Haryanto mengatakan kala itu masjid tersebut menjadi sasaran penjajahan Belanda lantaran digunakan sebagai tempat ibadah sekaligus tempat menyusun strategi melawan kompeni.
Pergerakan KH Moestojib dan Ki Daeng pun diawasi begitu ketat. Kali Krukut yang berada tepat di muka masjid turut menjadi saksi bisu patroli yang dilakukan oleh Belanda.
Meski para kompeni berhasil masuk ke dalam masjid, namun dikisahkan bahwa mereka tak pernah menemukan keberadaan KH Moestojib dan Ki Daeng. Padahal, keduanya berada di masjid tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu ini depannya rawa-rawa bukan jalan seperti ini dulu. Biasanya Belanda pada lalu lalang di kali ini naik getek, kapal. Kalau misalkan mau nyari tau tentang masjid ini lewat rawa-rawa ini. Namanya beliau ini seorang ulama ketika melihat ya enggak ada," ujarnya.
Haryanto menyebut KH Moestojib dan Ki Daeng bersembunyi di menara masjid berukuran 2x2 meter. Puncak atap menara itu terdapat mustaka berbentuk nanas.
Menurutnya, tempat persembunyian itu memiliki tangga penghubung langsung dari bawah masjid. Namun, setelah dilakukan renovasi, tangga tersebut dihilangkan.
"Itu ada menara sejarah. Dulu tempat beliau zikir, munajat. Jadi ada tempat, itu dijadikan beliau munajat. Kayak bersembunyi. Padahal beliau ada tapi sama Belanda enggak kelihatan," ucapnya.
Usai KH Moestojib dan Ki Daeng meninggal dunia, Masjid Jami Tambora dipimpin oleh Imam Saiddin. Setelahnya, masjid tersebut mengalami beberapa kali pergantian pimpinan terakhir pada 1370 Hijriah atau 1950 Masehi. Kala itu, kepemimpinan berada di tangan Madsupi dan kawan-kawannya di Gang Tambora.
Kemudian pada 1945, Masjid Jami Tambora sempat dijadikan markas perjuangan melawan Tentara Netherland Indies Civil Administrations (NICA). Namun, pada tahun yang sama tepatnya pada Oktober, masjid tersebut diserang oleh Tentara NICA dan berhasil menawan Madsupi bersama kawan-kawan.
Selanjutnya, untuk perawatan dan perlindungan masjid maka didirikan suatu yayasan bernama Yayasan Masjid Jami Tambora oleh Haji Memed pada 1959 lalu.
Mengutip dari laman resmi Dinas Kebudayaan Jakarta, KH Moestojib dan Ki Daeng berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan. Keduanya kemudian menetap lama di Sumbawa. Tepatnya di lereng Gunung Tambora.
Oleh karena itu, wilayah kampung dan nama masjid yang didirikan KH Moestojib dan Ki Daeng disebut Tambora.
Dua ulama itu dikenal sebagai pemberontak dan pembangkang terhadap pemerintahan kolonial VOC. Atas perbuatannya, KH Moestojib dan Ki Daeng dibuang ke Batavia.
Setelah masa hukuman berakhir, KH Moestojib dan Ki Daeng akhirnya menetap di Batavia. Mereka kemudian berkenalan dengan banyak ulama dan masyarakat sekitar Batavia kala itu.
Hingga akhirnya keduanya bersepakat untuk mendirikan masjid sebagai salah satu ungkapan rasa syukur karena telah bebas dari hukuman VOC.
Masjid Jami Tambora dibangun KH Moestojib dan Ki Daeng pada 1761 silam. Masjid itu memiliki luas bangunan 435 meter persegi yang berdiri di atas tanah seluas 555 meter persegi. Di dalam kompleks masjid tersebut, KH Moestojib dan Ki Daeng disemayamkan. Hingga kini, makam kedua ulama tersebut masih ramai dikunjungi peziarah.
Fenomena ziarah makam merupakan tradisi turun-temurun yang sudah berakar kuat di kalangan umat Islam Nusantara sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang khususnya para wali atau penyebar agama Islam di tanah nusantara.
(isn/lna/isn)