Deret PR Orang Tua & Keseriusan Negara Cegah Penculikan Anak Berulang
Kasus kekerasan, penganiayaan, eksploitasi, pelecehan seksual, hingga penculikan pada anak masih menjadi PR bagi orang tua dan negara sebab jumlah kasus yang dilaporkan bukan angka yang kecil. Sejumlah pemerhati anak juga menilai kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia ibarat fenomena gunung es.
Teranyar, atensi publik terarah pada kasus MA (6 tahun) yang diculik pada 7 Desember 2022 di daerah Gunung Sahari, Jakarta Pusat dan baru ditemukan di daerah Ciledug, Senin (2/1) malam bersama pelaku, Iwan Sumarno (42 tahun).
Di tempat lain, seorang bocah berusia empat tahun inisial AS, warga Kota Cilegon, Banten, juga menjadi korban penculikan di sebuah warteg di Kota Baja, pada Senin (2/1) sekitar pukul 17.00 WIB. Hingga saat ini bocah tersebut belum ditemukan.
Belum lama ini, pelecehan seksual juga marak terjadi pada anak, seperti di Cipete, Jatinegara, hingga kekerasan seksual yang dialami para murid di sekolah dan pondok pesantren. Temuan pada kasus kekerasan seksual anak juga dilakukan oleh orang terdekat mereka selain orang asing.
Pemerhati anak Retno Listyarti menilai pencegahan kekerasan hingga penculikan pada anak merupakan upaya kolaboratif yang harus dilakukan orang tua, lingkungan, dan didukung pemerintah. Ia menyebut masifnya kasus kekerasan pada anak yang cenderung bertambah setiap tahunnya harus menjadi perhatian publik.
"Kekerasan pada anak, penculikan, eksploitasi ini menjadi PR kita bersama ya, khususnya orang tua. Menjadi orang tua itu tidak mudah karena tidak pernah ada sekolahnya. Tetapi menjadi orang tua juga punya insting tentang bagaimana melindungi anaknya," kata Retno saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (4/1) malam.
Retno menyebut langkah yang harus dilakukan orang tua agar tidak 'gagal' dalam melindungi anaknya adalah dengan menanamkan edukasi pada keluarganya. Anak diajarkan bagaimana berkomunikasi secara gamblang dan diberikan wejangan apa saja yang perlu dilakukan saat anak merasa dalam kondisi berbahaya.
Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) periode 2017-2022 itu menyebut masih cukup banyak anak di Indonesia yang belum dibekali cara-cara bagaimana ia dapat mengutarakan emosi dan proteksi diri, sehingga anak tidak bisa meminta tolong atau menolak ajakan orang asing.
Anak-anak menurutnya perlu diajarkan bagaimana meminta pertolongan di situasi kerumunan, anak juga diajarkan untuk tidak mudah percaya pada orang asing, hingga anak harus memiliki keberanian untuk menolak tegas apa yang menurut mereka salah dan mencurigakan.
Pun edukasi serupa menurutnya harus diberikan kepada orang tua. Apabila anaknya diculik atau mengalami kekerasan dari pihak lain, maka orang tua harus sesegera mungkin melapor ke pihak berwajib.
"Selain itu, lingkungan juga sangat berpengaruh. Jadi mereka bisa sangat responsif seharusnya kalau menangkap hal-hal mencurigakan yang mereka lihat pada anak. Mereka bisa menolong dan segera melapor. Kalau mereka melihat anak disiksa orang tuanya, mereka juga harus melapor," kata dia.
Sementara dari pemerintah, dalam sisi preventif Retno menilai pemerintah sudah menyediakan payung hukum yang cukup bagi perlindungan anak. Namun dari sisi pasca kejadian kekerasan anak, Retno menyoroti agar pemerintah menuntaskan kewajibannya dalam memenuhi hak anak.
Pemerintah harus bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan khusus kepada anak yang menjadi korban, seperti penanganan yang cepat, perawatan, pendampingan psikososial serta memastikan keberlangsungan pendidikan anak.
"Nah itu yang harus dioptimalkan dan dituntaskan. Sebab, anak-anak yang menjadi korban itu memiliki trauma sepanjang hidup. Tapi psikolog itu susah ditemukan di daerah pelosok misalnya ya, karena kebanyakan terkonsentrasi di kota besar. Itu yang harus menjadi perhatian pemerintah bersama ya," tuturnya.
Lebih lanjut, Retno juga menyoroti upaya pencegahan kekerasan anak dari sisi pelaku. Ia menyebut pemerintah juga harus 'mengobati' para pelaku agar mereka tidak melakukan kejahatan berulang.
Retno mengimbau agar pelaku juga mendapatkan pendampingan psikologis hingga dinyatakan sembuh. Misalnya, setelah pelaku bebas dari jeruji besi, pelaku terus dipantau sehingga apabila dia kembali ke masyarakat, ia tidak mengulangi kembali perbuatannya.
"Harus diobati mereka itu. Bahkan bisa juga diberlakukan pemberian chip pada pelaku sebagai alat pendeteksi keberadaan pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Jadi nanti pergerakannya diawasi, kalau mencurigakan nanti ada warning ke daerah terdekat itu dan sebagainya," ujar Retno.
Berlanjut ke halaman berikutnya...