LIPUTAN KHUSUS

Barang Mewah Kesehatan dan 'Privilese' Kedokteran

CNN Indonesia
Selasa, 27 Jun 2023 14:20 WIB
Banyak faktor yang membuat biaya kesehatan di Indonesia mahal dan sulit diakses, salah satunya diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran.
Dokter memeriksa pasien penyakit Tuberkulosis (TBC) di RS Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (30/11/2022). (Antara Foto/Arif Firmansyah)

Berbeda dengan Menkes Budi, Adib menilai alasan biaya berobat di Indonesia masih terbilang tinggi dibandingkan di luar negeri lantaran pemerintah mengenakan pajak yang relatif besar kepada obat dan alat kesehatan.

Kondisi itu berimbas kepada masyarakat lebih tertarik untuk berobat ke luar negeri ketimbang di negeri sendiri.

"Nah, ini yang harus dibuat oleh pemerintah adalah tentang pajak kepada obat dan alat kesehatan yang harus diturunkan. Karena itu akan mempengaruhi juga pada pembiayaan kesehatan," kata Adib.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Faktor kedua yaitu kompetensi. Masyarakat Indonesia menurut Adib masih kerap memandang bahwa dokter-dokter di luar negeri lebih kompeten dibandingkan di Indonesia.

Padahal, menurut Adib, dokter di Indonesia memiliki kompetensi yang sama dengan dokter di luar negeri. Bahkan, sudah ada upaya penyetaraan kompetensi agar bisa setara dengan dokter-dokter di ASEAN.

"Sehingga tidak dikatakan bahwa di sana kompetensinya lebih baik, sama sebenarnya kompetensinya," ungkapnya.

Faktor ketiga yaitu persoalan pelayanan. Adib menuturkan, bila pelayanan kesehatan di Indonesia menjunjung 'service of excellent', maka masyarakat tak akan terpikirkan untuk berobat ke luar negeri.

Dalam kesempatan itu, Adib juga tak sepakat dengan Budi bahwa penyebab obat mahal karena biaya pemasaran. Ia juga menjelaskan bahwa kasus hubungan 'dekat' antara sales obat dan tenaga medis sudah diberikan rambu-rambu, bahwa ada potensi gratifikasi sehingga perlu diawasi.

"Dan bahkan di profesi, di internal kita, jelas sih ada regulasinya. Kalau namanya pembiayaan, pembiayaan yang berkaitan yang di-support oleh katakanlah farmasi, itu hanya terkait dengan pendidikan. Pendidikan maksudnya namanya kita ikut seminar, begitu," ujar Adib.

Biang kerok imbalan jasa

Terpisah, Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Munawar mengatakan salah satu pangkal mahalnya biaya kesehatan di Indonesia karena sistem fee for services atau imbalan jasa yang lahir dari Pasal 50 poin d UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Ia mengatakan dalam bab 'hak dan kewajiban dokter atau dokter gigi' itu tertera mereka berhak menerima imbalan jasa. Dengan demikian, pasal itu menjadi 'privilege' yang luar biasa bagi para dokter.

"Jadi, kalau misalkan ada tambahan income dari satu rumah sakit pemerintah itu adalah sah saja karena ada di dalam undang-undang," ujar Munawar.

Meski sah-sah saja, namun Munawar menyoroti risiko besar yang mungkin terjadi. Sebab, jadwal praktik dan jumlah pasien setiap dokter kerap berbeda dan kadang malah signifikan. Kondisi itu dikhawatirkan dijadikan landasan bagi oknum dokter sebagai praktik lahan basah.

Munawar tak menampik saat ini banyak dokter yang lebih menghendaki tindakan invasif yang memiliki output insentif yang besar dibanding lainnya. Sementara pada dokter yang berpraktik di laboratorium dan yang kebanyakan melayani konsultasi mengalami pendapatan yang sebaliknya.

Selain itu, dengan praktik fee for service menurutnya juga mendorong timbulnya persaingan antarsejawat. Para dokter dalam satu bidang yang sama misalnya menganggap dokter yang lain sebagai kompetitornya.

"Jadi banyak yang kita lihat ada junior datang ke suatu daerah, biasanya dia dipersulit, karena apa? Karena merupakan kompetitor. Apalagi dalam hal minta persetujuan dan sebagainya, minta rekomendasi, bisa dipersulit karena dianggap sebagai kompetitor," kata dia.

Munawar juga mengungkapkan praktik fee for service ini bisa berdampak kurang baik terhadap pasien, lantaran oknum dokter yang memiliki niat kurang baik dapat memberikan tindakan tambahan kepada pasien karena insentif yang diterima akan lebih banyak.

Misalnya, ibu hamil yang seharusnya bisa melahirkan normal namun disarankan melakukan tindakan operasi caesar. Atau pada kasus pasien dengan penyakit jantung yang seharusnya tidak perlu dipasang ring, disarankan atau bahkan diharuskan dipasang ring jantung.

Potensi kecurangan itu kemudian yang membuat sejumlah negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan sejumlah negara di Eropa menurutnya meninggalkan praktik fee for service ini.

"Soalnya bisa melahirkan abuse and fraud. Bisa kita mencari berapa dokter yang dimasukkan di dalam penjara gara-gara memalsukan abuse yang seharusnya tidak dioperasi, dioperasi, yang tadinya tidak dipasang ring, dipasang ring, dan sebagainya," tuturnya.

Munawar juga menyoroti aturan yang berlaku selama ini, bahwa seorang dokter boleh memiliki tiga SIP untuk tiga tempat praktik. Kebijakan itu menurutnya membuat sejumlah dokter berpacu pada waktu dan uang, dibandingkan mengutamakan pengobatan dan penanganan pasien.

Padahal waktu tatap muka antara dokter dengan pasien yang moderat dan dibutuhkan pasien adalah sekitar 8-15 menit atau sekitar empat pasien dalam satu jam.

"Kalau menurut saya sih, satu tempat praktik, satu dokter, itu yang paling bagus. Jadi kita bener-bener bisa tahu kalau dokternya bisa fokus pada rumah sakit itu saja, enggak pikir ke mana-mana. Pelayanan pada rumah sakit pasien akan jauh lebih baik daripada kalau dia puter-puter di tiga rumah sakit," ujarnya.

Munawar pun menyebut kebijakan yang tepat diterapkan adalah dengan sistem remunerasi. Pada saat ini, rumah sakit pemerintah menurutnya telah menerapkan kebijakan itu, namun pada rumah sakit swasta masih belum.

"Saya tidak mengatakan dokter Indonesia biasa saja, mereka hebat-hebat luar biasa, sistemnya saja. Kalau kita mengubah sistem ini dengan baik enggak akan lama lah, Malaysia, Singapura akan jauh, kita jauh lebih baik dari China juga bisa," ujar Munawar.

(khr/pmg)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER