Keraton Yogyakarta akhirnya kembali menyelenggarakan tradisi Garebeg Sawal atau Grebeg Syawal rangkaian peringatan Idulfitri 1444 H/Tahun Ehe 1956 secara terbuka.
Tiga tahun sebelumnya, tradisi ini digelar secara terbatas imbas pandemi Covid-19.
Prosesi dimulai dengan iring-iringan bregada prajurit dan tujuh gunungan terdiri dari lima jenis. Antara lain, Gunungan Kakung, Gunungan Estri/Wadon, Gunungan Gepak, Gunungan Dharat, dan Gunungan Pawuhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gunungan dibawa dari Bangsal Pancaniti, Kamandungan Lor, oleh Abdi Dal Kanca Abang melalui Regol Brajanala-Sitihinggil Lor-Pagelaran.
Setelahnya, gunungan dibawa keluar lewat barat Pagelaran menuju Masjid Gedhe dan didoakan di sana. Gunungan pun dirayah atau diperebutkan oleh warga.
Mereka terlihat antusias berebut ubarampe berupa hasil bumi yang melingkar pada gunungan, macam kacang panjang, cabai merah, salak, duku, ubi, jambu dan lain sebagainya. Ada pula wajik, ketan, rengginang, kue bendul, juga telur asin.
Sarwi (47), warga Paseban, Bantul, mengaku baru kali pertama merayah gunungan pada momen Grebeg Syawal. Dia juga tidak tahu ubarampe apa saja yang berhasil dirayahnya.
![]() |
"Ini kacang panjang, sama apa ini enggak tahu. Ya semoga dapet berkahnya aja," katadia, ditemui di Masjid Gedhe, Sabtu (22/4).
Sementara, Ngadiyem (57) rela mengais remahan rengginang dari gunungan yang tersisa di area paving block masjid dengan tangannya lalu memasukkannya ke sebuah plastik.
Warga Bangunharjo, Bantul, DIY, itu mengaku tidak kuat nyali jika sampai harus berebut gunungan dengan ratusan orang lainnya.
"Ini (remahan rengginang) buat makan ayam, biar sehat. Biar berkah. Sama buat disebar ke sawah, supaya subur," ungkapnya.
KRT Rinta Iswara, selaku Penghageng II Kawedanan Nitya Budaya menjelaskan, selain lima gunungan di Masjid Gedhe, masih ada dua lainnya yang diantar ke Pura Pakualaman dan Kompleks Kepatihan.
Tiga Gunungan Kakung masing-masing diperuntukkan bagi Masjid Gedhe, Pura Pakualaman, dan Kepatihan. Sementara yang lainnya masing-masing berjumlah satu buah dan ikut dirayah di Masjid Gedhe, bersama dengan satu Gunungan Kakung.
Sejatinya, kata dia, Grebeg Syawal merupakan salah satu upacara yang rutin dilaksanakan oleh Keraton Yogyakarta.
Namun, tiga tahun terakhir gelaran ini dilakukan tanpa arak-arakan dan tradisi rebutan gunungan hasil bumi. Hal itu diganti dengan pembagian tangkai ubarampe kepada para abdi dalem.
Kata Garebeg, menurut Rinta, berasal dari Bahasa Jawa yang berarti berjalan bersama-sama di belakang Ngarsa Dalem atau orang yang dipandang seperti Ngarsa Dalem.
"Garebeg yang dilakukan di keraton adalah Hajad Dalem, sebuah upacara budaya yang diselenggarakan oleh keraton dalam rangka memperingati hari besar agama Islam yakni Idulfitri, Iduladha, dan Maulid Nabi Muhammad SAW," tambahnya.
Dalam pendapat lain dikatakan bahwa istilah garebeg atau yang umumnya disebut grebeg berasal dari kata 'gumrebeg', mengacu kepada deru angin atau keramaian yang ditimbulkan pada saat berlangsungnya upacara tersebut.
"Gunungan merupakan perwujudan kemakmuran Keraton atau pemberian dari raja kepada rakyatnya."
"Jadi makna Garebeg Sawal secara singkatnya adalah perwujudan rasa syukur akan datangnya Idulfitri, yang diwujudkan dengan memberikan rezeki pada masyarakat melalui ubarampe gunungan yang berupa hasil bumi dari tanah Mataram," pungkasnya.
(kum/arh)