Yogyakarta, CNN Indonesia --
Koalisi Masyarakat Pemerhati Karst Indonesia menolak rencana pengurangan luas Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Sewu oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta.
Penolakan itu didasari ancaman hilangnya fungsi karst sebagai kawasan resapan air hujan hingga potensi bencana akibat pengurangan luas hanya demi kepentingan pembangunan serta investasi.
Beberapa organisasi dan kelompok yang tergabung atau mendukung langkah koalisi ini antara lain Masyarakat Speleologi Indonesia; kalangan akademisi dari pusat studi karst, manajemen bencana, geoheritage-geopark; WALHI; LBH; DPD Gabungan Industri Pariwisata Indonesia DIY; dan beberapa lembaga pemerhati lingkungan lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koalisi itu pun telah mengajukan surat penolakan pengurangan KBAK Gunung Sewu Gunungkidul ke Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pada November 2022 lalu.
"Mengingat pembangunan pada kawasan karst tidak harus menghilangkan fungsi kawasan lindung dari suatu bentang alam," demikian bunyi surat tersebut.
Koalisi melihat risiko pengurangan luasan KBAK akan berdampak pada ketidakpastian hukum, ancaman kelestarian lingkungan, potensi bencana akibat adanya perubahan lahan dan pembangunan secara masif. Belum lagi eksploitasi macam pertambangan yang berimbas pada ekosistem kawasan karst sebagai warisan dunia sebagaimana telah ditetapkan UNESCO sebagai kawasan Global Geopark Network (GGN) pada 2015 lalu.
Saat dikonfirmasi, GM Gunung Sewu UNESCO Global Park Budi Martono juga mendukung gagasan Koalisi Masyarakat Pemerhati Karst Indonesia tersebut.
Mantan Sekda Gunungkidul itu menyatakan pihaknya lebih menyoroti bagaimana pengurangan atau peninjauan luas macam ini yang hanya akan menimbulkan preseden buruk bagi keberlangsungan Gunung Sewu.
Budi mengatakan peninjauan atau pengurangan luasan KBAK akan sangat berdampak pada penilaian UNESCO terhadap proses evaluasi dan revalidasi tahap II yang akan dilaksanakan pada 2023 mendatang. Evaluasi dan revadilasi itu adalah untuk tetap menjaga status Global Geopark Gunung Sewu di mata dunia.
"Yang jelas kami harus mengubah Peta Kawasan Gunung Sewu UNESCO Global Geopark. Hal ini akan ditanyakan oleh UNESCO Global Geopark. Alasan pengurangan tersebut merupakan preseden buruk," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (4/1).
Sebelumnya disebutkan Pemkab Gunungkidul telah mengajukan permohonan peninjauan deliniasi KBAK kepada Menteri ESDM, khususnya Badan Geologi terkait pengurangan kawasan Karst Gunung Sewu.
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 3045 K/40/Men/2014 Tentang Penetapan KBAK Gunung Sewu sebagai kawasan lindung geologi.
Luasan KBAK yang saat ini total 75.835,45 hektare itu disebut sedang diusulkan untuk dikurangi menjadi 37.018,06 hektare atau 48,81 persen dari total luasan yang dilindungi. Dalam pertimbangannya, Pemkab Gunungkidul berdalih demi meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata, pembangunan infrastruktur, dan industri.
Baca halaman selanjutnya.
Koalisi menilai penetapan luasan KBAK yang sudah dilaksanakan sejauh ini telah memenuhi standar kajian akademis dan dilaksanakan dalam proses yang sangat panjang dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait secara pentahelix.
Beberapa di antaranya seperti akademisi lintas ilmu universitas, dunia usaha, pemerintah daerah-nasional, media massa, dan masyarakat sipil. Sehingga hasilnya memenuhi kriteria KBAK sesuai Permen ESDM RI Nomor 17 tahun 2018 tentang Penetapan KBAK.
Dalam rilis yang berbeda dan masih terkait hal dalam surat kepada Gubernur DIY, koalisi memaparkan hasil dengar pendapat para ahli melalui sebuah webinar pada 22 Desember 2022 sebagai tindak lanjut Pemda DIY atas surat penolakan November 2022 lalu.
Koalisi mengklaim webinar untuk memberikan masukan kepada Pemkab Gunungkidul tentang alternatif pembangunan di Kawasan Karst Gunung Sewu.
