Jakarta, CNN Indonesia --
Tony Frit Yoweni tanpa pikir panjang bertolak dari Papua Barat ke Jakarta. Dia harus menjalani operasi katup jantung bocor, setelah fasilitas kesehatan rujukan di Teluk Bintuni menyatakan tak memiliki tenaga kesehatan dan alat kesehatan yang mumpuni.
Tony mendapat penjelasan bahwa hanya ada satu dokter spesialis jantung yang bertugas di daerahnya dalam setahun terakhir. Ia bercerita, awalnya hanya mengalami nyeri dada dan didiagnosis penyempitan dan pembengkakan jantung melalui pemeriksaan rontgen.
"Lebih bagus itu kita berobat sebelum terlambat. Jadi untuk keluarga, saya jauh-jauh dari sana sampai ke sini," kata Tony.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tony sebenarnya waswas soal biaya. Meski operasi ditanggung BPJS Kesehatan, ia tetap harus merogoh kocek untuk hidup berbulan-bulan di Ibu Kota bersama keluarganya.
Khawatir kondisinya memburuk, ia pun segera memesan tiket ke Jakarta.
Setibanya di Jakarta, Tony harus dihadapkan pada antrean operasi yang membutuhkan waktu tunggu. Ia sempat putus asa, namun keluarga yang mendampingi menguatkannya untuk terus melanjutkan pengobatan.
"Sudah ada prosedurnya. Jadi apapun yang terjadi kita sendiri yang harus siap," ujarnya.
Lantas, apa yang membuat akses terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia sulit didapat?
Kekurangan dokter
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Azhar Jaya menilai salah satu permasalahan saat ini adalah Indonesia kekurangan dokter. Masalah ini berimplikasi pada akses kesehatan pasien.
Kemenkes menurutnya telah menargetkan penambahan sekitar 130 ribu tenaga dokter untuk mengejar standar rasio 1 dokter melayani 1.000 penduduk. Untuk mencapai target itu, Kemenkes terhambat tiga kendala utama.
Pertama, belum terintegrasinya basis data ketersediaan, kebutuhan, kuota pendidikan dokter dan dokter spesialis dari hulu ke hilir sebagai dasar perencanaan.
Kedua, komunikasi dan koordinasi yang belum optimal dalam proses pembelajaran klinik.
Ketiga, belum ada perangkat regulasi yang membahas peran pemda dan stakeholder penting lainnya.
"Ada istilahnya Indonesia ini memang masih kekurangan dokter, utama dokter spesialis," ujar Azhar.
Berdasarkan catatan Kemenkes, Indonesia hanya memiliki 51.949 dokter spesialis dengan target rasio 0,28:1.000. Dengan demikian, Indonesia masih kekurangan 30 ribu dokter spesialis di 21 penyelenggara program studi spesialis.
Pun dalam lingkup provinsi, terdapat 40 persen RSUD belum memiliki tujuh jenis dokter spesialis dasar lengkap, seperti dokter spesialis obgyn, dokter spesialis anak, dokter spesialis anestesi dan bedah, radiologi, kemudian patologi klinik.
Berangkat dari itu, Kemenkes mewacanakan agar Indonesia memiliki program collegium based bagi Peserta Program Dokter Spesialis (PPDS). Artinya, lulusan kedokteran yang berniat melanjutkan pendidikan spesialis bisa memilih pendidikan dengan skema praktik langsung di rumah sakit dan dibayar.
Azhar menjelaskan selama ini Indonesia baru mengenal university based atau pendidikan spesialis yang berbasis di sejumlah universitas. Sementara collegium based akan langsung berpraktik di RS dan melibatkan kolegium masing-masing cabang ilmu kesehatan.
"Residen yang bekerja di RS itu dia dibayar sebagai dokter, jasanya dia dapat," kata dia.
Menurutnya, Kemenkes tak menampik apabila nantinya pihak RS kemungkinan besar menyatakan tidak mampu menampung banyak PPDS lantaran harus dibayar. Oleh sebab itu, ia menilai Kemenkes perlu duduk bersama dengan pihak BPJS dan rumah sakit untuk membahas perihal wacana baru ini.
Program ini nantinya akan dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Wacana itu menurutnya sebagai salah satu upaya memenuhi kebutuhan dokter spesialis di Indonesia yang masih minim.
"Kalau kita petakan kita bisa melihat bahwa daerah yang hampir lengkap dokter spesialisnya itu hanya di wilayah Jawa, sedangkan wilayah yang lainnya kurang," ujarnya.
Rinciannya, berdasarkan data Kemenkes terkini yang diterima CNNIndonesia.com, terdapat sembilan jenis tenaga kesehatan dan tenaga medis yang tersebar di seluruh provinsi. Paling banyak komposisinya yaitu perawat dengan jumlah 649.687 orang.
Kemudian bidan 387.992 orang; dokter 190.024 orang; farmasi 118.181 orang; kesehatan masyarakat 69.668 orang; ahli teknologi laboratorium medik 60.933 orang; ahli gizi 36.388 orang; dokter gigi 35.098 orang; dan kesehatan lingkungan 29.853 orang.
Distribusi dokter tak merata
Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi mengakui jumlah dokter di Indonesia masih kurang. Namun data yang mereka miliki berbeda dengan Kemenkes.
IDI mencatat jumlah dokter di Indonesia sebanyak 204.492 orang, sementara data Konsil Kedokteran Indonesia sebanyak 214.878 orang.
Adib mengatakan dengan asumsi rasio terbaik 1:1000, maka Indonesia membutuhkan 272 ribu dokter, sehingga terhitung masih kekurangan 67.508 dokter.
Selanjutnya, dengan produksi dokter 12 ribu per tahun dari total 92 Fakultas Kedokteran, maka Indonesia membutuhkan waktu 5-6 tahun untuk menuju kondisi ideal.
"Jadi dengan skema saat ini, sebenarnya tidak memerlukan waktu lama. Ingat, produksi yang tidak berdasarkan need assesment akan menimbulkan overload," kata Adib.
Adapun permasalahan yang menurutnya tengah dihadapi Indonesia adalah tidak terdistribusinya dokter di masing-masing provinsi. Misalnya, ahli bedah dan jantung banyak terkonsentrasi di kota besar.
Hal itu menurutnya di luar kewenangan organisasi profesi. Untuk itu, dalam kasus ini, IDI mendorong agar Kemenkes dan Kemendagri berkoordinasi membenahi alur distribusi dokter, sekaligus menjamin fasilitas kesehatan di daerah tercukupi dengan alat kesehatan yang mumpuni.
Aturan distribusi itu nantinya harus memperhatikan kebutuhan daerah, misalnya apakah Papua membutuhkan dokter spesialis jantung lebih banyak dari daerah lain atau sebaliknya. Data-data itu menurutnya bisa didapatkan dari laporan tingkatan jenis penyakit di setiap daerah.
Adib pun membeberkan sejumlah faktor penyebab tenaga kesehatan dan medis belum merata di Indonesia. Pertama, sarana terbatas. Lalu keterbatasan alat kesehatan dan obat, insentif dan jenjang karir tidak jelas, serta tidak bertahan jangka panjang.
"Nah, ini saya kira kan kita tidak masuk dalam sebuah dikotomi antara collegium based atau university based sebenarnya. Kalau kaitannya dengan masalah produksi, karena kita akan bicara kualitas gitu, kan. Secara umum kalau di Indonesia memang tidak bisa dipisahkan antara university dan collegium based," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) Setyo Widi Nugraha tak mempermasalahkan opsi collegium based. Namun ia juga mengingatkan publik bahwa selama ini sejatinya Indonesia sudah melakukan kombinasi university dan collegium atau hospital based.
"Kami bukan anti-hospital based, atau membedakan dengan university based, bukan. Kami hanya ingin kualitas produksinya sama dan kebutuhannya dihitung dengan sebaik-baiknya," kata Widi.
Widi pun menjelaskan suatu kombinasi yang baik yang perlu dilakukan saat ini adalah menerapkan academic health system (AHS). Selain itu, MKKI lebih condong ke university based lantaran mereka mengedepankan kualitas.
Ia menyebut university based jelas menyerahkan sistem pengajaran kepada universitas, sehingga tingkat keahlian dan pendidikan anatomi misalnya terangkum dengan sempurna. Sementara apabila langsung collegium atau hospital based, dikhawatirkan kemampuan akademiknya kurang mumpuni saat berpraktik mengobati pasien.
Widi pun beranggapan collegium based lebih cocok diterapkan kepada para dokter yang bakal meraih gelar subspesialis. Sementara bagi PPDS lebih cocok diterapkan university based dahulu.
"Dalam negara maju pun biasanya RS yang terkait dengan universitas punya keunggulan, kan karena basisnya research ada penelitian, ada pendidikan tadi, aspek kognisi ada, aspek akademik namanya dan memang adanya di university. Dan ada psikomotor tentunya yang nanti itu akan melingkupi satu kesatuan yang disebut dengan skill, knowledge, dan attitude," kata dia.
Lebih lanjut, Widy juga membantah anggapan yang menyebut MKKI memperlambat proses 'kelahiran' seorang dokter. Ia tak sepakat apabila MKKI disebut menjadi faktor konstrain dalam pembentukan suatu program studi kedokteran.
Ia mengatakan masih minimnya prodi spesialis kedokteran lantaran berdasarkan hasil kajian komite bersama dengan Kemendikbudristek, sejumlah prodi yang mendaftar tidak memenuhi persyaratan yang diajukan.
"Jadi selama ini aturan Kemendikbud sudah sangat jelas tidak ada pembedaan baik dari fakultas kedokteran negeri maupun swasta, syaratnya adalah mereka sudah terakreditasi tertinggi," jelas Widi.
"Dan sekali lagi jangan berpikirnya produksi sebanyak-banyaknya tapi nanti distribusinya akan alamiah sendiri, jangan. Nanti masyarakat yang menurut saya, kalau overdance itu, ya kami mendapatkan pengalaman dari negara lain juga bahwa itu akan tidak baik untuk kepentingan dokter dan masyarakat," ujarnya.
Kerugian negara
Di sisi lain, tak sedikit masyarakat Indonesia yang memilih merogoh kocek untuk berobat ke luar negeri. Paling umum ke Penang, Malaysia dan Singapura. Beberapa pekan lalu ramai perbincangan warganet yang membandingkan lebih terjangkaunya pengobatan di Penang ketimbang Indonesia.
Selain itu, pengobatan di Penang juga diandalkan lantaran dianggap mampu menyembuhkan dalam waktu singkat dan minim tindakan tanpa memerlukan operasi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu juga menyinggung ketersediaan rumah sakit dengan pelayanan paripurna sangat dibutuhkan oleh Indonesia saat ini. Pasalnya, setiap tahun setidaknya dua juta masyarakat Indonesia pergi ke luar negeri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Praktik berobat ke luar negeri tersebut menurutnya telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar mencapai Rp165 triliun.
"Kurang lebih satu juta orang berobat ke Malaysia, 750 ribu ke Singapura, sisanya ke Jepang, Jerman dan negara lainnya," kata Jokowi.
Dalam diskusi pertengahan Maret lalu, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyebut salah satu penyebab mahalnya akses obat di Indonesia lantaran tidak sedikit masyarakat memilih jasa titip obat, termasuk paling banyak adalah obat kanker.
Budi juga meyakini tingginya harga obat di dalam negeri itu bukan disebabkan karena pajak, melainkan ada keterkaitannya dengan biaya pendidikan kedokteran yang mahal.
Budi mengaku menerima informasi terkait biaya penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) dokter atau dokter gigi senilai Rp6 juta, biaya Surat Izin Praktek (SIP) dokter atau dokter gigi, dan biaya-biaya Satuan Kredit Profesi (SKP) yang diklaim mencapai Rp1 triliun lebih.
Selain itu, Budi menyebutkan apabila seorang dokter tidak mampu membayar STR, SIP, maupun SKP tersebut, maka dokter lain yang akan mengganti membayar sehingga berimplikasi obat menjadi mahal.
