SELUSUR POLITIK

Seniman dalam Arus Politik dari Masa ke Masa

Arief Bimaputra | CNN Indonesia
Selasa, 04 Jul 2023 06:24 WIB
Riwayat seniman dekat pusaran politik bukan barang baru. Sejarah mencatat banyak seniman yang mendukung, sekadar menghibur serta berkonflik dengan penguasa.
Riwayat seniman dekat pusaran politik bukan barang baru. Sejarah mencatat banyak seniman yang mendukung, sekadar menghibur serta berkonflik dengan penguasa (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)
Jakarta, CNN Indonesia --

Butet Kertaredjasa menjadi sorotan usai bicara di puncak peringatan Bulan Bung Karno yang digagas PDIP pada 24 Juni lalu.

Tendensi terhadap kubu politik tertentu yang ia tunjukkan begitu jelas hingga menuai kritik. Alam pikir publik menganggap seniman seharusnya tidak terafiliasi dengan kepentingan politik.

Akan tetapi, riwayat seniman dan budayawan dekat dengan pusaran politik bukan barang baru. Sejarah mencatat banyak seniman yang mendukung, sekadar menghibur serta berkonflik dengan penguasa

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Era Sukarno

Seniman tidak selalu bisa menjauh dari politik. Meski sama sekali tak ada kepentingan politik atau murni ingin berkarya, tetap saja ada yang terkena imbas.

Salah satunya adalah grup musik Koes Ploes. Musik dengan nuansa rock and roll yang dibawakan Koes bersaudara dianggap tak sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Sukarno bahkan menyebutnya sebagai musik ngak-ngek-ngok.

"Waktu itu, Bung Karno mengatakan, 'Jangan bawakan musik ngak ngik ngok, Elvis-Elvisan.' Padahal kami merasa tidak memiliki maksud tertentu selain menghibur penggemar," ujar pemain Bass Koes Ploes, Yok Koeswoyo.

Tak main-main, Koes bersaudara harus mencicipi dinginnya tembok penjara Glodok, Jakarta Pusat tanpa proses pengadilan pada 29 Juni 1965. Tiga Bulan setelahnya mereka dibebaskan tanpa alasan yang jelas.

Apa yang dialami Koes Ploes sebenarnya ekses dari politik Pemerintahan Presiden Sukarno kala itu. Beberapa tahun sebelumnya, terjadi konfik antara dua kelompok seniman yaitu Lekra dan Manikebu.

Lekra & Manikebu

Lekra didirikan pada 17 Agustus 1950. Ditandai dengan deklarasi seniman Lekra tentang bagaimana bertindak dalam bidang kesenian. Beberapa tokoh yang menonjol dari Lekra yakni Njoto, Pramoedya Ananta Toer, Affandi, Soedjojono.

Lekra dibentuk karena ada kekhawatiran budaya Indonesia tergerus akibat globalisasi. Oleh karena itu sebuah lembaga kebudayaan yang bertugas untuk menghalau kebudayaan kolonial dan mempertahankan "kebudayaan rakyat" dianggap harus dibentuk.

"Untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan rakyat, untuk membangun barisan kebudayaan, supaya menjadi kekuatan dalam revolusi demokrasi rakyat, didirikan "Lembaga Kebudayaan Rakyat", yang menuju kultur rakyat atau kultur demokrasi rakyat," demikian bunyi salah satu kalimat dalam mukadimah Lekra, 17 Agustus 1950.

Sementara itu, Manikebu didirikan pada tanggal 17 Agustus 1963. Manikebu adalah akronim dari Manifesto Kebudayaan yang jadi dasar pembentukan. Beberapa tokoh terkenal Manikebu yaitu H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, hingga Taufiq A.G. Ismail.

Salah satu alasan dibentuknya Manikebu disebut sebagai upaya untuk membuka ruang kesenian yang lebih mandiri. Penekanan utama Manikebu soal seni terletak pada pemberian kesempatan kebebasan kreatif bagi para seniman untuk berekspresi.

Goenawan Muhamad juga menganggap kesenian dianggap sudah dipenuhi dengan karya-karya yang sarat slogan-slogan politik. Utamanya, slogan-slogan politik bernada "penuntasan revolusi" sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh Lekra.

insergrafis SETERU DUA KELOMPOK SENIMANI Tokoh-tokoh Lekra dan Manikebu (CNNIndonesia)

Konflik, Lalu Dibubarkan

Lekra memakai prinsip 'politik sebagai panglima' sebagai dasar penciptaan karya seni karena menganggap revolusi di Indonesia belum tuntas. Aliran kesusasteraan realisme sosialis pun menjadi dominan di Lekra. Aliran itu dianggap menggambarkan realita masyarakat.

Prinsip politik sebagai panglima pun menarik empati Sukarno yang kala itu sedang menggaungkan Manifesto Politik dan Undang-undang dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Manipol Usdek).

Manikebu punya pandangan yang berbeda. Prinsip 'seni untuk seni' yang mereka pegang dengan menekankan kebebasan seniman untuk berkarya dan terlepas dari muatan politik dalam karyanya.

Namun, kebebasan kreatif seniman yang tak selalu harus berpolitik dalam berkarya tak disukai Sukarno. Mereka tak mendapatkan dukungan dari Sukarno lantaran dinilai berseberangan dengan semangat Manipol-Usdek.

Kemewahan Artis Pro Golkar Era Orde Baru

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER