LIPUTAN KHUSUS

Mimpi Buruk Korban Pemerkosaan di Kemenkop, Dinikahi lalu Ditinggalkan

CNN Indonesia
Rabu, 28 Des 2022 09:30 WIB
Korban pemerkosaan pegawai Kementerian Koperasi dan UKM terluka berkali-kali. Para tersangka bebas, korban dinikahi pelaku, lalu ditelantarkan.
Ilustrasi. (Foto: Istockphoto/funky-data)
Jakarta, CNN Indonesia --

"Buk! Buk!" Terdengar suara seperti orang membanting barang ke tembok dari dalam kamar di lantai dua.

Kamar itu dihuni Nara, bukan nama sebenarnya. Perempuan 27 tahun itu adalah korban pemerkosaan rekan-rekannya di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM).

Sang ibu, Mala (nama samaran) yang mendengar suara itu langsung menengok ke kamar malam itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bunyi apaan, de? Apa yang jatuh?" tanyanya kepada Nara. Dia pun mendekati anak perempuan satu-satunya itu.

"Enggak, itu jatuh sendiri," jawab Nara berusaha menutupi kejadian. Bantal guling berantakan di bawah kasur, tampaknya ditendangi.

Dari matanya yang merah, ibunya tahu kalau anaknya habis menangis. Tapi Nara berusaha menyembunyikannya. Kelilipan, katanya.

Nara mengalami trauma hebat. Sikapnya berubah drastis. Si bungsu yang ceria, manja, dan terbuka, kini jadi mudah marah, murung, dan menutup diri dengan keluarga.

"Saya peluk. Kalau ingat (kasusnya) ditanya diam aja. Enggak merespons sama sekali. Seolah-olah pikirannya ke mana-mana, matanya kosong," ujar ibunya menceritakan momen kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Nara hanya memiliki seorang saudara kandung, kakak laki-laki. Sejak peristiwa ini, jika dicolek kakaknya, dia langsung emosi. Tak ada lagi keceriaan. Kini dia lebih banyak mengurung diri dalam kamar.

"Setelah kejadian itu dia mengalami mimpi buruk mulu. Mungkin setelah mimpi itu ingat lagi [kejadian pemerkosaan]," kata ibunya.

Ibu korban merasa bersalah karena terpaksa mengizinkan anaknya menikah dengan pemerkosa pada dua tahun lalu. Dia mengaku tak ada pilihan lain saat itu.

Tekanan datang dari berbagai pihak. Saat itu korban dan keluarganya tak ada yang mendampingi secara hukum.

"Dalam hati, saya juga enggak terima untuk dikawinin itu...Saya membayangkan anak saya pas lagi perjuangan itu, enggak ada yang bantuin," ucap ibu korban menangis.

Para terduga pelaku pemerkosaan yaitu ZPA, WH, MF, dan NN ditetapkan sebagai tersangka pemerkosaan pada 20 Januari 2020, sebulan setelah Nara melaporkan kasusnya ke Polres Kota Bogor Kota.

Sejak itu, rumah Nara ramai didatangi keluarga tersangka. Bahkan keempat tersangka juga pernah datang ke rumah korban pada Januari 2020. Keluarga korban pun geram dan menumpahkan kemarahannya. 

Negosiasi semakin kencang saat polisi menangkap dan menahan empat tersangka pada 14 Februari 2020. Hampir setiap hari keluarga para tersangka mendatangi rumah Nara. Ketua RT, saudara, hingga kakek-nenek diboyong, hingga rumah Nara penuh kerabat tersangka.

"Setiap datang dari pagi sampai sore, sampai duduk di teras, satu keluar, satu masuk, sampai penuh," kata ibu korban.

Mereka berharap korban mau mencabut laporan kepolisian. Dengan demikian pelaku bebas dari jeratan hukum.

Ibu Nara mengatakan orang tua ZPA sempat mengklaim anaknya suka dengan Nara. Klaim itu dinilai tak masuk akal. Menurut ibu Nara, jika memang suka seharusnya ZPA melindunginya, bukan malah memperkosa.

Istri WH juga datang ke rumah Nara. Dia berharap suaminya dibebaskan karena anaknya sedang sakit. Begitu pun istri NN yang juga berdalih anaknya sakit.

Di tengah tekanan itu, keluarga Nara kukuh tak ingin mencabut laporan. Alasannya agar para pelaku jera dengan hukuman penjara.

"Biar dia tuh bisa bener-bener tobat, bener-bener nyesel bahwa itu enggak bisa main-main. Itu bukan kasus kecil, itu kasus besar. Saya bertahan," kata ibu Nara.

Paman WH yang menjabat Kepala Bagian Rumah Tangga di Kemenkop UKM juga sempat ke rumah Nara. Dia merupakan atasan ayah Nara yang juga PNS di Kemenkop UKM. Paman WH ini sempat mengajukan upaya damai.

"Intinya itu menyelesaikan secara kekeluargaan lah. Dari awal memang ada indikasi mengarah ke situ, dari sebelum pelaku dipenjara kan, ke sini (rumah) berapa kali nemuin ibu. Saya enggak ada," kata ayah korban.

Tak hanya kerabat pelaku, penyidik dan Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Polresta Bogor Kota kala itu, Iptu Frida, juga sempat datang ke rumah Nara.

Menurut kuasa hukum korban, Ratna Batara Munti, polisi diduga terlibat aktif membujuk korban dan keluarga untuk berdamai dengan pelaku.

Bahkan, menurut Ratna, penyidik diduga menakut-nakuti orang tua korban. Jika proses hukum dilanjutkan hingga pengadilan, maka biaya yang mesti dikeluarkan keluarga korban semakin besar. Hal itu pun dibenarkan pihak keluarga.

Keluarga Nara mulai goyah. Ibu Nara bertambah bingung ketika Kanit PPA mengutarakan ide agar anaknya menikah dengan ZPA. Sontak hatinya bercampur aduk, terbayang derita yang dialami putri kesayangannya.

"Bu Kanitnya ikut membujuk. 'Mendingan dinikahin aja, mumpung ada yang mau nikahin'. Sebenarnya enggak terima sama sekali. Cuma, kata bu Kanit, ke pengadilan itu biayanya mahal," kata ibu korban.

"Pas itu bu Kanit yang mojok-mojokin sampai ngomong, 'ibu mau minta berapa?' Saya enggak nyautin sama sekali. Memang saya lagi jual anak apa. Yang paling utama itu keadilan, tapi si ibu Kanit bilangnya kalau ibu mau dilanjutin ke pengadilan itu mahal biayanya," ungkap ibu Nara.

Keluarga Nara merasa awam dengan proses hukum. Dia terbayang selama proses penyidikan, keluarga selalu menyetor uang ke polisi. Jumlahnya mencapai Rp50 juta. Salah satunya diminta penyidik ketika tersangka hendak ditangkap.

"Kalau saya tahu ke pengadilan itu enggak bayar, kita teruskan [proses hukum]. Ini ngomongnya mahal, gede biayanya. Saya sudah habis-habisan," kata ibu Nara.

Hati dan pikiran ibu korban kacau membayangkan biaya pengadilan, sementara ayah korban akan pensiun dalam waktu dekat. Keluarga pun pasrah. Sang ibu mencoba menanyakan korban apakah mau menikah dengan pelaku.

"Saya sebenarnya berat, bener-bener berat. Korban diam aja (ditanya soal pernikahan)," ujar sang ibu saat membujuk anaknya.

Beberapa kali ditanya, korban tetap tak merespons. Hingga akhirnya Nara menjawab. "Ya sudahlah kalau menurut mama baik," kata ibu korban mengulang jawaban anaknya.

Pada 3 Maret 2020, dibuatlah sebuah surat perjanjian bersama antara korban dan empat terduga pelaku. Kakak Nara, Roy (nama samaran) menduga surat itu diketik oleh seorang penyidik bernama Tito.

Salah satu poin surat tersebut berbunyi, "Pihak ke I (ND) dan Pihak ke II (Para Pelaku) berjanji dan bersepakat untuk menyelesaikan permasalahan secara musyawarah/kekeluargaan karena sudah diselesaikan secara musyawarah/kekeluargaan."

Pada poin selanjutnya tertulis bahwa korban bersedia mencabut laporan yang tercatat dengan nomor: LP/577/XII/2019/JBR/Polresta Bogor Kota.

Sementara poin lainnya, "Pihak II (ZAKA PRINGGA ARBI) dalam perjanjian ini bertanggung jawab memberikan kewajiban nafkah dalam pernikahan sebagai suami berupa nafkah batin, sandang, pangan, dan papan kepada Pihak I (ND) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku."

Dalam poin lain, ZPA juga berjanji dalam pernikahan tidak akan melakukan tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kepada istrinya.

Poin lainnya menjelaskan jika melanggar poin-poin dalam perjanjian itu, para pelaku dapat dituntut kembali sesuai jalur hukum yang berlaku dan memberikan kompensasi materiel kepada korban. 

Berlanjut ke halaman berikutnya...

Penanganan Kasus Dihentikan Lewat Jalan Keadilan Restoratif

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER