ANALISIS

Mengapa Belum Ada Tersangka Kasus Gagal Ginjal Akut?

CNN Indonesia
Jumat, 04 Nov 2022 13:20 WIB
Ahli mengatakan sejak UU Kesehatan disahkan, belum pernah ada kasus perusahaan farmasi yang dijerat dengan pasal 196 undang-undang itu.
Petugas Polres Mamuju, Sulawesi Barat, mendatangi sejumlah apotek untuk menyampaikan pelarangan obat sirop diperjualbelikan bebas menyusul kasus gagal ginjal akut. (ANTARA/M Faisal Hanapi)
Jakarta, CNN Indonesia --

Gagal ginjal akut telah mencapai 325 kasus, dengan 178 anak meninggal dunia. Namun hingga kini belum ada perusahaan farmasi ataupun perorangan yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.

Sejauh ini, Bareskrim Polri baru menaikkan status perkara PT AFI Pharma ke tingkat penyidikan.

Perusahaan itu diduga memproduksi jenis obat sirop merek paracetamol yang mengandung etilon glikol (EG) melebihi ambang batas 0,1 mg.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penyidik membidik perusahaan dengan Pasal 196 UU Kesehatan. Pasal ini mengatur ancaman pidana penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar terhadap setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu.

Sementara itu, dua perusahaan lainnya yakni PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries disidik oleh BPOM.

Kedua perusahaan farmasi itu menggunakan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas dalam produksi obat sirop. Dua zat itu diduga jadi pemicu penyakit gagal ginjal akut.

Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan berpendapat tidak mudah bagi penyidik untuk menetapkan tersangka dalam kasus tersebut.

Ia menggarisbawahi bahwa pihak terkait harus menemukan hubungan kausalitas antara obat dengan kematian ratusan anak.

"Memerlukan waktu karena harus ada riset, kan ini kita mesti mencari hubungan kausal, kematian bayi ini disebabkan apa? Oke, bayi itu meninggal karena ginjalnya rusak, ginjal rusak disebabkan apa? Kalau disebabkan misalnya DEG, tapi DEG dalam batas tertentu juga gak apa-apa," kata Agustinus saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (3/11).

"Kecuali kadar lebih, pertanyaannya mengapa kadar lebih? Apakah kematian bayi ini sebab tunggal atau ada lagi sebab lainnya," imbuh dia.

Menurutnya, prinsip kehati-hatian memang harus diterapkan dalam penyidikan kasus ini.

Ia mengatakan akan banyak pihak yang dirugikan jika di kemudian hari, ditemukan fakta bahwa kematian bayi-bayi tidak disebabkan oleh faktor tunggal.

"Kalau ternyata besok dibuktikan kematian bukan karena sebab tunggal, ada faktor lain, berarti kan beda lagi ceritanya, bisa lolos (perusahaannya)," kata dia.

"Kalau tidak yakin kan kasihan juga, perusahaan itu kan ada modal, ada buruh yang bekerja. Misal perusahaan ditutup, buruh nganggur, tapi ternyata salah?" ucapnya menambahkan.

Dokter mengecek kondisi pasien anak penderita gagal ginjal akut di ruang Pediatrik Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin, Banda Aceh, Aceh, Jumat (21/10/2022). Dinas Kesehatan provinsi Aceh menyatakan sejak Juni hingga 20 Oktober 2022 tercatat sebanyak 31 anak menderita gagal ginjal, 20 orang anak di antaranya meninggal dunia,  sisanya dalam perawatan dan selain beberapa anak sudah dipulangkan.ANTARA FOTO/Ampelsa/hp.Dokter mengecek kondisi pasien anak penderita gagal ginjal akut di ruang Pediatrik Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin, Banda Aceh, Jumat (21/10/2022). (ANTARA FOTO/AMPELSA)

Di sisi lain, ia juga menyoroti soal kemungkinan kelalaian dalam pengawasan oleh BPOM dalam kasus ini. Agustinus mendorong dilakukan penyelidikan mendalam terhadap pihak-pihak terkait dalam peredaran obat.

"Ini menurut saya standar kehati-hatian ada yang dilanggar, jika ada yang dilanggar, siapa saja yang terlibat dalam pelanggaran," ujarnya.

Penegakan Hukum Tumpul

Terpisah, Pakar hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto berpendapat dalam penanganan kasus yang berkelindan dengan pemilik modal dan pihak yang memiliki kuasa, penegakan hukum di Indonesia memang cenderung tumpul.

"Problemnya kan selalu dalam konteks yang berkelindan seperti ini, yang dihadapi itu bukan rakyat kecil, yang dihadapi itu adalah pemilik modal, jadi isu investasi, punya kuasa, modal, relasi, ini yang kemudian mengakibatkan penegakan hukum kita tumpul terhadap mereka," kata Aan.

Aan mengatakan prinsip kesamaan di depan hukum harus ditegakkan dalam kasus ini.

Menurutnya penegakan hukum yang tegas dan transparan akan membuat kasus ini menjadi pelajaran bagi perusahaan farmasi lain agar tidak melanggar aturan dalam memproduksi obat.

"Enggak peduli pemilik modal, punya relasi kuasa. Harus ditegakkan betul. Ketika BPOM sudah nyatakan ada perusahaan produknya cemaran beratus kali.....kalau masyarakat kecil langsung cepat. Ini sudah terjadi kasus dan terjadi korban tapi kita masih lambat," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane mengaku pesimistis perusahaan farmasi dijerat pidana dalam kasus ini.

Ia berkata sejak UU Kesehatan disahkan, belum pernah ada kasus perusahaan farmasi yang dijerat dengan pasal 196 UU itu.

"Dalam sejarahnya sejak UU kesehatan itu dikeluarkan, belum pernah ada perusahaan obat yang terjerat dengan mengarah ke pidana tersebut, karena ada kata-kata 'dengan sengaja' itu, memang ada perusahaan obat yang dengan sengaja meracuni?"katanya.

Ia pun menilai langkah BPOM yang mengumumkan nama perusahaan-perusahaan itu ke publik hanya gimik untuk menunjukkan badan itu bekerja dalam kasus ini.

"Seolah-olah hanya ingin menunjukkan kepada publik ini loh kami sudah bekerja, ujungnya nanti tidak bisa dituntut juga. Ini yang menjadi persoalan Kita, tapi siapa tahu dengan kasus ini kekuatan UU kesehatan kita jadi punya taring," katanya.

(yoa/pmg)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER