LIPUTAN KHUSUS

Barang Mewah Kesehatan dan 'Privilese' Kedokteran

CNN Indonesia
Selasa, 27 Jun 2023 14:20 WIB
Banyak faktor yang membuat biaya kesehatan di Indonesia mahal dan sulit diakses, salah satunya diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran.
Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) tak mempermasalahkan opsi collegium based. (ANTARA FOTO/SYIFA YULINNAS)

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) Setyo Widi Nugraha tak mempermasalahkan opsi collegium based. Namun ia juga mengingatkan publik bahwa selama ini sejatinya Indonesia sudah melakukan kombinasi university dan collegium atau hospital based.

"Kami bukan anti-hospital based, atau membedakan dengan university based, bukan. Kami hanya ingin kualitas produksinya sama dan kebutuhannya dihitung dengan sebaik-baiknya," kata Widi.

Widi pun menjelaskan suatu kombinasi yang baik yang perlu dilakukan saat ini adalah menerapkan academic health system (AHS). Selain itu, MKKI lebih condong ke university based lantaran mereka mengedepankan kualitas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menyebut university based jelas menyerahkan sistem pengajaran kepada universitas, sehingga tingkat keahlian dan pendidikan anatomi misalnya terangkum dengan sempurna. Sementara apabila langsung collegium atau hospital based, dikhawatirkan kemampuan akademiknya kurang mumpuni saat berpraktik mengobati pasien.

Widi pun beranggapan collegium based lebih cocok diterapkan kepada para dokter yang bakal meraih gelar subspesialis. Sementara bagi PPDS lebih cocok diterapkan university based dahulu.

"Dalam negara maju pun biasanya RS yang terkait dengan universitas punya keunggulan, kan karena basisnya research ada penelitian, ada pendidikan tadi, aspek kognisi ada, aspek akademik namanya dan memang adanya di university. Dan ada psikomotor tentunya yang nanti itu akan melingkupi satu kesatuan yang disebut dengan skill, knowledge, dan attitude," kata dia.

Lebih lanjut, Widy juga membantah anggapan yang menyebut MKKI memperlambat proses 'kelahiran' seorang dokter. Ia tak sepakat apabila MKKI disebut menjadi faktor konstrain dalam pembentukan suatu program studi kedokteran.

Ia mengatakan masih minimnya prodi spesialis kedokteran lantaran berdasarkan hasil kajian komite bersama dengan Kemendikbudristek, sejumlah prodi yang mendaftar tidak memenuhi persyaratan yang diajukan.

"Jadi selama ini aturan Kemendikbud sudah sangat jelas tidak ada pembedaan baik dari fakultas kedokteran negeri maupun swasta, syaratnya adalah mereka sudah terakreditasi tertinggi," jelas Widi.

"Dan sekali lagi jangan berpikirnya produksi sebanyak-banyaknya tapi nanti distribusinya akan alamiah sendiri, jangan. Nanti masyarakat yang menurut saya, kalau overdance itu, ya kami mendapatkan pengalaman dari negara lain juga bahwa itu akan tidak baik untuk kepentingan dokter dan masyarakat," ujarnya.

Kerugian negara

Di sisi lain, tak sedikit masyarakat Indonesia yang memilih merogoh kocek untuk berobat ke luar negeri. Paling umum ke Penang, Malaysia dan Singapura. Beberapa pekan lalu ramai perbincangan warganet yang membandingkan lebih terjangkaunya pengobatan di Penang ketimbang Indonesia.

Selain itu, pengobatan di Penang juga diandalkan lantaran dianggap mampu menyembuhkan dalam waktu singkat dan minim tindakan tanpa memerlukan operasi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu juga menyinggung ketersediaan rumah sakit dengan pelayanan paripurna sangat dibutuhkan oleh Indonesia saat ini. Pasalnya, setiap tahun setidaknya dua juta masyarakat Indonesia pergi ke luar negeri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Praktik berobat ke luar negeri tersebut menurutnya telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar mencapai Rp165 triliun.

"Kurang lebih satu juta orang berobat ke Malaysia, 750 ribu ke Singapura, sisanya ke Jepang, Jerman dan negara lainnya," kata Jokowi.

Dalam diskusi pertengahan Maret lalu, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyebut salah satu penyebab mahalnya akses obat di Indonesia lantaran tidak sedikit masyarakat memilih jasa titip obat, termasuk paling banyak adalah obat kanker.

Budi juga meyakini tingginya harga obat di dalam negeri itu bukan disebabkan karena pajak, melainkan ada keterkaitannya dengan biaya pendidikan kedokteran yang mahal.

Budi mengaku menerima informasi terkait biaya penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) dokter atau dokter gigi senilai Rp6 juta, biaya Surat Izin Praktek (SIP) dokter atau dokter gigi, dan biaya-biaya Satuan Kredit Profesi (SKP) yang diklaim mencapai Rp1 triliun lebih.

Selain itu, Budi menyebutkan apabila seorang dokter tidak mampu membayar STR, SIP, maupun SKP tersebut, maka dokter lain yang akan mengganti membayar sehingga berimplikasi obat menjadi mahal.

"Karena the doctors has to pay for expenses. Kalau dokternya enggak bayar nanti dibayarin orang lain tuh. Teman-temen situ tuh yang bayarin. Dan obat jadi mahal. Karena sales and marketing expenses jadi naik. Menderita juga siapa? Rakyatnya yang menderita," kata Budi.

Namun pernyataan Budi itu dinilai keliru sehingga Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Bangsa (FDPKKB) melayangkan somasi kepadanya pada akhir Maret lalu. Mereka juga meluruskan untuk STR kewenangan internship sudah termasuk STR baru dokter Rp400 ribu per paket.

Sementara itu, STR baru dokter atau dokter gigi WNI atau lulusan luar negeri Rp300 ribu per paket; STR ulang dokter atau dokter gigi atau dokter spesialis atau dokter gigi sub spesialis Rp300 ribu per paket.

Serta STR ulang dokter atau dokter gigi atau dokter spesialis atau dokter spesialis WNI lulusan luar negeri Rp300 ribu per paket.

Selanjutnya, STR peserta program pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis Rp300 ribu per paket; STR peserta program pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis WNI lulusan luar negeri Rp300 ribu per paket; dan STR peningkatan kompetensi dokter atau dokter gigi Rp300 ribu per paket.

Kemudian STR peningkatan kompetensi dokter atau dokter gigi WNI lulusan luar negeri Rp300 ribu per paket, STR sementara dokter atau dokter gigi WNA Rp750 ribu per paket; STR bersyarat dokter atau dokter gigi WNA Rp500 ribu per paket; duplikat STR Rp130 ribu per lembar; dan duplikat salinan STR Rp15 ribu per lembar.

IDI Sebut Biaya Berobat Mahal karena Pajak

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER