Jakarta, CNN Indonesia --
Butet Kertaredjasa menjadi sorotan usai bicara di puncak peringatan Bulan Bung Karno yang digagas PDIP pada 24 Juni lalu.
Tendensi terhadap kubu politik tertentu yang ia tunjukkan begitu jelas hingga menuai kritik. Alam pikir publik menganggap seniman seharusnya tidak terafiliasi dengan kepentingan politik.
Akan tetapi, riwayat seniman dan budayawan dekat dengan pusaran politik bukan barang baru. Sejarah mencatat banyak seniman yang mendukung, sekadar menghibur serta berkonflik dengan penguasa
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Era Sukarno
Seniman tidak selalu bisa menjauh dari politik. Meski sama sekali tak ada kepentingan politik atau murni ingin berkarya, tetap saja ada yang terkena imbas.
Salah satunya adalah grup musik Koes Ploes. Musik dengan nuansa rock and roll yang dibawakan Koes bersaudara dianggap tak sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Sukarno bahkan menyebutnya sebagai musik ngak-ngek-ngok.
"Waktu itu, Bung Karno mengatakan, 'Jangan bawakan musik ngak ngik ngok, Elvis-Elvisan.' Padahal kami merasa tidak memiliki maksud tertentu selain menghibur penggemar," ujar pemain Bass Koes Ploes, Yok Koeswoyo.
Tak main-main, Koes bersaudara harus mencicipi dinginnya tembok penjara Glodok, Jakarta Pusat tanpa proses pengadilan pada 29 Juni 1965. Tiga Bulan setelahnya mereka dibebaskan tanpa alasan yang jelas.
Apa yang dialami Koes Ploes sebenarnya ekses dari politik Pemerintahan Presiden Sukarno kala itu. Beberapa tahun sebelumnya, terjadi konfik antara dua kelompok seniman yaitu Lekra dan Manikebu.
Lekra & Manikebu
Lekra didirikan pada 17 Agustus 1950. Ditandai dengan deklarasi seniman Lekra tentang bagaimana bertindak dalam bidang kesenian. Beberapa tokoh yang menonjol dari Lekra yakni Njoto, Pramoedya Ananta Toer, Affandi, Soedjojono.
Lekra dibentuk karena ada kekhawatiran budaya Indonesia tergerus akibat globalisasi. Oleh karena itu sebuah lembaga kebudayaan yang bertugas untuk menghalau kebudayaan kolonial dan mempertahankan "kebudayaan rakyat" dianggap harus dibentuk.
"Untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan rakyat, untuk membangun barisan kebudayaan, supaya menjadi kekuatan dalam revolusi demokrasi rakyat, didirikan "Lembaga Kebudayaan Rakyat", yang menuju kultur rakyat atau kultur demokrasi rakyat," demikian bunyi salah satu kalimat dalam mukadimah Lekra, 17 Agustus 1950.
Sementara itu, Manikebu didirikan pada tanggal 17 Agustus 1963. Manikebu adalah akronim dari Manifesto Kebudayaan yang jadi dasar pembentukan. Beberapa tokoh terkenal Manikebu yaitu H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, hingga Taufiq A.G. Ismail.
Salah satu alasan dibentuknya Manikebu disebut sebagai upaya untuk membuka ruang kesenian yang lebih mandiri. Penekanan utama Manikebu soal seni terletak pada pemberian kesempatan kebebasan kreatif bagi para seniman untuk berekspresi.
Goenawan Muhamad juga menganggap kesenian dianggap sudah dipenuhi dengan karya-karya yang sarat slogan-slogan politik. Utamanya, slogan-slogan politik bernada "penuntasan revolusi" sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh Lekra.
 Tokoh-tokoh Lekra dan Manikebu (CNNIndonesia) |
Konflik, Lalu Dibubarkan
Lekra memakai prinsip 'politik sebagai panglima' sebagai dasar penciptaan karya seni karena menganggap revolusi di Indonesia belum tuntas. Aliran kesusasteraan realisme sosialis pun menjadi dominan di Lekra. Aliran itu dianggap menggambarkan realita masyarakat.