"Karena the doctors has to pay for expenses. Kalau dokternya enggak bayar nanti dibayarin orang lain tuh. Teman-temen situ tuh yang bayarin. Dan obat jadi mahal. Karena sales and marketing expenses jadi naik. Menderita juga siapa? Rakyatnya yang menderita," kata Budi.
Namun pernyataan Budi itu dinilai keliru sehingga Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Bangsa (FDPKKB) melayangkan somasi kepadanya pada akhir Maret lalu. Mereka juga meluruskan untuk STR kewenangan internship sudah termasuk STR baru dokter Rp400 ribu per paket.
Sementara itu, STR baru dokter atau dokter gigi WNI atau lulusan luar negeri Rp300 ribu per paket; STR ulang dokter atau dokter gigi atau dokter spesialis atau dokter gigi sub spesialis Rp300 ribu per paket.
Serta STR ulang dokter atau dokter gigi atau dokter spesialis atau dokter spesialis WNI lulusan luar negeri Rp300 ribu per paket.
Selanjutnya, STR peserta program pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis Rp300 ribu per paket; STR peserta program pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis WNI lulusan luar negeri Rp300 ribu per paket; dan STR peningkatan kompetensi dokter atau dokter gigi Rp300 ribu per paket.
Kemudian STR peningkatan kompetensi dokter atau dokter gigi WNI lulusan luar negeri Rp300 ribu per paket, STR sementara dokter atau dokter gigi WNA Rp750 ribu per paket; STR bersyarat dokter atau dokter gigi WNA Rp500 ribu per paket; duplikat STR Rp130 ribu per lembar; dan duplikat salinan STR Rp15 ribu per lembar.
Berbeda dengan Menkes Budi, Adib menilai alasan biaya berobat di Indonesia masih terbilang tinggi dibandingkan di luar negeri lantaran pemerintah mengenakan pajak yang relatif besar kepada obat dan alat kesehatan.
Kondisi itu berimbas kepada masyarakat lebih tertarik untuk berobat ke luar negeri ketimbang di negeri sendiri.
"Nah, ini yang harus dibuat oleh pemerintah adalah tentang pajak kepada obat dan alat kesehatan yang harus diturunkan. Karena itu akan mempengaruhi juga pada pembiayaan kesehatan," kata Adib.
Faktor kedua yaitu kompetensi. Masyarakat Indonesia menurut Adib masih kerap memandang bahwa dokter-dokter di luar negeri lebih kompeten dibandingkan di Indonesia.
Padahal, menurut Adib, dokter di Indonesia memiliki kompetensi yang sama dengan dokter di luar negeri. Bahkan, sudah ada upaya penyetaraan kompetensi agar bisa setara dengan dokter-dokter di ASEAN.
"Sehingga tidak dikatakan bahwa di sana kompetensinya lebih baik, sama sebenarnya kompetensinya," ungkapnya.
Faktor ketiga yaitu persoalan pelayanan. Adib menuturkan, bila pelayanan kesehatan di Indonesia menjunjung 'service of excellent', maka masyarakat tak akan terpikirkan untuk berobat ke luar negeri.
Dalam kesempatan itu, Adib juga tak sepakat dengan Budi bahwa penyebab obat mahal karena biaya pemasaran. Ia juga menjelaskan bahwa kasus hubungan 'dekat' antara sales obat dan tenaga medis sudah diberikan rambu-rambu, bahwa ada potensi gratifikasi sehingga perlu diawasi.
"Dan bahkan di profesi, di internal kita, jelas sih ada regulasinya. Kalau namanya pembiayaan, pembiayaan yang berkaitan yang di-support oleh katakanlah farmasi, itu hanya terkait dengan pendidikan. Pendidikan maksudnya namanya kita ikut seminar, begitu," ujar Adib.
Biang kerok imbalan jasa
Terpisah, Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Munawar mengatakan salah satu pangkal mahalnya biaya kesehatan di Indonesia karena sistem fee for services atau imbalan jasa yang lahir dari Pasal 50 poin d UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Ia mengatakan dalam bab 'hak dan kewajiban dokter atau dokter gigi' itu tertera mereka berhak menerima imbalan jasa. Dengan demikian, pasal itu menjadi 'privilege' yang luar biasa bagi para dokter.
"Jadi, kalau misalkan ada tambahan income dari satu rumah sakit pemerintah itu adalah sah saja karena ada di dalam undang-undang," ujar Munawar.
Meski sah-sah saja, namun Munawar menyoroti risiko besar yang mungkin terjadi. Sebab, jadwal praktik dan jumlah pasien setiap dokter kerap berbeda dan kadang malah signifikan. Kondisi itu dikhawatirkan dijadikan landasan bagi oknum dokter sebagai praktik lahan basah.
Munawar tak menampik saat ini banyak dokter yang lebih menghendaki tindakan invasif yang memiliki output insentif yang besar dibanding lainnya. Sementara pada dokter yang berpraktik di laboratorium dan yang kebanyakan melayani konsultasi mengalami pendapatan yang sebaliknya.
Selain itu, dengan praktik fee for service menurutnya juga mendorong timbulnya persaingan antarsejawat. Para dokter dalam satu bidang yang sama misalnya menganggap dokter yang lain sebagai kompetitornya.
"Jadi banyak yang kita lihat ada junior datang ke suatu daerah, biasanya dia dipersulit, karena apa? Karena merupakan kompetitor. Apalagi dalam hal minta persetujuan dan sebagainya, minta rekomendasi, bisa dipersulit karena dianggap sebagai kompetitor," kata dia.
Munawar juga mengungkapkan praktik fee for service ini bisa berdampak kurang baik terhadap pasien, lantaran oknum dokter yang memiliki niat kurang baik dapat memberikan tindakan tambahan kepada pasien karena insentif yang diterima akan lebih banyak.
Misalnya, ibu hamil yang seharusnya bisa melahirkan normal namun disarankan melakukan tindakan operasi caesar. Atau pada kasus pasien dengan penyakit jantung yang seharusnya tidak perlu dipasang ring, disarankan atau bahkan diharuskan dipasang ring jantung.
Potensi kecurangan itu kemudian yang membuat sejumlah negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan sejumlah negara di Eropa menurutnya meninggalkan praktik fee for service ini.
"Soalnya bisa melahirkan abuse and fraud. Bisa kita mencari berapa dokter yang dimasukkan di dalam penjara gara-gara memalsukan abuse yang seharusnya tidak dioperasi, dioperasi, yang tadinya tidak dipasang ring, dipasang ring, dan sebagainya," tuturnya.
Munawar juga menyoroti aturan yang berlaku selama ini, bahwa seorang dokter boleh memiliki tiga SIP untuk tiga tempat praktik. Kebijakan itu menurutnya membuat sejumlah dokter berpacu pada waktu dan uang, dibandingkan mengutamakan pengobatan dan penanganan pasien.
Padahal waktu tatap muka antara dokter dengan pasien yang moderat dan dibutuhkan pasien adalah sekitar 8-15 menit atau sekitar empat pasien dalam satu jam.
"Kalau menurut saya sih, satu tempat praktik, satu dokter, itu yang paling bagus. Jadi kita bener-bener bisa tahu kalau dokternya bisa fokus pada rumah sakit itu saja, enggak pikir ke mana-mana. Pelayanan pada rumah sakit pasien akan jauh lebih baik daripada kalau dia puter-puter di tiga rumah sakit," ujarnya.
Munawar pun menyebut kebijakan yang tepat diterapkan adalah dengan sistem remunerasi. Pada saat ini, rumah sakit pemerintah menurutnya telah menerapkan kebijakan itu, namun pada rumah sakit swasta masih belum.
"Saya tidak mengatakan dokter Indonesia biasa saja, mereka hebat-hebat luar biasa, sistemnya saja. Kalau kita mengubah sistem ini dengan baik enggak akan lama lah, Malaysia, Singapura akan jauh, kita jauh lebih baik dari China juga bisa," ujar Munawar.