Jakarta, CNN Indonesia --
Sudah lebih dari sepekan Pilot Pesawat Susi Air Pilatus Porter PC 6/PK-BVY, Kapten Philips Max Mehrtens disandera Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
Penyanderaan dilakukan sejak pesawat dibakar pada Selasa (7/2). Juru Bicara Komnas TPNPB-OPM Sebby Sambom menyebut Philips akan terus ditahan sampai pasukan militer Indonesia ditarik dari Papua.
TPNPB-OPM juga menjadikan Philips sebagai jaminan politik agar kemerdekaan Papua diakui. Hal itu diucapkan Sebby dengan didampingi oleh Ketua Dewan Militer TPNPB Kodap III Ndugama-Derakma, Mayor Oscar Wandikboia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sampaikan bahwa secara resmi kami telah terima foto dan video pasukannya [Oscar], di mana mereka melaporkan pilot asal Selandia Baru resmi mereka tahan sebagai jaminan politik sebagai negosiasi hak kemerdekaan Papua Barat," ujar Sebby dalam video berdurasi 2.51 menit.
Penyanderaan Philips dianggap sejumlah pihak sebagai salah satu bentuk akumulasi kekecewaan OPM atas banyaknya permasalahan yang terjadi di bumi Cendrawasih.
Peneliti Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas menilai penyanderaan Philips tidak bisa disepelekan. Dia menyebut penyanderaan itu adalah tamparan keras bagi Indonesia untuk segera menyelesaikan permasalahan di Papua.
Terlebih, penyanderaan yang dilakukan oleh OPM itu bukan yang pertama. Pada Agustus 1996, OPM juga pernah menyandera sejumlah peneliti dari Eropa.
Cahyo mengungkapkan OPM saat itu juga memberi ancaman yang serupa: meminta militer ditarik dan kemerdekaan Papua diakui. Namun, Indonesia justru masih melakukan pendekatan keamanan dengan mengerahkan militer. Walhasil, dua orang yang disandera tewas.
"Kemudian ini tahun 2023 itu diulangi lagi. Artinya, ada masalah di Papua itu. Artinya, penyelesaian permasalahan Papua selama ini going nowhere atau masih di situ situ saja," kata Cahyo kepada CNNIndonesia.com, Rabu (16/2) malam.
"Jadi itu tamparan keras untuk [Indonesia] selesaikan konflik di Papua," imbuhnya.
Menurut Cahyo selama ini upaya penyelesaian yang dilakukan negara terhadap permasalahan Papua belum menyentuh akarnya. Indonesia masih berpikir permasalahan di Papua hanya kemiskinan dan keterbelakangan.
Padahal, Cahyo menilai permasalahan di Papua sangat kompleks, mulai dari pengelolaan sumber daya alam, perlindungan masyarakat adat, sampai persoalan politik, termasuk keinginan untuk merdeka dari Indonesia.
Dengan pembacaan yang salah, Indonesia juga dinilai telah memperparah permasalahan itu dengan mengeluarkan solusi yang tidak diinginkan oleh sebagian besar orang asli Papua (OAP).
Sebagai contoh, Indonesia tetap mengesahkan UU otonomi khusus dan melakukan pemekaran wilayah di Papua dengan dalih salah satunya untuk mengentaskan permasalahan kesejahteraan di Papua. Semua langkah itu di ambil di tengah penolakan keras warga Papua.
Cahyo mengaku tak heran jika selama ini Indonesia belum juga berhasil menyelesaikan permasalahan di Papua. Sebab, semua permasalahan yang kompleks itu masih dikesampingkan.
"Jadi lama-lama orang Papua itu akumulasi kekecewaan, keputusasaan, beberapa bentuk ekspresinya adalah bersenjata dan penyanderaan," ujarnya.
"Dan itu bagian dari suatu upaya untuk mendapatkan perhatian internasional. Agar dunia memperhatikan nasib mereka, membela, mendukung aspirasi OAP," lanjutnya.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Kali ini, Indonesia diuji dengan penyanderaan Philips. Cahyo berkata langkah Indonesia yang diambil akan mempengaruhi nasib keselamatan Philips dan situasi konflik di Papua.
Dia menyebut Indonesia tidak boleh mengambil langkah keliru yang berulang dan menambah akumulasi kekecewaan bagi OAP.
Pendekatan militer dan keamanan terbukti gagal, baik dalam penyelesaian kasus penyanderaan pada 1996, maupun dalam penyelesaian konflik di Papua selama ini.
Alih-alih mengirim pasukan, Cahyo menyarankan Indonesia untuk mengirim seorang negosiator. Cahyo menyebut permasalahan di Papua bisa diselesaikan dengan dialog.
"Cukup negosiator antara pemerintah dengan pihak OPM. Ini mungkin dapat menjadi momentum antara pemerintah dengan OPM," ujarnya.
Jika Indonesia masih memaksakan pendekatan militer, permasalahan di Papua dinilai tak akan pernah selesai.
"Dengan mereka diserang, itu tidak menyelesaikan masalah. Itu hanya akan menghasilkan dendam, ia mewariskan dendam dari satu generasi ke generasi lain. Sehingga konflik tidak ada selesainya," ujar dia.
Pandangan serupa juga dikeluarkan oleh aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) asal Papua Yones Douw serta Pengamat Sosial dan Politik dari Universitas Cenderawasih Petrus K Farneubun.
Sebagai aktivis HAM sekaligus OAP, Douw juga tak menginginkan pendekatan militer diterapkan di Papua. Dia mengingatkan akan ada potensi tembak menembak, salah tangkap, pengungsian, dan kematian jika Indonesia tetap memaksakan pendekatan militer.
Penyanderaan Philips pun juga harus diselesaikan dengan dialog antara OPM, pemerintah Indonesia dan Selandia Baru.
"Apabila Pilot ini tidak membebaskan lalu lakukan operasi militer untuk membebaskan sandera maka itu kegagalan pemerintah Indonesia," kata Douw.
"Yang di butuhkan sekarang adalah untuk keselamatan pilot dan keselamatan bagi masyarakat sipil," imbuhnya.
Sementara itu, Pengamat Sosial dan Politik dari Universitas Cenderawasih Petrus K Farneubun menilai penawanan pilot Susi Air asal Selandia Baru itu tak bisa hanya dilihat sebagai ancaman. Dia berkata penawanan itu bisa menjadi awal Indonesia untuk melakukan dialog bersama Papua.
"Jadi bukan melihat hanya dari segi ancaman sehingga untuk menumpas ancaman tersbut harus dengan kekuatan militer, tapi perlu juga melihat ini sebagai satu peluang untuk sama sama duduk di berunding atau dialog," kata Petrus kepada CNNIndonesia.com, Kamis (16/2).
Petrus menyebut permasalahan di Papua sejak dulu sampai sekarang masih sama, yakni kepentingan negera dengan aspirasi Papua merdeka.
"Dan secara teori, selama masih ada inkompatibilitas ini, maka potensi konflik tetap ada," ujarnya.
"Kita tidak bisa berharap konflik akan berakhir dengan pengerahan pasukan ke wilayah wilayah konflik atau menumpas OPM karena aspirasi itu muncul dari dalam diri karena berbagai faktor, misalnya faktor sejarah, grievance (keluhan) dan lain-lain," lanjutnya.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Peneliti dari Lipi Cahyo Pamungkas menilai Indonesia bisa mencoba melakukan pendekatan dialog seperti di Aceh, saat kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) juga ingin melepaskan diri dari Indonesia.
Namun demikian, dialog damai untuk Papua sedikit berbeda, harus dilakukan secara bertahap. Sebab, konteks sosial dan situasi Papua berbeda dengan Aceh.
Jika di Aceh hanya ada kelompok GAM, maka di Papua terbagi ke dalam sejumlah kelompok. Ada kelompok yang memilih pendekatan militer seperti TPNPB-OPM atau kelompok yang tidak bersenjata seperti United Liberation Movement for West Papua (ULMWV).
Menurut Cahyo, pertama, dialog harus dilakukan yakni di internal Papua itu sendiri. Dialog itu pun harus mempunyai kesepakatan.
Setelah itu, dialog dilanjutkan dengan melibatkan negara dan pihak-pihak yang selama ini berkonflik, terutama antara TPNPB-OPM dengan TNI/Polri.
"Jadi ada dua tahap, yaitu di internal Papua sendiri, lalu di tingkat nasional. Atau kita sebut dialog bertingkat," ucap dia.
Pada 2021, Komnas HAM menandatangani Nota Kesepahaman bersama MRP, Dewan Gereja Papua (DGP), dan ULMWP. Menurut dokumen tertanggal 10-11 November 2022, mereka menandatangani Nota Kesepahaman Tentang Jeda Kemanusiaan Bersama.
Namun, hingga saat ini jeda kemanusiaan itu belum juga terasa. Konflik masih banyak terjadi di Papua.
Cahyo mengaku mendukung niat baik Komnas HAM. Menurut Cahyo, niat baik itu tak cukup, barus ada implementasi yang tepat.
Dalam kesepakatan yang dibuat Komnas HAM, masyarakat Papua belum terepresentasikan. Sebab, Komnas HAM hanya memilih MRP dan Dewan Gereja Papua (DGP), dan ULMWP, yang notabenenya selama ini bukan pihak utama yang berkonflik.
"Kelemahannya itu mereka yang tanda tangan bukan mereka yang berkonflik secara langsung, tapi diwakilkan. Harusnya kan itu dilakukan antara panglima. Jeda kemanusiaan kemarin ditandatangani bukan oleh orang yang memiliki komando," ucap dia.
Dia berharap niat baik itu harus dilanjutkan serta dibenahi. Cahyo mengingatkan agar pemerintah melalui Komnas HAM tidak membuat kesepakatan jeda kemanusiaan berhenti menjadi sekadar kampanye.
"Kita perlu mendukung, bahwa itu merupakan suatu langkah maju untuk menyelesaikan kasus Papua secara damai. Harus ada follow up," tuturnya.