Jalan Panjang Melindungi Jurnalis dari Kekerasan Seksual
Belum genap dua tahun menjadi jurnalis, Tina-bukan nama sebenarnya, reporter politik di media daring arus utama sudah berulang kali mengalami kekerasan seksual. Setidaknya dua kali ia mengalami kekerasan seksual oleh narasumbernya. Jenis kekerasan seksual yang ia alami beragam, tetapi perusahaan media tempat Tina bekerja bergeming.
Tina pernah dilecehkan secara fisik oleh politikus di ruang kerja si politikus. Di tengah rasa bingung dan gemetar, ia diberi uang dalam jumlah besar. Kala itu, Tina linglung dan hanya bisa merespons seadanya, tak banyak berkata-kata, dan bergegas pulang. Ia berusaha berpikir dengan jernih di sepanjang jalan pulang tentang apa yang baru terjadi pada dirinya.
Selang beberapa hari, Tina mengumpulkan keberanian dan memberitahukan kejadian itu pada atasannya. Tina mengembalikan seluruh uang dari si politisi ke kantor, dengan harapan kantor membela dan memberitahukan kepada si politisi bahwa Tina tidak terima diperlakukan demikian.
Namun, hingga kini Tina tak pernah tahu tindak lanjut kasusnya. Tina tak pernah diberikan informasi jika si politisi mengetahui bahwa ia tak terima dan merasa marah, atau kantor justru melindungi hubungan baik dengan si narasumber.
Minim media punya SOP penanganan
Pemimpin Redaksi Magdalene Devi Asmarani juga memiliki pengalaman serupa. Selama 30 tahun bekerja sebagai jurnalis, ia kerap mengalami pelecehan seksual, baik dari sesama jurnalis maupun narasumber. Saat diwawancara pada pertengahan Desember 2022, Devi menuturkan, kala itu, tak ada kebijakan yang melindunginya. Ia pun merasa sendiri dan takut melaporkan pelecehan seksual yang dialami.
Lihat Juga : |
Berkaca dari pengalamannya, Devi melihat aturan di perusahaan media tentang penanganan kekerasan seksual berperan penting dalam menjamin keamanan jurnalis yang bekerja.
Magdalene adalah satu dari sedikit media yang memiliki aturan soal penanganan kekerasan seksual, bahkan menjadi yang paling awal menerapkan aturan ini, yaitu pada Maret 2020. Devi menyatakan pembuatan standar operasional prosedur (SOP) penanganan kekerasan seksual tak mesti menunggu ada kasus terlebih dahulu.
Penyusunan aturan penanganan kekerasan seksual ini diakui Devi cukup menantang. Ia juga sempat meraba-raba. Ia beserta tim melakukan riset berdasarkan SOP yang sudah ada di lembaga-lembaga internasional ataupun nasional lain.
Riset itu kemudian ia sesuaikan dengan kondisi dan kapasitas organisasi media yang ia pimpin. Dalam aturan penanganan kekerasan seksual itu, Devi mengedepankan tiga prinsip utama. Pertama, keberpihakan pada korban. Kedua, fairness atau keadilan. Ketiga, kerahasiaan.
"Untuk fair itu kan juga kami harus memastikan bahwa sebuah tuduhan itu terbukti, dan kami juga memastikan itu dilakukan dengan cepat jadi tidak berlarut-larut. Kami juga ada secrecy di situ. Jadi itu artinya enggak sampai ketahuan, sampai kebongkar ke mana-mana yang akhirnya kasusnya malah menjadi lebih parah lagi. Jadi cepat, adil, dan secretion, itu yang kami pegang dan utamakan," katanya.
Sejak SOP tersebut diberlakukan pada Maret 2020, Devi menyebut belum pernah ada laporan soal kasus kekerasan seksual di Magdalene.
Meski relasi antara eksistensi kebijakan dan jumlah kasus kekerasan seksual di dalam organisasi belum banyak diteliti, Devi yakin keberadaan SOP ini menunjukkan kehadiran perusahaan saat ada karyawan yang jadi korban kekerasan seksual.
Lihat Juga : |
Menurutnya, SOP ini menjadi rambu-rambu batasan dari perusahaan bagi karyawan untuk menjaga kenyamanan di internal perusahaan. Untuk itu, menurut Devi, selain penting mendefinisikan apa itu kekerasan seksual, penting pula menjabarkan mekanisme pengaduan ketika kasus itu terjadi, baik di internal maupun eksternal perusahaan.
"Satu sinyal yang diberikan perusahaan ketika mereka punya (SOP) ini adalah 'we got your back' gitu lho. Kami support kamu, kamu enggak sendiri ketika mengalami ini. Enggak seperti saya bertahun-tahun yang lalu, ketika saya mengalami ini dan merasa sendirian karena enggak tahu ke mana harus melapor," tuturnya.
Devi pun mengatakan Dewan Pers semestinya mengambil peran lebih besar untuk merekomendasikan sekaligus memandu perusahaan media untuk menerbitkan aturan serupa. Menurutnya, keberadaan aturan penanganan kekerasan seksual akan membantu perusahaan untuk mengurangi potensi konflik di masing-masing internal organisasi.
"Kalau menunggu perusahaan untuk punya kesadaran sendiri, kadang-kadang geraknya lambat kan, terutama perusahaan besar ya. Perusahaan besar akan menganggap kalau tidak berbasis ekonomi dan kepentingan bisnis, biasanya kebijakan-kebijakan seperti ini kurang ada insentifnya."
"Apalagi kalau ada potensi akan menciptakan ketegangan di dalam kantor, di dalam lingkungan kerja. Jadi saya kira SOP ini penting banget," ucap Devi.
Lihat Juga : |
Mayoritas pernah terkena pelecehan
Fenomena kasus kekerasan seksual di kalangan jurnalis bukan hal baru. Berdasarkan hasil riset Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) periode Agustus-September 2021, dari total 1.256 responden jurnalis perempuan, 1.077 di antaranya (85,7 persen) pernah mengalami kekerasan sepanjang karier jurnalistik mereka.
Artinya, hanya 179 responden (14,3 persen) yang tidak pernah mengalami kekerasan sama sekali.
Dari jumlah jurnalis yang pernah mengalami kekerasan, 753 responden atau 70,1 persen di antaranya mengalami kekerasan di ranah digital sekaligus di ranah fisik. Sementara itu, 85 responden (7,9 persen) pernah mengalami kekerasan digital, dan 84 responden (7,8 persen) pernah mengalami kekerasan fisik.
Dari lebih 1.000 jurnalis perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual, 272 di antaranya merespons kasus yang dialami, sementara sisanya mendiamkan kekerasan yang diterima.
Cara yang paling banyak dilakukan responden adalah melaporkan ke atasan atau rekan kerja sebesar 52 persen, sementara 29 persen melaporkan ke organisasi terkait dan 10 persen mengajukan tuntutan hukum.
Respons lainnya adalah menyelesaikan masalah secara pribadi seperti menghadapi sendiri, menegur, melakukan diskusi, melancarkan serangan balik, bercerita ke kerabat, dan menuangkannya ke dalam tulisan atau artikel.