Prinsip politik sebagai panglima pun menarik empati Sukarno yang kala itu sedang menggaungkan Manifesto Politik dan Undang-undang dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Manipol Usdek).
Manikebu punya pandangan yang berbeda. Prinsip 'seni untuk seni' yang mereka pegang dengan menekankan kebebasan seniman untuk berkarya dan terlepas dari muatan politik dalam karyanya.
Namun, kebebasan kreatif seniman yang tak selalu harus berpolitik dalam berkarya tak disukai Sukarno. Mereka tak mendapatkan dukungan dari Sukarno lantaran dinilai berseberangan dengan semangat Manipol-Usdek.
Sukarno jelas menunjukkan kedekatannya bersama Lekra dengan secara langsung menghadiri Konferensi Nasional dan Seni Revolusioner (KSSR) pada tahun 1964.
Perbedaan pandangan dalam melihat politik kesenian antara Lekra dan Manikebu memantik konflik.
Manikebu menganggap Lekra terlalu mempolitisir seni, sementara Lekra menganggap Manikebu dengan humanisme universalnya sebagai kesenian yang 'kontra revolusi' hingga anti rakyat.
Lekra yang menuding Hamka melakukan plagiat dalam bukunya berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Tudingan itu pertama kali disampaikan oleh salah satu staf Harian Bintang Timur yang terafiliasi dengan Lekra.
Hamka dituding melakukan plagiat dari karya sastrawan asal Mesir, Manfaluti yang berjudul Magdalena. Salah satu pentolan Manikebu yakni H.B. Jassin membela Hamka. Ciptaan Hamka memang terinspirasi dari Manfaluti tetapi bukan plagiat.
Andil pemerintah dalam konflik Lekra vs Manikebu semakin mencolok. Salah satunya terlihat dari pelarangan buku karya tokoh Manikebu yakni H.B. Jassin. Melalui Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, buku karangan Jassin dilarang lantaran dinilai terlalu "kosmopolitan" dan tidak revolusioner.
Hingga akhirnya, Sukarno memutuskan untuk membubarkan Manikebu pada 8 Mei 1964.
 Seniman yang berjaya era Sukarno (kiri) banyak yang ditangkapi di masa Orde Baru dengan Soeharto sebagai presiden (AFP PHOTO / PANASIA) |
Orde Baru
Tak jauh berbeda dari era Sukarno, Soeharto sebagai presiden di era Orde Baru pun memanfaatkan seniman untuk melanggengkan kekuasaannya. Sedikit berbeda dengan Skarno yang memanfaatkan seniman untuk menggaungkan gagasannya, Soeharto justru memanfaatkan seniman untuk berkampanye di Pemilu untuk Golongan Karya (Golkar).
Pada pemilu pada tahun 1971 Golkar menggunakan strategi kampanye dengan menggunakan artis hingga musisi ternama untuk mendulang suara. Beberapa nama terkenal yang tergabung didalamnya yaitu Edy Soed, Bucuk Soeharto dan Bing Slamet. Mereka dan para artis simpatisan Golkar lainnya tergabung dalam Organisasi Artis Safari Golkar.
Tak main-main, total 324 artis berhasil direkrut pada tahun tersebut. Sebanyak 14 pesawat pun dikerahkan untuk mempermudah mobilisasi perjalanan artis tersebut ke penjuru Indonesia.
Keterlibatan artis dalam kampanye Golkar menjadi kejadian yang berulang tiap pemilu era Orde Baru. Artis yang mau terlibat pun mendapat privilese dengan mendapatkan kesempatan untuk tampil di televisi melalui acara Aneka Ria Safari. Sementara artis yang enggan mendukung Golkar tersisih.
Salah satu artis yang sempat tersisih lantaran enggan mendukung partai berlambang pohon beringin tersebut adalah Rhoma Irama. Pada pemilu 1977 Rhoma memutuskan untuk menjadi juru kampanye PPP. Keputusan tersebut berakibat pada larangan bagi Rhoma untuk tampil di TVRI yang kala itu menjadi satu-satunya stasiun televisi di Indonesia.
Rhoma Irama dilarang tampil di TVRI sejak tahun 1977 hingga 1988. Ketika ia memutuskan untuk keluar dari PPP di tahun 1987, barulah pelarangan tersebut dicabut. Rhoma pun berhasil menduduki kursi MPR dari golongan seniman pada 1992 hingga 1997 tanpa harus bergabung dengan Golkar.
Baru pada tahun 1997 Rhoma disebut termasuk dalam daftar calon anggota legislatif dari Golkar. Kendati demikian, nasib Rhoma sebagai caleg dari Golkar tak diketahui seiring meletusnya peristiwa reformasi pada 1998.
Apa yang dialami oleh Rhoma tak dialami oleh Titiek Puspa. Alasannya sederhana, Titiek tak pernah berseberangan dengan Golkar. Berdasarkan catatan Kompas, April 1987, Titiek Puspa sempat menjadi salah satu artis yang menjadi caleg dari Golkar dan turut ikut berkampanye.
Titiek yang tak pernah menolak bekerjasama dengan Golkar pun kerap tampil di acara Aneka Ria Safari di TVRI kala itu. Lebih jauh, kedekatan Titiek dengan Golkar pun terlihat dengan kesediaannya untuk membuat sebuah lagu berjudul "Bapak Pembangunan" yang dipersembahkan kepada Soeharto.
Puncak karier Titiek ketika masa Orde Baru. Akan tetapi, hal sebaliknya terjadi bagi para seniman yang kerap mengkritik Orde Baru. Salah satunya adalah Widji Thukul.
Akibat puisi-puisinya yang dianggap subversif, Widji diburu oleh ABRI. Pada akhirnya Widji dinyatakan hilang oleh Kontras pada tahun 2000 setelah sempat hidup dalam pelarian. Widji dianggap hilang pada tahun 1998.
Sebelum Widji, W.S Rendra telah merasakan dampak mengkritik rezim yang berkuasa selama 32 tahun tersebut. Pada tahun 1977 Rendra ditangkap dan ditahan di rutan militer Jalan Guntur, Jakarta. Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana Sudomo menyebut Rendra ditahan lantaran menghasut pembacaan puisi di Taman Ismail Marzuki.
Pasca Orde Baru runtuh akibat peristiwa reformasi 1998, semakin banyak seniman yang terjun ke dunia politik. Kebebasan demokrasi menjadi alasan mereka semakin aktif berpolitik.
Para seniman yang berpolitik tak cemas dikriminalisasi atau dibatasi ekspresinya jika berseberangan dengan partai penguasa. Mereka tak takut berakhir seperti Rendra yang dipenjara atau seperti Widji yang hilang.
Kendati demikian, pada pemilu 1999 para seniman sekadar dimanfaatkan oleh partai politik sebagai juru kampanye untuk menarik suara (celebrity endorser). Baru pada pemilu tahun 2004 Mereka tak hanya sekadar ikut berkampanye, beberapa di antaranya pun mulai ikut berkontestasi dengan menjadi calon legislatif (celebrity politician).
Celebrity Politician
Sistem pemilu yang berubah menjadi proporsional terbuka atau coblos langsung pada tahun 2004 jadi alasan pendorong seniman berpolitik.
Partai pun memilih calon yang sudah memiliki modal ketenaran. Salah satu pilihannya adalah para seniman atau artis yang sudah terkenal.
Pada pemilu 2004 terdapat 38 calon legislatif dari kalangan seniman yang berkontestasi. Angka tersebut terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2009 terdapat 61 caleg berlatar belakang seniman, sementara pada tahun 2014 ada 77 caleg.
Beberapa seniman yang menjadi caleg sukses menduduki kursi legislatif. Pada tahun 2004 terdapat 7 seniman yang menduduki anggota DPR. Beberapa seniman itu di antaranya Dede Yusuf dari PAN, Marissa Haque dari PDIP, Angelina Sondakh dan Adjie Massaid dari Demokrat.
Seniman yang berhasil menjadi anggota DPR kian bertambah pada 2009. Total 18 seniman dari ragam partai melenggang ke Senayan. Demokrat menjadi partai yang paling sering meloloskan seniman menjadi anggota DPR dengan 7 anggota.
Tak cuma legislatif, pada tahun 2008, ada artis menjadi bagian dari eksekutif. Misalnya Rano Karno dari PDIP dan Dede Yusuf dari PAN. Rano Karno sebagai Wakil Bupati Tangerang periode 2008 hingga 2011 dan Dede Yusuf sebagai Wakil gubernur Jawa Barat periode 2008 hingga 2013.
Fenomena baru itu diikuti kemudian antara lain oleh Dicky Candra yang berhasil menjadi Wakil Bupati Garut 2009 hingga 2011 melalui jalur independen, Zumi Zola menjadi Bupati Tanjung Jabung Timur pada 2011 dan Gubernur Jambi pada 2015 dari PAN, Deddy Mizwar sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat 2013 hingga 2018 dari Demokrat.
Selain itu musisi Pasha Ungu juga menduduki jabatan Wakil Walikota Palu tahun 2016 hingga 2021 dari PAN. Lalu ada Emil Dardak sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur hingga saat ini dari Demokrat. Sahrul Gunawan dan Hengky Kurniawan pun termasuk artis yang berhasil memenangkan pilkada.
Pada tahun 2019, seniman yang menjadi endorser dan politisi pun makin menjamur. Terdapat 14 artis atau seniman yang berhasil menjadi politisi dan menduduki kursi legislatif.
 Butet Kartaredjasa (dok: Titimangsa Foundation) |
Celebrity Endorser
Sementara itu, seniman yang memutuskan menjadi endorser pun semakin ramai. Salah satu contohnya terlihat ketika Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai capres dan cawapres kala itu mengadakan kampanye akbar bertajuk 'Konser Putih Bersatu' di Stadion Gelora Bung Karno. Total sekitar 500 seniman ikut berpartisipasi.
Sejumlah nama seniman hingga musisi ternama sebagai endorser turut mewarnai kampanye akbar tersebut. Beberapa di antaranya seperti Cak Lontong, Desta, Slank, Indra Bekti, Gading Marten, Andre Taulany, Ruth Sahanaya, Yuni Shara, Addie MS hingga musisi legendaris Bimbo.
Slank Dengan jumlah fans yang besar disebut berhasil mendulang dukungan dan membawa Jokowi-Maruf duduk di kursi kekuasaan tertinggi di Indonesia. Tak hanya itu, Slank pun terciprat berkah setelah gitaris Abdi Slank menempati posisi Komisaris Independen PT Telkom Indonesia Tbk pada 28 Mei 2021.
Lima tahun berselang, beberapa nama seniman pun kembali mewarnai kontestasi pemilu 2024 mendatang. Ada yang bertindak sekadar menjadi endorser ataupun langsung terjun langsung sebagai celebrity politician.
Seniman Butet Kertaredjasa dapat dikategorikan sebagai celebrity endorser. Butet menyampaikan syair monolog dalam puncak gelaran Bulan Bung Karno pada sabtu (24/6) di Stadion Utama GBK.
Monolog butet menjadi sorotan publik dan politisi. Hal tersebut lantaran monolog Butet yang menggunakan istilah 'pandir' dan 'tukang culik' dinilai menyindir Capres lain yakni Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
Butet pun tak menampik jika monolognya menyindir kedua capres tersebut. Ia pun mengklaim bahwa sindirian tersebut telah sesuai dengan fakta.
"Ya, memang seperti itu, kok. Semua itu sumbernya fakta. [Yang] mengatakan banjir air parkir siapa? Ya, fakta. Terus menculik, kalau memang tidak merasa menculik, ya, kenapa heboh gitu," kata Butet pada CNNIndonesia.com, Selasa (27/6).
Namun, PDIP selaku tuan rumah dalam acara tersebut mengaku menyayangkan monolog yang disampaikan oleh Butet. Apalagi tema yang diangkat kala itu tentang persatuan.
"(Menyayangkan) Kalau sudah seperti itu, ya sebetulnya disampaikan di acara partai kita itu seperti itu tidak bagus lah. Tidak bagus. Kurang elok lah, kurang elok," ujar Djarot di Political Show, Senin (26/6).