LIPUTAN KHUSUS

Kekerabatan di Kemenkop UKM, Bobrok Jiwa Korsa Jaga Pemerkosa

CNN Indonesia
Rabu, 28 Des 2022 09:15 WIB
Menkop UKM Teten Masduki mengakui hubungan kekerabatan jadi salah satu penyebab penanganan kasus pemerkosaan pegawai di kementeriannya tak tuntas.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengakui hubungan kekerabatan jadi salah satu penyebab penanganan kasus pemerkosaan pegawai di kementeriannya tak tuntas. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki mengakui penanganan kasus pemerkosaan yang dialami pegawainya berlarut-larut. Korban bahkan tidak mendapat keadilan.

Nara (nama samaran) adalah pegawai honorer di Kementerian Koperasi, diperkosa oleh empat rekan kerjanya saat mengikuti kegiatan kantor di Bogor pada 6 Desember 2019. Mereka adalah ZPA, WH, MF, dan NN.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tiga rekan lainnya diduga memiliki andil dalam kasus pelecehan seksual sebelum pemerkosaan.

Hingga tiga tahun berlalu, pelaku pemerkosaan masih bebas beraktivitas. Sementara, korban telah keluar dari Kemenkop UKM sejak 2020.

Teten mengatakan salah satu penyebab penanganan kasus ini mandek karena kuatnya hubungan kekerabatan atau praktik nepotisme di lingkungan kementerian.

Ini berdasarkan temuan Tim Independen Pencari Fakta, Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Lingkungan Kemenkop UKM.

Tim ini bertugas memberikan rekomendasi penyelesaian kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pegawai Kemenkop UKM. Selain itu, mereka juga memberikan evaluasi atas pemberian sanksi pegawai yang menjadi dasar pelaksanaan tugas Majelis Kode Etik.

Tim Independen menyimpulkan empat hal yang membuat penanganan kasus ini tidak tuntas. Pertama, adanya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dari kepolisian.

Kedua, adanya perdamaian antara para pelaku dan korban. Ketiga, adanya pernikahan antara korban dengan salah satu pelaku, sebagai cara pelaku untuk membebaskan diri dari jeratan hukum.

"Keempat, hubungan kekerabatan yang cukup erat di lingkungan Kemenkop UKM," kata Teten saat memberikan keterangan pers di kantornya, Jakarta, Senin (28/11).

Ketua Tim Independen Ratna Batara Munti mengatakan ada hubungan kekerabatan antara pelaku dengan pejabat/pegawai lain di Kemenkop UKM. Faktor ini ikut mempengaruhi proses penyelesaian kasus jadi tidak tuntas dan bahkan ditutup-tutupi.

Tim Independen menelusuri hubungan kekerabatan tersebut. ZPA diangkat jadi PNS pada 20 Februari 2020, setelah dirinya menjadi tersangka dan ditahan kepolisian. Dia memiliki dua kerabat yang menduduki jabatan sebagai kepala bagian (kabag) dan kepala bidang (kabid) di kementerian tersebut.

Sementara Wahid merupakan PNS yang memiliki dua paman menjabat kabag. Bahkan salah satu paman WH merupakan atasan ayah korban, yang juga pegawai Kemenkop UKM. MF merupakan pegawai honorer, anak sopir Sesmen periode sebelumnya.

Belakangan, para tersangka dari kalangan PNS maupun honorer dan tenaga alih daya telah dipecat dari Kemenkop UKM. 

"Penanganan kasus ini tidak tuntas dan justru dihambat, ditutup-tutupi sebenarnya karena faktor relasi kekerabatan," kata Ratna dalam konferensi pers Selasa (22/11).

Selain itu, Majelis Kode Etik yang dibentuk Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM pada 2 April 2020, menurut Tim Independen, tidak bekerja dengan semestinya.

Tugas Majelis ini seharusnya melakukan persidangan dan menetapkan jenis pelanggaran kode etik, membuat rekomendasi pemberian sanksi moral dan tindakan administratif kepada pejabat berwenang, dan menyampaikan keputusan sidang Majelis Kode Etik yang berwenang.

Anggota Tim Independen Ririn Sefsani menilai Majelis Kode Etik seharusnya menjadi pintu masuk untuk memperbaiki institusinya. Dia menduga Majelis tersebut dibentuk hanya sebagai formalitas semata.

Bahkan salah satu anggota Majelis Kode Etik mengaku tidak pernah mengetahui bahwa namanya masuk salah satu anggota majelis tersebut.

Berdasarkan keterangan korban dan temuan timnya, Ririn menduga ada unsur pembiaran oleh Kementerian Koperasi dalam kasus ini.

"Kami minta rekomendasinya untuk dibubarkan dan dibentuk Majelis Kode Etik yang baru yang bebas nepotisme," kata Ratna.

Tim Independen menemukan, laporan Sesmen kepada Menteri pada 30 Maret 2020 tidak menyebutkan adanya kejadian kekerasan seksual atau pemerkosaan berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap tujuh orang yang terlibat kasus.

Laporan tersebut hanya menyebut pelanggaran disiplin ASN berupa keluar penginapan tanpa sepengetahuan dan seizin atasan langsung, masuk ke tempat hiburan serta mengonsumsi minuman keras. Pada intinya, laporan itu tidak menginformasikan secara jelas kejadian kekerasan seksual yang dialami korban.

Teten pun mengamini bahwa dirinya tak pernah mendapatkan laporan lengkap terkait kasus ini. Bahkan ketika ZPA diangkat menjadi PNS setelah ditahan, kata Teten, juga tidak dilaporkan oleh Sesmen.

"Saya sudah telusuri di bagian umum, ternyata memang dokumennya ditembuskan ke Menteri, tapi saya tidak terima," kata Teten.

"Saya jadi tahu kasus ini itu kira-kira 30 Maret 2020. Jadi dari tanggal 6 Desember 2019, saya tidak mendapat laporan dan dinyatakan sudah selesai semuanya," tambahnya.

Ririn mengatakan birokrasi pemerintah masih cukup feodal, patronase, bahkan melindungi agar nama lembaganya tidak tercemar.

"Karena ada faktor kekerabatan, asumsi kami justru [mereka] lebih berpihak untuk menjaga korsa, jiwa korsa, rumah bersama, kalau ada kasus ya ditutupilah, diselesaikan baik-baik kalau bisa," kata Ririn saat ditemui di Jakarta Selatan.

Aktivis perempuan ini juga menyoroti perspektif sumber daya manusia (SDM) di Kemenkop UKM, mengingat banyak pegawai dan pejabat yang belum cukup memahami persoalan gender, kekerasan berbasis gender, hingga kekerasan seksual.

Oleh karena itu, salah satu rekomendasi Tim Independen juga meminta Teten untuk menindaklanjuti pohon kekerabatan yang telah diserahkan dengan memberikan rekomendasi kepada Kementerian PANRB.

"Menteri Koperasi dan UKM dengan merujuk temuan pada pohon kekerabatan pada kasus ini antara pelaku dan pejabat, menindaklanjuti dengan rekomendasi kepada Kementerian PAN dan RB untuk melakukan mapping dan analisis tata kelola SDM di K/L dan mendorong merit system sepenuhnya. Hal sejalan sebagai upaya untuk melakukan reformasi birokrasi dengan memangkas faktor paternalisme yakni loyalitas pada pimpinan dan faktor kekerabatan yakni ikatan yang mendahulukan lingkungan terdekat," demikian bunyi poin 7 rekomendasi Tim Independen.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair) Gitadi Tegas Supramudyo menilai nepotisme merupakan sesuatu lumrah terjadi pada birokrasi di Indonesia.

"Apapun labelnya, mulai dari nepotisme, konspirasi yang terkait dengan kekuasaan, terkait dengan kolegia di tingkatan elite, itu banyak terjadi dalam birokrasi kita," ujar Gitadi kepada CNNIndonesia.com.

Lebih lanjut, tindakan kekerasan seksual alias pemerkosaan, menurutnya, umum terjadi pada pelaku berpangkat lebih tinggi dibanding korbannya.

"Pelanggengan [praktik kekerasan seksual] itu sendiri sudah menjadi mindset orang yang ada di dalam struktur," katanya.

Gitadi menilai solusi dari perkara tersebut ialah menempuh jalur hukum dan dibarengi dengan perubahan mindset atau pola pikir para pengambil kebijakan pada instansi tersebut.

Adapun perubahan mindset itu berhubungan dengan reformasi birokrasi yang disebut-sebut Tim Independen dalam rekomendasinya kepada Teten.

(pop/pmg)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER