Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sepatutnya tidak buang badan dan hanya menunjuk hidung perusahaan farmasi gara-gara kecolongan dalam kasus Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) akibat cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).
BPOM sebelumnya telah mengumumkan dua korporasi yang diduga melakukan tindak pidana terkait kasus GGAPA yang mayoritas menyerang usia anak di Indonesia. Dua korporasi itu adalah PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries.
Kedua perusahaan farmasi tersebut diduga menggunakan EG dan DEG melebihi ambang batas dalam produksi obat sirop. Cemaran EG dan DEG dalam obat sirop yang mereka buat disebut melebihi ambang batas yang ditentukan BPOM yaitu 48 mg/ml atau 100 kali lipatnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala BPOM Penny K Lukito dalam konferensi persnya bersama Bareskrim Polri menyebut kedua perusahaan itu memperdagangkan barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar peraturan perundangan sebagaimana pasal 62 ayat 1 dan UU RI no. 8 tentang Perlindungan Konsumen.
Namun PT Yarindo Farmatama sebagai produsen obat Flurin dan Unibabi membantah keras tudingan BPOM. Mereka beralasan, seluruh produknya telah lulus izin edar yang dikeluarkan BPOM pimpinan Penny tersebut.
"Terus selama itu kita kan sudah tiga kali daftar ulang. Kalau katakanlah kami salah, kenapa NIE (nomor izin edar) kami keluar, NIE kami ini tahun 2020 sampai 2025. Artinya BPOM sendiri kan yang memberikan pengawasan untuk izin edar ini," ujar PT Yarindo.
Vitalis berujar, perusahaan farmasi yang berlokasi di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten itu tidak pernah merubah komposisi obatnya. Sehingga mereka merasa aneh, jika dianggap sebagai penyebab gagal ginjal akut yang ramai belakangan ini.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman meminta BPOM tidak lepas tangan dan menyalahkan sepenuhnya perusahaan farmasi dalam kasus GGAPA yang sudah merenggut 159 korban jiwa.
Menurutnya, temuan cemaran senyawa EG dan DEG dalam produk obat sirop juga menandakan adanya celah pengawasan yang dilakukan BPOM.
Salah satunya, terkait pemberian perizinan edar obat di masyarakat yang dikeluarkan BPOM. Pasalnya, kedua perusahaan itu tercatat mengantongi nomor izin edar (NIE) dari BPOM untuk memperjualbelikan obat tersebut.
"Sangat jelas potensinya ada celah pengawasan, dan itu yang harus segera diaudit internal," ujarnya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (2/11).
Di sisi lain, Dicky juga mempertanyakan dalih BPOM yang tidak melakukan pemeriksaan rutin EG dan DEG karena tidak diatur dalam pakem internasional. Padahal BPOM sendiri telah menerbitkan aturan atau ketentuan terkait ambang batas EG dan DEG.
"Yang namanya surveilans itu penting dilakukan untuk menjadi alat ukur dan monitoring di masyarakat tentang kualitas, kandungan, dan keamanan obat tersebut," tegasnya.
Senada, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Zullies Ikawati menilai BPOM harus memperketat pengawasan yang dilakukan terhadap produk jadi obat siap edar (post-market).
Menurutnya kasus GGAPA yang terjadi saat ini menunjukkan masih adanya celah pengawasan yang belum tersentuh oleh BPOM dan dapat berakibat fatal kepada pengguna obat.
"Saya kira BPOM memang harus melakukan pengawasan (post-market). Karena kasus ini, masih harus diperketat lagi, masih ada lubang-lubangnya," jelasnya.
Zullies mengatakan sampai saat ini pengawasan terkait kadar cemaran hanya dilakukan oleh BPOM pada tahap pre-market atau pada bahan baku obat saja. Sementara, kata dia, pengawasan pada tahap produk jadi hanya menyasar pada standar pengemasan obat semata.
"Selama ini sampling obat jadi hanya terkait kemasannya untuk menjamin mutu obat. Kadar cemaran itu bukan yang diukur, jadi tidak akan ketahuan kalau jadi perubahan," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (1/11).
Berlanjut ke halaman berikutnya...