LIPUTAN KHUSUS

Barang Mewah Kesehatan dan 'Privilese' Kedokteran

CNN Indonesia
Selasa, 27 Jun 2023 14:20 WIB
Jadwal praktik dan jumlah pasien setiap dokter kerap berbeda. Kondisi itu dikhawatirkan jadi landasan bagi oknum dokter sebagai praktik lahan basah. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
Jakarta, CNN Indonesia --

Tony Frit Yoweni tanpa pikir panjang bertolak dari Papua Barat ke Jakarta. Dia harus menjalani operasi katup jantung bocor, setelah fasilitas kesehatan rujukan di Teluk Bintuni menyatakan tak memiliki tenaga kesehatan dan alat kesehatan yang mumpuni.

Tony mendapat penjelasan bahwa hanya ada satu dokter spesialis jantung yang bertugas di daerahnya dalam setahun terakhir. Ia bercerita, awalnya hanya mengalami nyeri dada dan didiagnosis penyempitan dan pembengkakan jantung melalui pemeriksaan rontgen.

"Lebih bagus itu kita berobat sebelum terlambat. Jadi untuk keluarga, saya jauh-jauh dari sana sampai ke sini," kata Tony.

Tony sebenarnya waswas soal biaya. Meski operasi ditanggung BPJS Kesehatan, ia tetap harus merogoh kocek untuk hidup berbulan-bulan di Ibu Kota bersama keluarganya.

Khawatir kondisinya memburuk, ia pun segera memesan tiket ke Jakarta.

Setibanya di Jakarta, Tony harus dihadapkan pada antrean operasi yang membutuhkan waktu tunggu. Ia sempat putus asa, namun keluarga yang mendampingi menguatkannya untuk terus melanjutkan pengobatan.

"Sudah ada prosedurnya. Jadi apapun yang terjadi kita sendiri yang harus siap," ujarnya.

Lantas, apa yang membuat akses terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia sulit didapat?

Kekurangan dokter

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Azhar Jaya menilai salah satu permasalahan saat ini adalah Indonesia kekurangan dokter. Masalah ini berimplikasi pada akses kesehatan pasien.

Kemenkes menurutnya telah menargetkan penambahan sekitar 130 ribu tenaga dokter untuk mengejar standar rasio 1 dokter melayani 1.000 penduduk. Untuk mencapai target itu, Kemenkes terhambat tiga kendala utama.

Pertama, belum terintegrasinya basis data ketersediaan, kebutuhan, kuota pendidikan dokter dan dokter spesialis dari hulu ke hilir sebagai dasar perencanaan.

Kedua, komunikasi dan koordinasi yang belum optimal dalam proses pembelajaran klinik.

Ketiga, belum ada perangkat regulasi yang membahas peran pemda dan stakeholder penting lainnya.

"Ada istilahnya Indonesia ini memang masih kekurangan dokter, utama dokter spesialis," ujar Azhar.

Berdasarkan catatan Kemenkes, Indonesia hanya memiliki 51.949 dokter spesialis dengan target rasio 0,28:1.000. Dengan demikian, Indonesia masih kekurangan 30 ribu dokter spesialis di 21 penyelenggara program studi spesialis.

Pun dalam lingkup provinsi, terdapat 40 persen RSUD belum memiliki tujuh jenis dokter spesialis dasar lengkap, seperti dokter spesialis obgyn, dokter spesialis anak, dokter spesialis anestesi dan bedah, radiologi, kemudian patologi klinik.

Berangkat dari itu, Kemenkes mewacanakan agar Indonesia memiliki program collegium based bagi Peserta Program Dokter Spesialis (PPDS). Artinya, lulusan kedokteran yang berniat melanjutkan pendidikan spesialis bisa memilih pendidikan dengan skema praktik langsung di rumah sakit dan dibayar.

Azhar menjelaskan selama ini Indonesia baru mengenal university based atau pendidikan spesialis yang berbasis di sejumlah universitas. Sementara collegium based akan langsung berpraktik di RS dan melibatkan kolegium masing-masing cabang ilmu kesehatan.

"Residen yang bekerja di RS itu dia dibayar sebagai dokter, jasanya dia dapat," kata dia.

Menurutnya, Kemenkes tak menampik apabila nantinya pihak RS kemungkinan besar menyatakan tidak mampu menampung banyak PPDS lantaran harus dibayar. Oleh sebab itu, ia menilai Kemenkes perlu duduk bersama dengan pihak BPJS dan rumah sakit untuk membahas perihal wacana baru ini.

Program ini nantinya akan dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Wacana itu menurutnya sebagai salah satu upaya memenuhi kebutuhan dokter spesialis di Indonesia yang masih minim.

"Kalau kita petakan kita bisa melihat bahwa daerah yang hampir lengkap dokter spesialisnya itu hanya di wilayah Jawa, sedangkan wilayah yang lainnya kurang," ujarnya.

Rinciannya, berdasarkan data Kemenkes terkini yang diterima CNNIndonesia.com, terdapat sembilan jenis tenaga kesehatan dan tenaga medis yang tersebar di seluruh provinsi. Paling banyak komposisinya yaitu perawat dengan jumlah 649.687 orang.

Kemudian bidan 387.992 orang; dokter 190.024 orang; farmasi 118.181 orang; kesehatan masyarakat 69.668 orang; ahli teknologi laboratorium medik 60.933 orang; ahli gizi 36.388 orang; dokter gigi 35.098 orang; dan kesehatan lingkungan 29.853 orang.

Distribusi dokter tak merata

Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi mengakui jumlah dokter di Indonesia masih kurang. Namun data yang mereka miliki berbeda dengan Kemenkes.

IDI mencatat jumlah dokter di Indonesia sebanyak 204.492 orang, sementara data Konsil Kedokteran Indonesia sebanyak 214.878 orang.

Adib mengatakan dengan asumsi rasio terbaik 1:1000, maka Indonesia membutuhkan 272 ribu dokter, sehingga terhitung masih kekurangan 67.508 dokter.

Selanjutnya, dengan produksi dokter 12 ribu per tahun dari total 92 Fakultas Kedokteran, maka Indonesia membutuhkan waktu 5-6 tahun untuk menuju kondisi ideal.

"Jadi dengan skema saat ini, sebenarnya tidak memerlukan waktu lama. Ingat, produksi yang tidak berdasarkan need assesment akan menimbulkan overload," kata Adib.

Adapun permasalahan yang menurutnya tengah dihadapi Indonesia adalah tidak terdistribusinya dokter di masing-masing provinsi. Misalnya, ahli bedah dan jantung banyak terkonsentrasi di kota besar.

Hal itu menurutnya di luar kewenangan organisasi profesi. Untuk itu, dalam kasus ini, IDI mendorong agar Kemenkes dan Kemendagri berkoordinasi membenahi alur distribusi dokter, sekaligus menjamin fasilitas kesehatan di daerah tercukupi dengan alat kesehatan yang mumpuni.

Aturan distribusi itu nantinya harus memperhatikan kebutuhan daerah, misalnya apakah Papua membutuhkan dokter spesialis jantung lebih banyak dari daerah lain atau sebaliknya. Data-data itu menurutnya bisa didapatkan dari laporan tingkatan jenis penyakit di setiap daerah.

Adib pun membeberkan sejumlah faktor penyebab tenaga kesehatan dan medis belum merata di Indonesia. Pertama, sarana terbatas. Lalu keterbatasan alat kesehatan dan obat, insentif dan jenjang karir tidak jelas, serta tidak bertahan jangka panjang.

"Nah, ini saya kira kan kita tidak masuk dalam sebuah dikotomi antara collegium based atau university based sebenarnya. Kalau kaitannya dengan masalah produksi, karena kita akan bicara kualitas gitu, kan. Secara umum kalau di Indonesia memang tidak bisa dipisahkan antara university dan collegium based," ujarnya.

Menkes Klaim Biaya Berobat Mahal karena Jasa Titip Obat


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :