terhadap ureum dan kreatinin. Jika kadar keduanya tinggi maka pasien diwajibkan untuk pemantauan lebih lanjut.

    Indikasi anak gagal ginjal akut harus dirawat inap:

    1. Diare dengan penyulit

    2. Sesak napas

    3. Penurunan kesadaran

    4. Kejang

    5. Urine berkurang atau tidak ada

    Selengkapnya di sini.

  • Kemenkes Minta Warga Buang Obat Sirup yang Telanjur Beli

    Kemenkes mengimbau masyarakat yang sudah terlanjur membeli obat sirop jangan mengonsumsi lagi dan bisa membuang obat tersebut.

    "Jadi obat sirop jangan digunakan apalagi kalau sudah terbuka atau pernah terpakai. Kalau tidak sakit dalam 7-14 hari bisa dibuang saja," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Siti Nadia Tarmizi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (20/10).

    Sementara khusus bagi pasien gagal ginjal akut progresif atipikal yang terlanjur membeli atau mengonsumsi obat dalam bentuk sirop diminta untuk segera menyerahkan obat tersebut ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) masing-masing daerah.

  • Kimia Farma Setop Jual Obat Sirop

    PT Kimia Farma Tbk menghentikan penjualan obat sirop buntut penyebaran gagal ginjal akut progresif atipikal di Indonesia yang mencapai 206 orang per Selasa (18/10).

    "Menindaklanjuti arahan dari pemerintah, untuk saat ini kami menghentikan sementara distribusi dan penjualan produk obat sediaan cairan/sirop," kata Sekretaris Perusahaan Kimia Farma Ganti Winarno Putro kepada CNNIndonesia.com, Rabu (19/10).

    Ganti belum bisa memastikan sampai kapan penghentian penjualan obat sirup ini. Ia mengatakan Kimia Farma menetapkan kebijakan ini hingga ada pemberitahuan lebih lanjut dari pemerintah.

  • Wamenkes: 15 dari 18 Obat Sirop Mengandung EG

    Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono mengatakan pemerintah berhasil mengidentifikasi kandungan etilen glikol (EG) pada obat sirop anak di Indonesia.

    "Kita sudah mengidentifikasi 15 dari 18 obat yang diuji uji sirop masih mengandung EG. Nanti kita akan identifikasi bahwa EG bisa bebas," ujarnya dalam rekaman suara yang diterima pada Rabu (19/10).

    Kendati demikian, Dante menyebut paracetamol tetap aman digunakan menyusul temuan penyakit ginjal akut misterius pada anak. Dante berkata pemerintah menyoroti kandungan EG pada paracetamol cair.

    "Bukan paracetamol yang tidak aman, tetapi ada paracetamol yang mengandung EG," kata Dante.

    Ia berkata obat racikan dan pracetamol tetap aman. Dante menyarankan masyarakat pergi ke dokter untuk mendapatkan obat.

  • IDAI: Anak Demam Tak Melulu Butuh Obat

    Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI Piprim Basarah Yanuarso mengatakan bahwa sebenarnya demam pada anak adalah sesuatu yang wajar dan tak melulu membutuhkan obat.

    "Sebenarnya batuk dan pilek (penyebab demam) itu enggak butuh obat," kata Piprim dalam live Instagram IDAI, Selasa (18/10). "Demam merupakan mekanisme tubuh dalam menghilangkan patogen yang masuk dan melawan virusnya."

    Piprim mengungkapkan orang tua sebenarnya bisa mengupayakan pemulihan anak tanpa bantuan obat, apalagi obat sembarangan yang bisa ditemukan di warung. 

    "Jangan beli sembarangan, batuk atau pilek suruh minum ini atau itu," katanya.

  • Sebaran Kasus: DKI dan Jabar Terbanyak

    Berikut merupakan sebaran kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal di Indonesia per Selasa (18/10):

    - Aceh 18 kasus

    - Sumatera Utara 8 kasus

    - Sumatera Selatan 1 kasus

    - Sumatera Barat 21 kasus

    - Kepulauan Riau 3 kasus

    - Jambi 3 kasus

    - DKI Jakarta 40 kasus

    - Banten 11 kasus

    - Jawa Barat 40 kasus

    - Jawa Tengah 1 kasus

    - Jawa Timur 25 kasus

    - Daerah Istimewa Yogyakarta 11 kasus

    - Bali 17 kasus

    - Nusa Tenggara Timur 1 kasus

    - Kalimantan Barat 1 kasus

    - Kalimantan Timur 1 kasus

    - Kalimantan Selatan 1 kasus

    - Sulawesi Selatan 1 kasus

    - Papua 1 kasus

    - Papua Barat 1 kasus

  • Produsen Obat dengan DEG & EG Lewati Batas Bakal Disanksi

    Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bakal memberikan sanksi kepada produsen obat sirop yang masih mengandung cemaran dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol (EG) dalam produknya.

    BPOM menegaskan sesuai dengan peraturan dan persyaratan registrasi produk obat, BPOM telah menetapkan persyaratan bahwa semua produk obat sirup untuk anak maupun dewasa, tidak diperbolehkan menggunakan EG dan DEG.

    Namun demikian EG dan DEG dapat ditemukan sebagai cemaran pada gliserin atau propilen glikol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan. Dalam hal ini, BPOM mengaku telah menetapkan batas maksimal EG dan DEG pada kedua bahan tambahan tersebut sesuai standar internasional.

    "Untuk produk yang melebihi ambang batas aman akan segera diberikan sanksi administratif berupa peringatan, peringatan keras, penghentian sementara kegiatan pembuatan obat, pembekuan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), pencabutan sertifikat CPOB, dan penghentian sementara kegiatan iklan, serta pembekuan izin edar dan atau pencabutan izin edar," demikian kata BPOM dikutip dari situs resmi, Rabu (19/10).

  • Waspada Volume Urin Anak

    Kemenkes meminta orang tua memperhatikan volume urine anak dan menganjurkan orang tua membawa anak ke fasilitas kesehatan bila ada kejanggalan.

    "Perlunya kewaspadaan orang tua memiliki anak, terutama usia kurang dari 6 tahun, dengan gejala penurunan volume/frekuensi urin atau tidak ada urin, dengan atau tanpa demam/gejala prodromal lain untuk segera dirujuk ke fasilitas kesehatan terdekat," kata Kemenkes dalam surat edaran nomor SR.01.05/III/3461/2022.

  • Jangan Gunakan Obat Sirop yang Sudah Dibeli

    Kemenkes juga meminta masyarakat yang sudah terlanjur membeli obat sirop di apotek maupun fasilitas kesehatan untuk menyetop sementara penggunaan obat tersebut.

    "Lebih baik seperti itu (berhenti minum obat sirop) sampai selesai semua penyelidikan epidemiologi kami ya," kata Pelaksana tugas Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes Yanti Herman saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (19/10).

    Menurut Yanti, masyarakat tidak boleh lagi membeli obat sediaan sirop bebas. Selain itu tenaga kesehatan juga telah diminta untuk melakukan racikan obat saja dan tidak memberikan atau meresepkan obat sirup.

    "Jadi silakan para dokter dan tenaga kesehatan, bisa menggunakan obat penurun panas, ada yang berupa tablet, ada yang bisa dimasukkan melalui anal atau suppositoria, dan melalui injeksi," kata Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril dalam acara daring.

  • Orang Tua Diminta Tak Beri Obat yang Dijual Bebas

    Kemenkes mengimbau orang tua, utamanya yang memiliki anak balita, untuk tidak menggunakan obat-obatan yang bisa didapatkan secara bebas tanpa anjuran dokter. Orang tua diminta untuk menunggu sementara waktu hingga pemerintah mengeluarkan pengumuman resmi terkait hal tersebut.

    Imbauan Kemenekes ini juga sejalan dengan IDAI yang mengingatkan orang tua untuk tidak sembarangan memberikan obat pada anak. Salah satunya bisa diterapkan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter sebelum memberikan obat untuk anak.

    Pasalnya, menurut Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI Piprim Basarah Yanuarso, tak semua kondisi membutuhkan obat paracetamol. Batuk pilek atau yang biasa disebut selesma sendiri misalnya, merupakan kondisi yang masuk kategori self limiting disease atau bisa sembuh dengan sendirinya meski tanpa pengobatan.

  • Apotek Diminta Setop Sementara Jual Obat Sirop

    Kemenkes menginstruksikan seluruh apotek yang beroperasi di Indonesia untuk sementara ini tidak menjual obat bebas dalam bentuk sirup kepada masyarakat.

    Ketetapan itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak yang diteken oleh Plt Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Murti Utami pada Selasa (18/10).

    "Seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan atau bebas terbatas dalam bentuk sirup kepada masyarakat sampai dilakukan pengumuman resmi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," demikian bunyi poin 8 dari SE tersebut.

    Selengkapnya di sini.

  • Kemenkes: Kasus Capai 206

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan total kumulatif kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal di Indonesia mencapai 206 orang per Selasa (18/10). Dari ratusan kasus itu yang tersebar di 20 provinsi itu, 99 orang di antaranya dinyatakan meninggal dunia, yang berarti tingkat kematian mencapai 48 persen.

(vws)