Pikiran Fredi Seprizal kusut. Jauh-jauh merantau dari Palembang ke Jakarta, tak kunjung mendapat pekerjaan. Ia yang saat itu berusia 23 tahun kemudian hijrah ke Bandung, berbekal ijazah SMK dan pengalaman kerja seadanya.
Di Kota Kembang, Fredi sempat luntang-lantung. Hingga suatu waktu, kawannya memberikan secuil informasi terkait lowongan pekerjaan sebagai anak buah kapal (ABK) di luar negeri melalui lembaga penyalur kerja.
Tanpa berpikir panjang, Fredi pun mengadu nasib bersama seorang kawan. Sebuah awal yang kemudian membawanya terbang 5 ribu kilometer lebih dari Indonesia.
"Karena memang kesulitan dan lagi enggak dapat kerja, susah lah ya, jadi langsung saya ikut teman daftar," kata Fredi saat bercerita kepada CNNIndonesia.com, Rabu (5/7).
Dia bertolak ke Cirebon, Jawa Barat, setelah mendapatkan konfirmasi lewat panggilan telepon bahwa pendaftarannya bisa dilanjutkan. Fredi kemudian menyerahkan sejumlah dokumen pribadi, seperti ijazah dan sebagainya.
Keesokan harinya, ia diantar ke Pemalang, Jawa Tengah. Fredi didaftarkan ke PT Puncak Jaya Samudera. Ia kemudian menjalani pemeriksaan kesehatan yang seluruh biayanya ditanggung oleh pihak penyalur kerja.
"Saya tidak curiga sama sekali, karena banyak kan orang-orang non-pengalaman tidak ngerti cara bekerja di kapal, tapi jadi ABK. Pas saya di Pemalang, seluruh biaya hingga pembuatan paspor ditanggung, nanti sistemnya potong gaji kalau sudah di sana," kata dia.
Setelahnya, Fredi tinggal sementara di sana. Saban hari ia harus mengikuti sejumlah pelatihan baik fisik maupun keterampilan kerja. Ia mengaku diajari cara bekerja di atas kapal, memancing, menggunakan jaring, hingga harus lulus diklat basic safety training (BST).
Kisah pelik dalam hidupnya dimulai pada 29 Mei 2018. Fredi terbang dari Bandara Soekarno-Hatta, transit di Bandara Internasional Raja Abdulaziz, Jeddah, kemudian melanjutkan penerbangan ke Kepulauan Mauritius, Afrika Selatan. Ia pasrah mengetahui dirinya diterbangkan ke sana.
Sesampainya di Mauritius dan melanjutkan sejumlah perjalanan darat dan laut, Fredi bersama 15 orang WNI lainnya sampai di sebuah kapal berbendera China dengan model kapal longline nomor seri 675.
"Pada saat saya datang, kaget. Biasanya habis perjalanan jauh minimal kita diberikan istirahat. Tapi ketika kami sampai di kapal, disambut oleh mandor, disuruh meletakkan barang dan baju, terus langsung kerja," tutur Fredi.
Dia makin heran pada hari-hari awal bekerja. Fredi bersama belasan ABK lainnya harus bekerja hingga 35 jam tanpa istirahat. Ditambah lagi beban mental yang ia terima lantaran para mandor berkebangsaan China itu kerap melakukan kekerasan baik verbal hingga fisik.
Fredi tidak menyangka akan menjalani pekerjaan berat dan penuh eksploitasi.
"Sering pemukulan yang dilakukan oleh wakil mandor dan mandor ketika melihat kita kerjanya lambat gitu. Itu pemandangan biasa," ujarnya.
Siang malam ia habiskan di atas kapal selama 18 bulan tanpa bersandar. Pemberian upah pun tak jelas, kadang diberikan tiga bulan sekali. Belum lagi, gaji yang dijanjikan dengan nominal US$300 atau sekitar Rp4,5 juta harus dipotong rutin selama delapan bulan untuk mengganti biaya operasional pemberangkatannya.
Fredi juga harus menyetor uang jaminan sebesar US$800 atau sekitar Rp12 juta selama ia masih bekerja di sana. Berbulan-bulan terombang-ambing di atas lautan akhirnya membuatnya jengah.
Fredi minta agar segera dipulangkan ke Indonesia. Tentu, proses itu tidak mudah. Setelah melalui negosiasi, ia boleh pulang dan dianggap melanggar kontrak. Gajinya hanya diberikan 70 persen, dan dalam beberapa bulan gajinya hanya dialokasikan untuk biaya transportasi kepulangannya.
"Saya memutuskan, setelah diperbudak, dieksploitasi, dimanfaatkan, akhirnya saya dipulangkan," ujar Fredi.
Fredi akhirnya mendarat di Palembang. Ada perasaan malu kepada tetangga. Sudah setahun lebih bekerja di luar negeri, namun tak juga mendapatkan penghasilan yang cukup. Bahkan belum bisa meningkatkan taraf kehidupannya menjadi lebih baik lagi.
Fredi pun memutuskan untuk merantau ke Jawa Tengah. Di sana ia bertemu dengan salah satu kawan yang mengenalkannya dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Dari perkenalan itu, Fredi mulai paham bahwa selama ini dirinya telah menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Diberangkatkan secara ilegal ke luar negeri dan mendapatkan upah yang tidak sesuai dengan beban kerja.
Fredi akhirnya memutuskan untuk memperjuangkan haknya. Ia memutuskan untuk bergabung dalam SBMI Pemalang. Ia mengadvokasi sejumlah kasus yang sama sambil memperjuangkan kasusnya.
Dalam upayanya itu, ia menilai peran pemerintah nyaris tidak ada. Fredi hanya berjuang bersama SBMI untuk memperjuangkan sejumlah upah yang seharusnya ia dapatkan.
"Kita di Indonesia ini, kalau kita tidak mencari keadilan sendiri, kita tidak akan mendapatkan keadilan," ujarnya.
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mencatat selama periode 2017-2022, terdapat total 2.523 kasus warga negara Indonesia yang menjadi korban perdagangan orang di luar negeri. Berdasarkan data itu, terlihat terdapat tren kenaikan kasus yang signifikan sepanjang 2022.
Rinciannya, pada 2017 terdapat 402 kasus TPPO yang dilaporkan. Kemudian menurun pada 2018 dengan 162 kasus, dan selanjutnya menunjukkan tren kenaikan dalam dua tahun berikutnya.
Pada 2019 mencatatkan 259 kasus dan 202 sebanyak 587 kasus. Selanjutnya pada 2021 sempat mengalami penurunan menjadi 361 kasus, dan kembali naik hingga 108 persen menjadi 752 kasus pada 2022.
Bintang sempat menjabat Ketua Pelaksana Harian Satuan Tugas tim pemberantasan TPPO. Namun setelah ada perubahan struktur, posisinya digantikan Kapolri. Meski demikian dia menyatakan KemenPPPA tetap berkoordinasi dan memberikan perhatian lebih untuk masalah TPPO di Indonesia.
TPPO membawa kerugian besar bagi negara dan pembangunan bangsa. Penelitian Global Financial Integrity pada 2017 memperkirakan bahwa secara global rata-rata dalam satu tahun $1,6 triliun hingga $2,2 triliun dihasilkan dari kejahatan transnasional, termasuk TPPO.
Dari 11 kejahatan transnasional tertinggi dalam menghasilkan aliran dana global, harta kekayaan yang dihasilkan kejahatan TPPO merupakan peringkat ke-4 dan diperkirakan mencapai $150,2 miliar per tahun.
Data ILO menunjukkan bahwa angka $150,2 miliar pada 2018 meningkat tajam dari perkiraan aliran dana TPPO senilai $32 miliar pada 2011.
Bintang mendorong penegakan hukum yang tegas sesuai dengan undang-undang yang berlaku serta menghukum seberat-beratnya para pelaku.
Satgas TPPO pada periode 5 Juni sampai 4 Juli 2023 telah menyelamatkan 1.982 korban perdagangan orang. Dengan rincian, perempuan dewasa 889 orang dan perempuan anak 114. Sisanya korban laki-laki dewasa sebanyak 925 orang dan 54 orang laki-laki anak.
Sebanyak 714 pelaku menjadi tersangka. Mereka ditangkap berdasarkan 616 laporan polisi. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan membeberkan modus kejahatan TPPO terbanyak masih soal iming-iming menjadi pekerja migran dan pekerja rumah tangga. Jumlah 434 kasus.
Modus lainnya yakni menjadikan korban sebagai pekerja seks komersial (PSK) yakni sebanyak 175 kasus. Selain itu, modus bekerja sebagai ABK tercatat 9 kasus dan eksploitasi anak 43 kasus.
Saat ini, kata Ramadhan, 114 kasus masuk tahap penyelidikan. Sementara 473 kasus sudah masuk penyidikan. Satu kasus berkasnya sudah rampung alias P21.
Tak berbeda dengan polisi, Bintang mengatakan presentase pekerja migran paling banyak menjadi korban TPPO karena mereka yang tidak mengetahui prosedur dan mekanisme bekerja di luar negeri.
"Banyak dari mereka yang berasal dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah. Hal ini membuat mereka banyak menjadi rentan terhadap penipuan oleh para oknum perekrut," ujar Bintang kepada CNNIndonesia.com, Rabu (5/7).
PMI yang menjadi korban TPPO itu diberangkatkan secara non-prosedural alias menggunakan visa wisata maupun ibadah untuk bekerja. Selanjutnya, mereka dipekerjakan di sektor informal sebagai pekerja rumah tangga, sehingga sesampainya di negara tujuan banyak yang menjadi korban TPPO.
"Kurangnya pengawasan dan terbatasnya akses PMI terhadap layanan perlindungan yang ada di perwakilan Indonesia di luar negeri," imbuhnya.
Ia menilai pencegahan TPPO dan perlindungan terhadap perempuan dan anak harus dimulai dari desa. Menurutnya, kesadaran dan kompetensi masyarakat agar tidak mudah tergiur terhadap iming-iming yang berujung pada praktik TPPO, harus ditingkatkan.
Selain itu, ada dugaan juga bahwa data sesungguhnya di lapangan menunjukkan bahwa paling banyak praktik TPPO justru terjadi di dalam negeri. Disinyalir praktik ini juga meluas, berlangsung antarpropinsi dan kabupaten/kota.
Ia menyoroti jumlah penyelamatan korban TPPO oleh Satgas merupakan angka yang terdeteksi. Namun TPPO ini, menurutnya ibarat fenomena gunung es. Kemungkinan besar masih banyak kasus di luar sana yang belum tersentuh oleh pemerintah.
"Ambil contoh, penggerebekan rumah kos di Jalan Tambora beberapa bulan lalu ternyata mendapati banyak perempuan masih belia dijual. Mereka berasal dari Jember dan Cianjur," ujarnya.
Modus operandi dan pola rekrutmen
Bintang membeberkan modus operandi sindikat TPPO saat ini paling tinggi adalah melalui media sosial dan peranti elektronik yang digunakan sebagai alat untuk menjerat para korban.
Apalagi fitur teknologi saat ini memberikan kemudahan dan peluang bagi para pelaku untuk berkomunikasi dengan calon korban, tanpa harus bertemu secara tatap muka dengan mengendalikan sistem informasi yang rapi.
"Untuk modus terkini, teman merekrut teman, open booking online, penipuan bekerja di kota besar, menggunakan orang terdekat untuk mendekati korban, online trafficking, hingga online scamming," bebernya.
Sementara pada modus tradisional tidak jauh beda pada kasus-kasus TPPO sebelumnya di Indonesia. Di antaranya para korban ditawari bekerja ke luar negeri menjadi PMI, ada pula modus pengantin pesanan hingga kawin kontrak.
Modus lainnya berupa jeratan utang, perdagangan bayi, hingga penipuan magang bagi pelajar dan mahasiswa.
Bintang membeberkan sejumlah pola rekrutmen ilegal yang terjadi selama ini.Misalnya, pada pola perekrutan calon korban TPPO secara tradisional, para pelaku turun langsung ke masyarakat menawarkan pekerjaan, gaji tinggi, cepat berangkat, serta biaya ditanggung semua.
Mereka juga tak segan untuk memberikan bantuan pemalsuan dokumen bagi calon korban TPPO yang tidak memenuhi sejumlah persyaratan administrasi.
Para pelaku juga bersedia memberikan uang tinggal atau santunan pada keluarga. Kemudian korban dibawa ke penampungan, ditanggung biaya makan minum penginapan. Surat perjalanan hingga proses keberangkatan pun diurus 100 persen sehingga tidak menimbulkan kecurigaan bagi para calon korban.
 Menteri Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak I Gusti Ayu Bintang membeberkan modus operandi sindikat TPPO. (Foto: Biro Pers Presiden) |
Penggunaan media sosial juga berdampak pada masifnya perekrutan secara online atau melalui media sosial, seperti facebook maupun Instagram. Hal ini dimanfaatkan oleh pelaku untuk memanfaatkan korban yang tanpa disadari menjadi perekrut korban lainnya.
Misalnya, para calon korban mendapatkan informasipeluang kerja dari media sosial terkait lowongan kerja beserta penempatan dan gaji. Selanjutnya mereka mendatangi atau berkomunikasi dengan pengiklan melalui telepon atau email, dan berlanjut hingga proses pemberangkatan.
Bintang juga menyoroti pola rekrutmen calon korban TPPO melalui Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang ia ketahui berdasarkan pemantauan dan data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Alurnya, para korban mengikuti pelatihan kerja atau bahasa, dan LPK menawari penempatan.
LPK kemudian membuatkan semua dokumen yang dibutuhkan dan mengurus dokumen pemberangkatan. Dalam pola rekrutmen kali ini, korban menyerahkan uang sesuai yang diminta.
Ada juga pola rekrutmen melalui penempatan ilegal oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Teknisnya, mereka melakukan penempatan ilegal di negara-negara berbahaya atau kondisi perang.
P3MI juga melakukan praktik penempatan dengan berbagai modus seperti visa umroh, ziarah ke timur tengah; calling visa ke singapura; visa rujukan ke Malaysia. Hingga melakukan praktik biaya overcharging atau permintaan pembayaran melampaui biaya yang sesungguhnya
"P3MI terdaftar resmi tetapi melakukan praktik penempatan ilegal," ujarnya.
Lima provinsi kasus TPPO terbanyak
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat DKI Jakarta sebagai provinsi dengan kasus pelaporan korban TPPO paling tinggi di Indonesia. Sebanyak 521 korban telah melapor, meliputi laki-laki, perempuan, dan anak-anak.
Disusul Jawa Barat 300 korban, Kepulauan Riau 144 korban, Kalimantan Barat 129 korban, dan Jawa Timur sebanyak 128 korban yang melapor. Simfoni PPA juga mencatat selama periode 2018-2022 di Indonesia, terdapat 1.793 kasus TPPO, serta 2.083 korban TPPO.
Data tersebut terdiri dari 954 atau 46 persen perempuan dewasa, 920 atau 44 persen perempuan anak, 154 atau 7 persen laki-laki anak, serta 55 atau 3 persen laki-laki dewasa. Sehingga perempuan dan anak-anak menjadi korban terbanyak.
Sementara berdasarkan data yang disajikan lembaga swadaya masyarkat (LSM) yang bergerak dalam isu perlindungan pekerja migran, Migrant Care. Sepanjang 2023 ini mereka telah menerima sebanyak 97 kasus. Dalam grafik yang diberikan, terlihat kenaikan kasus TPPO signifikan pada Mei dengan 49 kasus.
Untuk presentase jenis kelamin, Migrant Care mencatatkan dari puluhan kasus itu, 54,6 persen di antaranya merupakan korban laki-laki, dan 45,4 persen adalah korban perempuan.
Migrant Care juga mencatat Jawa Barat sebagai provinsi yang paling banyak kasus TPPO sepanjang 2023, dengn 18 kasus dilaporkan. Disusul Jambi 16 kasus, Jawa Timur 15 kasus, Sumatera Utara 9 kasus, serta Jawa Tengah dan DKI Jakarta dengan 6 kasus.
 Aksi damai CARE bersama ILO menuntut perwujudan pekerjaan layak bagi buruh Migran Indonesia di bundaran HI, Jakarta, Minggu, 18 Desember 2016. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Terkait dengan jalur perekrutan, KemenPPPA juga menyebut berdasarkan deteksi yang dilakukan oleh BP2MI mengenai titik penempatan melalui perbatasan seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan.
Terdapat lima pola yang bisa dipelajari. Pertama, rekrutmen PMI berasal dari: NTT, NTB, Jatim, Jabar menuju Brunei, Malaysia. Kedua, rekrutmen PMI berasal dari NTT, NTB, Jatim, Sulawesi menuju Malaysia (Tawau dan Kinibalu).
Ketiga, rekrutmen PMI berasal dari NTT, NTB, Jatim, Jabar Jateng, Banten, menuju Malaysia (Johor Bahrul) dan Singapura. Keempat, rekrutmen PMI berasal dari Sumut, Aceh, Jabar yang menuju Malaysia (Penang/ Malaysia Semenanjung).
Kelima, rekrutmen PMI berasal dari Pare-pare, Makassar, Sulawesi yang menuju Malaysia.
Scammer, Tren baru TPPO
Tak jauh berbeda dengan penjelasan KemenPPPA, Koordinator Divisi Bantuan Hukum Migrant Care Nurharsono mengatakan PMI paling banyak menjadi korban TPPO, lantaran buruh migran mudah diiming-imingi. Belum lagi diplomasi Indonesia dinilai lemah dengan negara tujuan korban TPPO.
Nur tak menampik saat ini laporan yang masuk di Migrant Care paling banyak datang dari korban dengan modus operandi di media sosial. Mereka diiming-imingi bayaran tinggi dan jenis pekerjaan yang menarik, seperti operator komputer hingga staf bidang marketing.
"Dengan tawaran gaji Rp10-30 juta, ada uang lembur. Ini yang membuat mereka tergiur dan menerima tawaran tersebut," kata Nur saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (5/7).
Selain itu, modus tradisional juga masih dilakukan oleh sejumlah pelaku TPPO. Mereka melakukan pendekatan melalui orang-orang terdekat atau obrolan di warung kopi.
Lebih lanjut, Nur mengatakan data Migrant Care sepanjang 2022-2023 mencatatkan 212 total kasus korban TPPO dengan jenis pekerjaan scammer, dan 49 lainnya bekerja sebagai admin judi online.
Ia menyebut sindikat judi online yang terafiliasi dengan perusahaan di luar negeri itu juga mulai terendus, seperti paling banyak di Sumatera Utara dan DKI Jakarta. Mereka merekrut para korban TPPO untuk bekerja di luar negeri dengan jenis pekerjaan menarik, padahal modus tersebut hanya tipuan belaka.
"Saat ini yang kita dampingi itu banyak memang korban-korban scammer dari beberapa negara, Kamboja, Myanmar, Filipina, maupun Vietnam dan juga Malaysia," kata dia.
Selain jenis pekerjaan admin judi online, Nur juga mengatakan jenis pekerjaan pekerja rumah tangga (PRT) masih menjadi tren korban TPPO. Modusnya masih sama. Mereka dipekerjakan dengan upah minim dan diperlakukan layaknya budak yang telah dibeli oleh majikan.
Ada pula jenis pekerjaan pekerja seks komersial (PSK) yang menurutnya banyak terjadi di dalam negeri. Para korban diiming-imingi pekerjaan yang layak, namun malah dipekerjakan sebagai PSK di dalam negeri seperti Batam dan Jakarta, dan sebagian dikirim ke Malaysia.
"Ada juga eksploitasi anak. Itu biasanya mereka umurnya dituakan dan kemudian dipekerjakan menjadi PRT bahkan PSK itu sendiri," ujarnya.
Staff Divisi Bantuan Hukum Migrant Care Yusuf Ardabili menambahkan modus lain yang digunakan para pelaku TPPO adalah dengan memanfaatkan lingkungan pertemanan seseorang baik di dunia nyata maupun teman virtual.
Misalnya, si A ingin berlibur ke Thailand, dan si B yang merupakan teman A menawarkan jasa tour guide selama A berada di luar negeri. Namun yang terjadi, B bersama para sindikat TPPO malah menjual A ke negara lain, Myanmar misalnya.
Yusuf juga menyampaikan terdapat modus lain seperti perekrutan sebuah agensi. Dengan iming-iming sejumlah penawaran, para korban kemudian dijual di negara lain dan kemudian berakhir menjadi pekerja judi online dan online scammer.
"Mereka itu punya jaringan ke Kamboja, Myanmar, kemudian mencari dan merekrut teman-teman kita yang ada di sini. Itu kebanyakan dari Sumatera," ujar Yusuf.
Yusuf kemudian menjelaskan, para pemilik perusahaan dua pekerjaan ilegal tersebut beberapa di antaranya memang pernah memiliki perusahan serupa di Indonesia, namun berhasil digrebek oleh aparat keamanan. Dengan jaringan internasional, mereka kemudian membangun perusahaan di luar negeri.
Disetrum hingga dipukul keramik
Yusuf bercerita para korban tak mengira mereka akan dipekerjakan sebagai admin judi online atau online scammer. Mereka terpaksa melakoni pekerjaan itu lantaran diberi target oleh atasan.
Misalnya, dalam satu bulan, satu kelompok yang terdiri dari 4-5 orang harus memenuhi target menghasilkan uang sebanyak 3.000 USD atau senilai Rp45 juta dalam periode waktu tertentu. Apabila mereka tidak memenuhi target, maka mereka akan dijual kepada perusahaan lain.
Pun apabila kemudian para korban masih tidak bisa melakukan pekerjaan tersebut dengan baik, maka korban akan diintimidasi dan mendapatkan kekerasan verbal, fisik, bahkan kadang kekerasan seksual.
"Kalau misalkan tidak mencapai target, mereka itu mendapat kekerasan fisik, bisa di setrum, bisa dipukul. Ada salah satu yang kita dampingi sampai sekarang, kepalanya dipukul menggunakan keramik," ujar Yusuf.
Para korban TPPO itu, kata dia, tinggal di sebuah bangunan yang dijaga ketat oleh petugas. Myanmar misalnya, mereka dijaga ketat oleh petugas bersenjata. Kebanyakan mereka tinggal di bekas ruko hingga hotel.
 Tersangka perdagangan manusia jaringan internasional dihadirkan dalam rilis di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 10 Agustus 2017. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Kamboja mengandalkan hukuman setrum, sementara di negara konflik seperti Myanmar dan Laos mereka menggunakan senjata api.
"Mereka tidak bisa keluar. T kerja dan tempat tidurnya itu mereka satu ruangan, terus CCTV juga di setiap sudut," jelasnya.
Lebih lanjut, Yusuf juga mencatat berdasarkan laporan yang mereka terima sepanjang 2023, korban TPPO paling banyak dari jenis kelamin laki-laki dengan presentase mencapai 88,9 persen, sementara sisanya 11,1 persen adalah korban perempuan.
Lebih lengkapnya, daerah dengan korban TPPO yang paling banyak melapor adalah Sumatera Utara dengan 113 kasus, Jawa Barat 32 kasus, Jawa Timur 21 kasus, Jawa Tengah 19 kasus, Jambi 16 kasus, DKI Jakarta 13, kasus, dan Kalimantan Barat 11 kasus.
Kemudian Banten dengan 9 kasus yang dilaporkan, Kepulauan Riau 8 kasus, Lampung 6 kasus, Sumatera barat 5 kasus, Sumatera Barat 4 kasus, Bali 2 kasus, serta Aceh dan Kepulauan Bangka Belitung masing-masing satu kasus.
Penyelesaian kasus TPPO
Nur mengatakan Migrant Care membuka dua skema aduan, baik itu luring maupun daring. Ia menyebut selama ini mereka menerima aduan dari keluarga korban yang sudah lama tidak mendapatkan kabar dari anggota keluarganya yang bekerja di luar negeri.
Migrant Care akan mengadvokasi dan menemani para korban untuk melakukan aduan ke Polri. Selanjutnya mereka juga akan mendampingi korban hingga proses di meja hijau. Migrant Care juga berkoordinasi dengan Kemenlu dan KBRI di negara korban bekerja.
"Ada yang kemudian ditindaklanjuti, kemudian sampai persidangan, sampai putusan. Ada juga yang kemudian diselesaikan lewat jalur-jalur non litigasi, artinya secara kekeluargaan," ujar Nur.
Nur selanjutnya mengkritisi kehadiran pemerintah untuk memberikan pendampingan kepada korban TPPO. Misalnya, ketika korban dipulangkan dan memiliki sejumlah trauma, korban tidak didampingi konseling terlebih dahulu melainkan kebanyakan langsung dipulangkan ke daerah asal masing-masing.
Sementara Menteri PPPA Bintang membeberkan proses penanganan kasus korban TPPO sudah diatur juga dalam Permen PPPA Nomor 8 Tahun 2021 tentang SOP Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau korban TPPO.
Detailnya, apabila kejadian di luar negeri, maka korban dipulangkan ke Indonesia melalui perwakilan di negara setempat sampai kepada titik embarkasi. Setelah sampai di Jakarta, kemudian dilakukan identifikasi terhadap korban untuk dilakukan intervensi sesuai dengan tugas dan fungsi K/L terkait.
Kemudian dilakukan rehabilitasi sosial, melalui Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) maupun rumah aman milik Kemensos, ataupun rehabilitasi Kesehatan oleh Kemenkes, sesuai dengan kebutuhan korban.
"Setelah itu, korban dipulangkan ke daerah masing-masing, untuk dilakukan reintegrasi sosial maupun pemberdayaan oleh dinas setempat, sehingga korban dapat kembali kepada lingkungannya maupun keluarganya dan berdaya kembali, serta tidak terjadinya reviktimisasi," jelas Bintang.
Sementara apabila kejadian di dalam negeri, maka korban diberi identifikasi atau asesmen, kemudian dilakukan rehabilitasi sosial, melalui RPTC maupun rumah aman milik Kemensos, ataupun rehabilitasi Kesehatan oleh Kemenkes, sesuai dengan kebutuhan korban.
Apabila korban berasal dari daerah lain, maka dilakukan koordinasi antara Pemerintah Daerah untuk memulangkan ke daerah masing-masing, untuk dilakukan reintegrasi sosial maupun pemberdayaan oleh dinas setempat, sehingga korban dapat kembali kepada lingkungannya maupun keluarganya dan berdaya kembali, serta tidak terjadinya reviktimisasi.
Bintang selanjutnya juga membeberkan sejumlah upaya pendampingan korban TPPO yang dilakukan pemerintah hingga saat ini.
Di antaranya, korban diberikan advokasi terkait TPPO, serta diberikan pemberdayaan ekonomi, sehingga apabila sudah berdaya tidak lagi tertarik dengan iming-iming pekerjaan yang tidak jelas. Kemudian pemberdayaan ekonomi tersebut juga dapat bekerja sama dengan LSM etempat.
"Misalnya, di NTT terdapat Yayasan Tapenbikomi yang mendorong pemberdayaan ekonomi warganya melalui sumber daya yang ada disekitarnya," kata dia.
Ia selanjutnya juga mengklaim, Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) sudah terbentuk di 34 Provinsi, 71 Kabupaten, serta 142 desa. Salah satu indikator DRPPA dalam upaya pencapaiannya yaitu tidak ada kekerasan terhadap perempuan dan anak serta korban TPPO.
Dengan adanya DRPPA, Bintang berharap dapat menjadi daya dorong dalam membangun komitmen bersama pencegahan dan penanganan TPPO mulai dari tingkat desa.