Satgas TPPO pada periode 5 Juni sampai 4 Juli 2023 telah menyelamatkan 1.982 korban perdagangan orang. Dengan rincian, perempuan dewasa 889 orang dan perempuan anak 114. Sisanya korban laki-laki dewasa sebanyak 925 orang dan 54 orang laki-laki anak.
Sebanyak 714 pelaku menjadi tersangka. Mereka ditangkap berdasarkan 616 laporan polisi. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan membeberkan modus kejahatan TPPO terbanyak masih soal iming-iming menjadi pekerja migran dan pekerja rumah tangga. Jumlah 434 kasus.
Modus lainnya yakni menjadikan korban sebagai pekerja seks komersial (PSK) yakni sebanyak 175 kasus. Selain itu, modus bekerja sebagai ABK tercatat 9 kasus dan eksploitasi anak 43 kasus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini, kata Ramadhan, 114 kasus masuk tahap penyelidikan. Sementara 473 kasus sudah masuk penyidikan. Satu kasus berkasnya sudah rampung alias P21.
Tak berbeda dengan polisi, Bintang mengatakan presentase pekerja migran paling banyak menjadi korban TPPO karena mereka yang tidak mengetahui prosedur dan mekanisme bekerja di luar negeri.
"Banyak dari mereka yang berasal dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah. Hal ini membuat mereka banyak menjadi rentan terhadap penipuan oleh para oknum perekrut," ujar Bintang kepada CNNIndonesia.com, Rabu (5/7).
PMI yang menjadi korban TPPO itu diberangkatkan secara non-prosedural alias menggunakan visa wisata maupun ibadah untuk bekerja. Selanjutnya, mereka dipekerjakan di sektor informal sebagai pekerja rumah tangga, sehingga sesampainya di negara tujuan banyak yang menjadi korban TPPO.
"Kurangnya pengawasan dan terbatasnya akses PMI terhadap layanan perlindungan yang ada di perwakilan Indonesia di luar negeri," imbuhnya.
Ia menilai pencegahan TPPO dan perlindungan terhadap perempuan dan anak harus dimulai dari desa. Menurutnya, kesadaran dan kompetensi masyarakat agar tidak mudah tergiur terhadap iming-iming yang berujung pada praktik TPPO, harus ditingkatkan.
Selain itu, ada dugaan juga bahwa data sesungguhnya di lapangan menunjukkan bahwa paling banyak praktik TPPO justru terjadi di dalam negeri. Disinyalir praktik ini juga meluas, berlangsung antarpropinsi dan kabupaten/kota.
Ia menyoroti jumlah penyelamatan korban TPPO oleh Satgas merupakan angka yang terdeteksi. Namun TPPO ini, menurutnya ibarat fenomena gunung es. Kemungkinan besar masih banyak kasus di luar sana yang belum tersentuh oleh pemerintah.
"Ambil contoh, penggerebekan rumah kos di Jalan Tambora beberapa bulan lalu ternyata mendapati banyak perempuan masih belia dijual. Mereka berasal dari Jember dan Cianjur," ujarnya.
Bintang membeberkan modus operandi sindikat TPPO saat ini paling tinggi adalah melalui media sosial dan peranti elektronik yang digunakan sebagai alat untuk menjerat para korban.
Apalagi fitur teknologi saat ini memberikan kemudahan dan peluang bagi para pelaku untuk berkomunikasi dengan calon korban, tanpa harus bertemu secara tatap muka dengan mengendalikan sistem informasi yang rapi.
"Untuk modus terkini, teman merekrut teman, open booking online, penipuan bekerja di kota besar, menggunakan orang terdekat untuk mendekati korban, online trafficking, hingga online scamming," bebernya.
Sementara pada modus tradisional tidak jauh beda pada kasus-kasus TPPO sebelumnya di Indonesia. Di antaranya para korban ditawari bekerja ke luar negeri menjadi PMI, ada pula modus pengantin pesanan hingga kawin kontrak.
Modus lainnya berupa jeratan utang, perdagangan bayi, hingga penipuan magang bagi pelajar dan mahasiswa.
Bintang membeberkan sejumlah pola rekrutmen ilegal yang terjadi selama ini.Misalnya, pada pola perekrutan calon korban TPPO secara tradisional, para pelaku turun langsung ke masyarakat menawarkan pekerjaan, gaji tinggi, cepat berangkat, serta biaya ditanggung semua.
Mereka juga tak segan untuk memberikan bantuan pemalsuan dokumen bagi calon korban TPPO yang tidak memenuhi sejumlah persyaratan administrasi.
Para pelaku juga bersedia memberikan uang tinggal atau santunan pada keluarga. Kemudian korban dibawa ke penampungan, ditanggung biaya makan minum penginapan. Surat perjalanan hingga proses keberangkatan pun diurus 100 persen sehingga tidak menimbulkan kecurigaan bagi para calon korban.
![]() |
Penggunaan media sosial juga berdampak pada masifnya perekrutan secara online atau melalui media sosial, seperti facebook maupun Instagram. Hal ini dimanfaatkan oleh pelaku untuk memanfaatkan korban yang tanpa disadari menjadi perekrut korban lainnya.
Misalnya, para calon korban mendapatkan informasipeluang kerja dari media sosial terkait lowongan kerja beserta penempatan dan gaji. Selanjutnya mereka mendatangi atau berkomunikasi dengan pengiklan melalui telepon atau email, dan berlanjut hingga proses pemberangkatan.
Bintang juga menyoroti pola rekrutmen calon korban TPPO melalui Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang ia ketahui berdasarkan pemantauan dan data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Alurnya, para korban mengikuti pelatihan kerja atau bahasa, dan LPK menawari penempatan.
LPK kemudian membuatkan semua dokumen yang dibutuhkan dan mengurus dokumen pemberangkatan. Dalam pola rekrutmen kali ini, korban menyerahkan uang sesuai yang diminta.
Ada juga pola rekrutmen melalui penempatan ilegal oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Teknisnya, mereka melakukan penempatan ilegal di negara-negara berbahaya atau kondisi perang.
P3MI juga melakukan praktik penempatan dengan berbagai modus seperti visa umroh, ziarah ke timur tengah; calling visa ke singapura; visa rujukan ke Malaysia. Hingga melakukan praktik biaya overcharging atau permintaan pembayaran melampaui biaya yang sesungguhnya
"P3MI terdaftar resmi tetapi melakukan praktik penempatan ilegal," ujarnya.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat DKI Jakarta sebagai provinsi dengan kasus pelaporan korban TPPO paling tinggi di Indonesia. Sebanyak 521 korban telah melapor, meliputi laki-laki, perempuan, dan anak-anak.
Disusul Jawa Barat 300 korban, Kepulauan Riau 144 korban, Kalimantan Barat 129 korban, dan Jawa Timur sebanyak 128 korban yang melapor. Simfoni PPA juga mencatat selama periode 2018-2022 di Indonesia, terdapat 1.793 kasus TPPO, serta 2.083 korban TPPO.
Data tersebut terdiri dari 954 atau 46 persen perempuan dewasa, 920 atau 44 persen perempuan anak, 154 atau 7 persen laki-laki anak, serta 55 atau 3 persen laki-laki dewasa. Sehingga perempuan dan anak-anak menjadi korban terbanyak.
Sementara berdasarkan data yang disajikan lembaga swadaya masyarkat (LSM) yang bergerak dalam isu perlindungan pekerja migran, Migrant Care. Sepanjang 2023 ini mereka telah menerima sebanyak 97 kasus. Dalam grafik yang diberikan, terlihat kenaikan kasus TPPO signifikan pada Mei dengan 49 kasus.
Untuk presentase jenis kelamin, Migrant Care mencatatkan dari puluhan kasus itu, 54,6 persen di antaranya merupakan korban laki-laki, dan 45,4 persen adalah korban perempuan.
Migrant Care juga mencatat Jawa Barat sebagai provinsi yang paling banyak kasus TPPO sepanjang 2023, dengn 18 kasus dilaporkan. Disusul Jambi 16 kasus, Jawa Timur 15 kasus, Sumatera Utara 9 kasus, serta Jawa Tengah dan DKI Jakarta dengan 6 kasus.
![]() |
Terkait dengan jalur perekrutan, KemenPPPA juga menyebut berdasarkan deteksi yang dilakukan oleh BP2MI mengenai titik penempatan melalui perbatasan seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan.
Terdapat lima pola yang bisa dipelajari. Pertama, rekrutmen PMI berasal dari: NTT, NTB, Jatim, Jabar menuju Brunei, Malaysia. Kedua, rekrutmen PMI berasal dari NTT, NTB, Jatim, Sulawesi menuju Malaysia (Tawau dan Kinibalu).
Ketiga, rekrutmen PMI berasal dari NTT, NTB, Jatim, Jabar Jateng, Banten, menuju Malaysia (Johor Bahrul) dan Singapura. Keempat, rekrutmen PMI berasal dari Sumut, Aceh, Jabar yang menuju Malaysia (Penang/ Malaysia Semenanjung).
Kelima, rekrutmen PMI berasal dari Pare-pare, Makassar, Sulawesi yang menuju Malaysia.
Tak jauh berbeda dengan penjelasan KemenPPPA, Koordinator Divisi Bantuan Hukum Migrant Care Nurharsono mengatakan PMI paling banyak menjadi korban TPPO, lantaran buruh migran mudah diiming-imingi. Belum lagi diplomasi Indonesia dinilai lemah dengan negara tujuan korban TPPO.
Nur tak menampik saat ini laporan yang masuk di Migrant Care paling banyak datang dari korban dengan modus operandi di media sosial. Mereka diiming-imingi bayaran tinggi dan jenis pekerjaan yang menarik, seperti operator komputer hingga staf bidang marketing.
"Dengan tawaran gaji Rp10-30 juta, ada uang lembur. Ini yang membuat mereka tergiur dan menerima tawaran tersebut," kata Nur saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (5/7).
Selain itu, modus tradisional juga masih dilakukan oleh sejumlah pelaku TPPO. Mereka melakukan pendekatan melalui orang-orang terdekat atau obrolan di warung kopi.