Pengamat Sebut Ekspor Pasir Laut Hanya Untungkan Korporasi

CNN Indonesia
Senin, 29 Mei 2023 14:43 WIB
Sejumlah organisasi lingkungan menyebut ekspor pasir laut hanya menguntungkan korporasi dan mengancam pulau-pulau kecil.
Ilustrasi. Sejumlah organisasi lingkungan menyebut ekspor pasir laut hanya menguntungkan korporasi. (CNN Indonesia/Tiara Sutari)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sejumlah organisasi lingkungan menentang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang ditandatangani Presiden Joko Widodo.

Hal itu lantaran dalam beleid itu pemerintah memperbolehkan eksploitasi pasir laut, sebagaimana tertuang dalam Pasal 6. Pengerukan itu diperbolehkan dengan dalih pengendalian sedimentasi laut.

Tak hanya itu, pemerintah juga memperbolehkan ekspor pasir laut. Ketentuan itu tertuang pada Pasal 9 huruf d.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar menilai PP No 26/2023 tak jauh beda dengan Undang-undang (UU) Cipta Kerja dan Revisi UU Minerba yang lebih banyak merugikannya.

Dia menyebut PP 26/2023 itu akan memperparah kerusakan lingkungan pesisir dan hanya menguntungkan korporasi.

"Jika UU Cipta Kerja dan hasil revisi UU Minerba memberi memberi ruang pembongkaran komoditas mineral di daratan, berikut banyak insentif di dalamnya, melalui PP Nomor 26/2023 ini membuka ruang pembongkaran pasir di wilayah lautan," kata Melky kepada CNNIndonesia.com, Senin (29/5).

Tanpa PP No 26/2023 saja, kata Melky, lingkungan pesisir sudah mengalami banyak kerusakan akibat tambang daratan. Apalagi, jika ditambah dengan eksploitasi dan kebijakan boleh ekspor pasir laut.

"Hal ini tentu saja menambah kerusakan wilayah laut yang selama ini sesungguhnya sudah tercemar akibat aktivitas tambang di wilayah daratan, tambang timah seperti di Babel, sampai rencana pembuangan limbah tailing ke laut dalam," jelas dia.

Melky berpendapat membuka ekspor pasir akan mempercepat penambangan pasir. Hal itu berdampak pada hilangnya wilayah tangkap nelayan, menurunnya produktivitas nelayan, hingga kerusakan ekosistem laut, dan abrasi.

Beberapa contoh wilayah yang sudah tercemar akibat aktivitas tambang daratan di sekitar pesisir terjadi di Pulau Obi, Maluku Utara; Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara.

"Di mana aktivitas tambang di daratan yang mencemari wilayah laut dibiarkan tanpa penegakan hukum dan pemulihan," ucapnya.

"Potensi ancaman itu semakin nyata, mengingat pemerintah tak pernah tegas melindungi aktivitas destruktif di wilayah laut selama ini," imbuhnya.



Ancam pulau kecil

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin menilai PP No 26/2023 dapat mengancam pulau kecil karena eksploitasi pasir laut.

Salah satu contoh di Kepulauan Seribu. Berdasarkan catatan Walhi, sudah tujuh pulau yang tenggelam. Parid menjelaskan fenomena tenggelamnya pulau kecil itu tak terlepas dari eksploitasi di daratan, ditambah dengan kenaikan muka air laut.

"Ada tren kenaikan air laut 0,8 sampai 1 meter. Jadi kebijakan itu akan memperburuk dampak dari krisis iklim. Mempercepat pulau kecil itu tenggelam," kata Parid kepada CNNIndonesia.com.

Parid meyakini dikeluarkannya PP No 26/2023 juga untuk melancarkan target reklamasi. Catatan Walhi dari Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), akan ada 3,5 juta hektare lahan yang akan direklamasi hingga 2040.

"Jadi ini untuk menggenapi atau memuaskan nafsu untuk mereklamasi pantai di Indonesia," ujarnya.

Parid mengingatkan dampak buruk dari reklamasi itu sebenarnya sudah banyak seperti kerusakan lingkungan dan konflik di masyarakat.

Dia pun heran dengan pemerintah. Sebab, alih-alih menghentikan kerusakan lingkungan, pemerintah justru memperparahnya dengan mengeluarkan PP 26/2023.

"Makanya kalau ini didorong berarti pemerintah mendukung kerusakan lingkungan, dan menghilangkan pekerjaan nelayan," ucapnya.

Parid berpandangan PP 26/2023 itu bertentangan dengan UU No 29/2009 atau UU No 27/2007 tentang lingkungan hidup.

"Jadi ga bisa ini dipakai, karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi," ucapnya.

Pihaknya pun mendesak agar PP tersebut dicabut. Menurutnya, pemerintah justru harus menetapkan moratorium permanen untuk melindungi pulau pulau kecil di Indonesia.

"Kita meminta dicabut. Terutama moratorium permanen lah seluruh reklamasi pantai di Indonesia. Pemerintah fokuslah sama pulau-pulau kecil yang terancam tenggelam akibat krisis iklim dan kenaikan muka air laut," ucap Parid.

Sebelumnya, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga berharap Presiden Joko Widodo membatalkan keputusannya dalam membuka keran ekspor pasir laut.

"Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut," tulis Susi dalam akun resmi Twitternya, dikutip Senin (29/5).

Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri pernah melarang ekspor pasir laut. Larangan ekspor tersebut diatur oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan era Megawati, Rini Soemarno melalui Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Laut.

Dalam beleid itu, Rini mengatur ekspor pasir laut dihentikan sementara demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas berupa tenggelamnya pulau kecil

(yla/isn)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER