"Tuh kan, Ma. Dia itu bohong, dia itu mengingkari janji. Udah, serahin aja lagi, penjarain aja," kata Nara, korban pemerkosaan saat bicara dengan ibunya.
Dalam obrolan itu, Nara -bukan nama sebenarnya- mengungkapkan kekecewaan terhadap suaminya, ZPA. ZPA adalah salah satu pelaku pemerkosaan yang kemudian menikahi Nara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 2020.
Sejak itu Nara tak banyak bicara, termasuk kepada ibunya. Dia tak ingin mengingat luka lama. Ibunya mengatakan tak ada yang diungkapkan lagi oleh korban kecuali permintaan agar para pelaku dipenjara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pokoknya penjarain aja! Penjarain aja!" kata sang ibu kepada CNNIndonesia.com, mengulang permintaan Nara.
Tiga tahun berlalu sejak pemerkosaan terjadi Desember 2019, Nara tak kunjung mendapat keadilan. Empat pelaku pemerkosaan masih bebas beraktivitas sampai sekarang.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengakui bahwa penanganan kasus pemerkosaan yang menimpa bekas tenaga honorer di kementeriannya jauh dari rasa keadilan bagi korban dan keluarganya.
"Penyelesaian kasus ini sudah berlarut-larut dan dirasa juga tidak memberikan keadilan yang cukup," ujar Teten di kantornya, Senin (28/11).
Selain melibatkan sejumlah pelaku di Kemenkop UKM, selama ini penanganan kasus tersebut juga terkesan ditutup-tutupi.
"Ini kan yang melakukan 'pemerkosaan' lebih dari satu orang, empat orang, dan dalam keadaan katakanlah tidak berdaya. Jadi sekali lagi saya mohon ada empati terhadap korban yang sekarang sudah sangat menderita dengan kelemahan-kelemahannya," kata Teten.
Beberapa hari setelah peristiwa pemerkosaan, Nara melaporkan empat rekan kerjanya ke Polresta Bogor, tanpa didampingi pengacara, pada 20 Desember 2019. Saat itu terbit Laporan Polisi Nomor: LP/577/XII/2019/JBR/Polresta Bogor Kota.
Sebulan kemudian polisi menetapkan status tersangka terhadap keempat pegawai Kemenkop UKM, yaitu ZPA, WH, MF, dan NN. Mereka dikenakan pelanggaran pasal 286 KUHP yakni perkosaan terhadap perempuan yang diketahui pingsan atau tidak berdaya.
Pada 14 Februari 2020, para tersangka sempat ditahan aparat kepolisian. Saat itu pula lobi-lobi kepada korban dan keluarganya dilancarkan pihak pelaku, juga oleh aparat kepolisian.
Muncul surat perjanjian bersama antara pelaku dengan korban yang difasilitasi oleh kepolisian pada 3 Maret 2020. Disusul dengan pernikahan antara salah satu tersangka yaitu ZPA dengan korban pada 13 Maret 2020.
Berdasarkan pengakuan keluarga, para penyidik, termasuk Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Bogor Kota, aktif membujuk serta mendesak korban dan keluarganya untuk menerima perdamaian dari pihak pelaku. Polisi memfasilitasi perjanjian damai itu, hingga ada pernikahan antara pelaku dan korban.
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jawa Barat selaku kuasa hukum korban menyebut pada akhir Februari 2020, penyidik sempat membujuk orang tua korban agar kasus ini diselesaikan secara damai. Pertemuan ini juga dihadiri orang tua salah satu tersangka Zaka.
"Berapa uang damai yang diminta, tapi jangan gede-gede ya, pelaku ada yang sampai menjual tanahnya tuh, dan nanti juga korban dinikahi sama Zaka," kata penyidik kepada keluarga korban dikutip kuasa hukum.
Direktur LBH APIK Jawa Barat Ratna Batara Munti mengatakan penyidik juga memberikan informasi yang menyesatkan atau menakut-nakuti orang tua korban dengan mengatakan bahwa kalau proses hukum dilanjutkan hingga pengadilan, maka biaya yang harus dikeluarkan semakin besar.
"Kalau mau diproses terus, akan lama dan biayanya mahal," kata penyidik kepada keluarga korban, seperti diceritakan Ratna.
Saat itu, orang tua korban telah menghabiskan kurang lebih Rp50 juta kepada penyidik. Kata Ratna, uang diminta oleh penyidik di antaranya untuk biaya transportasi penangkapan empat pelaku pada 14 Februari 2020.
Sejak awal pemeriksaan di kepolisian, penyidik tidak memperkenankan orang tua mendampingi korban saat yang bersangkutan dipanggil masuk ke ruangan untuk dimintai keterangan. Padahal kondisi korban saat itu masih sangat trauma dan takut serta bingung mau diapakan oleh penyidik.
Ternyata, penyidik menyodorkan beberapa lembar kertas yang sudah ada tulisan di dalamnya untuk ditandatangani oleh korban. Penyidik tidak menjelaskan satu persatu isi tulisan tersebut.
Ratna mengatakan pada saat itu korban benar-benar tidak memahami isi surat-surat yang disodorkan oleh penyidik. Korban hanya mengikuti perintah penyidik yakni menandatangani surat-surat tersebut.
Penyidik kembali memanggil korban dan orang tuanya pada 6 Maret 2020. Saat itu Kanit menyerahkan uang dalam amplop terbungkus kresek sambil berkata, "Ini ada uang Rp40 juta dari pelaku untuk biaya perkawinan, ini sudah beruntung dikasih uang segini, ada kasus-kasus lain, ada satu kasus yang ujung-ujungnya hanya diberi cuma enam belas juta."
Tak lama setelah itu, polisi menghentikan penyidikan dengan dalih "keadilan restoratif" pada 18 Maret 2020.
Pihak Polresta Bogor Kota enggan berkomentar ketika ditanya terkait kasus ini. Kanit PPA tak berkenan dikutip komentarnya, sementara Kasat Reskrim tidak menjawab panggilan telepon maupun pesan WhatsApp yang dikirim CNNIndonesia.com.
Begitu bebas dari jerat hukum, ZPA sulit dihubungi keluarga korban. Sepanjang menikahi korban, ZPA tak pernah tinggal bersama sebagaimana layaknya suami istri. Mereka pisah rumah.
Tersangka dinilai ingkar janji atas surat perjanjian bersama tertanggal 3 Maret 2020. Atas dasar ini, keluarga korban meminta bantuan pengacara untuk mempertanyakan tindak lanjut penyidikan perkara. Kini korban berusaha mencari keadilan dengan pendamping hukum.
Berlanjut ke halaman berikutnya...