Saat ini, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Namun, setelah lebih dari enam bulan UU TPKS diundangkan, pemerintah belum membuat aturan turunan dari undang-undang tersebut.
Termasuk di dunia jurnalistik, SOP penanganan kekerasan seksual bagi para jurnalis juga belum ada.
Dewan Pers hingga saat ini belum memiliki SOP penanganan kekerasan seksual bagi jurnalis. Padahal, jika dikutip dari laman resminya, Dewan Pers adalah pembuat keputusan secara swaregulasi atau atas dasar kebutuhan kalangan pers, serta bersama-sama dengan masyarakat pers secara demokratis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi hal itu, Komisioner Dewan Pers Arif Zulkifli menyampaikan bahwa SOP itu merupakan tanggung jawab perusahaan media, meskipun Dewan Pers adalah lembaga pertama dan terakhir yang menentukan ada tidaknya pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Jika ada pelanggaran KEJ, Dewan Pers pula yang menentukan jenis pelanggaran apa yang terjadi.
"Tapi kalau saya boleh berpendapat, soal keamanan kerja jurnalis itu pada dasarnya atau yang paling hakiki adalah keamanan jurnalis itu menjadi tanggung jawab atau harus menjadi concern perusahaan pers, perusahaan pers itu harus menyediakan infrastruktur supaya jurnalisnya bisa bekerja dengan aman," ucap Azul, sapaan akrabnya, ketika dihubungi akhir November 2022.
Lihat Juga : |
Azul pun mengakui kekerasan seksual yang terjadi pada jurnalis tak hanya melukai korban secara pribadi, tetapi juga mencederai publik. Sebab, korban akan terhambat dalam melakukan tugasnya dalam menyampaikan kebenaran kepada publik.
Azul mengungkapkan kesadaran terhadap kekerasan seksual serta kesetaraan gender juga penting ditumbuhkan dalam komunitas jurnalis. Tidak hanya berkaitan dengan relasi jurnalis-narasumber, tetapi juga di lingkungan kantor ataupun organisasi sosial lainnya. Azul meyakini perusahaan media menjadi pondasi penting terciptanya rasa aman bagi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik.
"Kalau di dalam medianya sendiri, (seharusnya) dibangun satu situasi atau satu suasana yang menunjukkan kami bisa melindungi perempuan, misal dalam kasus penulisan isu-isu gender, menjadi lebih sensitif gender dalam hal-hal pemeriksaan," tegasnya.
Peneliti PR2Media Masduki ikut menyinggung pentingnya peran Dewan Pers untuk memandu perusahaan media agar segera memiliki SOP penanganan kekerasan seksual. Menurutnya, jika Dewan Pers memiliki panduan pembuatan SOP, hal itu akan memudahkan perusahaan media untuk mengadopsi sekaligus mengadaptasikan aturan ini di lingkungan kerja masing-masing.
Masduki memaparkan saat ini pihaknya tengah mendorong Dewan Pers agar segera memiliki pedoman pembuatan SOP yang wajib diadopsi redaksi media di Indonesia, apa pun skala redaksinya.
Selain itu, ia berharap Dewan Pers nantinya mewajibkan SOP ini sebagai syarat ketika hendak melakukan verifikasi terhadap media-media baru.
"Saya kira dua hal ini saja sudah bagus. Dewan Pers mengadopsi pedoman ini sebagai model yang mewajibkan perusahaan media. Sisi lain dia nanti akan kewajiban pembuatan SOP ini di dalam persyaratan untuk verifikasi media yang selama ini mereka kerjakan. Jadi paling tidak itu peran yang bisa dilakukan Dewan Pers dalam waktu dekat ini," katanya.
Lihat Juga : |
Terakhir, Masduki menegaskan perlindungan bagi jurnalis dari kekerasan seksual mesti diwujudkan oleh seluruh pihak. Tak hanya Dewan Pers dan perusahaan media, tetapi juga masyarakat hingga kepolisian.
Menurutnya, Nota Kesepahaman Nomor 2/DP/MoU/II/2017 antara Dewan Pers dengan Kepolisian RI tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan masih bisa diperkuat dengan menambahkan aturan spesifik terkait isu kekerasan seksual.
Masduki menganggap langkah ini penting, sebab Dewan Pers merupakan lembaga yang memiliki kemampuan memediasi, sedangkan jika kasus kekerasan dibawa ke ranah hukum akan tetap berada di bawah penanganan kepolisian.
Ia menuturkan langkah ini adalah bagian kecil untuk membentuk ekosistem yang mampu melindungi jurnalis dari kekerasan seksual saat bertugas. Selain itu, Masduki menilai peran layanan konseling untuk menangani trauma hingga menyediakan safehouse korban juga penting di dalam membangun ekosistem ini.
Artinya, ekosistem ini tidak hanya mencegah, tetapi juga mampu menangani kekerasan seksual.
"Aturan ini kan sifatnya hanya panduan penyelesaian. Tetapi dalam praktiknya nanti kan harus ada ekosistem yang tersedia, yaitu ada Dewan Pers, perusahaan media, Mabes Polri, dan ada lembaga sosial yang memberi pelayanan psikologis," kata dia.
Liputan ini didukung oleh beasiswa peliputan "Yang Muda, Yang Mewartakan" yang diadakan Rutgers Indonesia dan Project Multatuli.
(tsa)