Dalam webinar itu, pakar valuasi ekonomi lingkungan UGM, Poppy Ismalina mengestimasikan pengurangan luasan KBAK Gunung Sewu di Gunungkidul berpotensi meningkatkan kemungkinan alih fungsi lahan yang akan berdampak pada fungsi karst sebagai kawasan resapan air hujan.
Berdasarkan hasil valuasi ekonomi yang dilakukan Poppy bersama koalisi, Karst Gunung Sewu memiliki potensi serapan air senilai 31 juta meterkubik per bulan.
Kemudian nilai ekonomi air dengan asumsi harga per meter kubiknya Rp4 ribu (Data Harga Air PDAM Gunungkidul Rp4 ribu/0-10 meterkubik), maka valuasi ekonomi air yang diberikan kawasan karst untuk kebutuhan hidup masyarakat, pertanian, PDAM, dan lain sebagainya adalah sekitar Rp12,4 triliun per bulan atau Rp148 triliun per tahun.
Selain itu, koalisi menganggap langkah Pemkab Gunungkidul dalam mengajukan peninjauan kembali KBAK Gunung Sewu terindikasi inkonstitusional karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Merujuk pada Permen ESDM No 17/2012 tentang Penetapan KBAK, pemerintah daerah hanya bisa mengajukan penetapan KBAK kepada Menteri ESDM, dan tidak ada klausul tentang peninjauan kembali dengan tujuan pengurangan luasan KBAK.
"Dalam hal penetapan KBAK Gunungsewu, Pemkab Gunungkidul (bersama Pemkab Wonogiri dan Pemkab Pacitan) seharusnya mengikuti proses penetapan KBAK secara utuh, sehingga penetapan KBAK Gunungsewu seharusnya sudah bersifat final. Badan Geologi harus secara tegas menolak usulan peninjauan KBAK Gunungsewu
yang diajukan Pemkab Gunungkidul," tulis pernyataan koalisi yang dikutip Rabu (4/1).
Penetapan KBAK Gunungsewu berdasarkan Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 3045 K/40/Men/2014 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu yang dilakukan antara 2012-2014 itu pun disebutkan sudah sesuai dengan Permen ESDM No 17/2012 tentang Penetapan KBAK
Penetapannya dilakukan yakni setelah melalui tahapan penelitian, kelompok diskusi terarah (FGD) sebanyak 5 kali, dan diikuti evaluasi. Keberatan Pemkab Gunungkidul, tegas koalisi, semestinya disampaikan ketika FGD sebelum penetapan oleh Menteri ESDM.
Koalisi menilai persetujuan peninjauan kembali KBAK Gunung Sewu akan menjadi preseden buruk penetapan KBAK di wilayah lain. Alasan Pemkab mengurangi luasan KBAK demi mempermudah pembangunan dan investasi disebut mengada-ada dan menunjukkan keberpihakan terhadap investor, hingga ketidakpedulian pemerintah terhadap perlindungan lingkungan hidup.
"Proyek pembangunan dan investasi di kawasan karst seharusnya dikaji ulang, bukan difasilitasi lebih besar lagi," tegasnya.
Lebih lanjut, koalisi menggarisbawahi kejanggalan dari sudut pandang ilmu geologi jika mencermati peta usulan pengurangan KBAK yang diajukan Pemkab Gunungkidul di dalam paparan Badan Geologi pada 1 November 2021.
Dalam rilisnya, koalisi itu menyatakan batas kawasan karst seharusnya sesuai dengan batas litologi. Dengan demikian, kawasan Karst Gunung Sewu semestinya mengikuti batas batu gamping Formasi Wonosari. Sementara dalam peta yang diajukan oleh Pemkab Gunungkidul, batas KBAK baru yang diusulkan tidak memiliki landasan akademik yang jelas.
Sederet persoalan yang muncul setelah penetapan KBAK mengindikasikan Permen ESDM No.17/2012 tak memadai sebagai regulasi pengatur kawasan karst. Koalisi menilai diperlukan aturan yang bersifat holistik dan multisektoral, karena karst tidak cukup hanya dilihat dari sisi ilmu kebumian saja, melainkan juga dari aspek ekosistem esensial di sekitar kawasan karst.
"Baik secara langsung maupun tidak langsung, dan prinsip kehati-hatian sesuai dengan amanat Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup," tutup pernyataan koalisi.
Hingga berita ini ditulis, CNNIndonesia.com belum mendapatkan pernyataan resmi dari Pemkab Gunungkidul, termasuk pula dari Pemprov DIY perihal penolakan pengurangan KBAK Gunung Sewu itu.