Sementara itu, Peneliti di Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) UGM Zaenurrohman berpandangan KPK sudah melangkahi aturan ketika menetapkan tersangka anggota TNI aktif.
Ia berpendapat KPK tidak berwenang untuk bertindak demikian. Oleh karenanya, permintaan maaf dari KPK ke Puspom TNI merupakan satu-satunya langkah yang bisa dilakukan.
"Itu jadi pertanyaan dasar hukumnya, itu memang menurut saya satu langkah yang diakui keliru. Itu satu langkah yang saya tidak menemukan dasar hukum, memang bisa saya katakan itu langkah yang tidak ada dasar hukumnya," kata Zaenur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, ia menekankan permohonan maaf yang dihaturkan KPK ke Puspom TNI kemarin turut merusak citra profesionalitas lembaga.
Selain itu, Zaenur juga menyoroti pernyataan pimpinan KPK yang seakan menyalahi penyidik. Ia menekankan pemimpin KPK bertanggung jawab atas seluruh perkara.
"Tidak tepat menyalahkan penyidik, akui kesalahan dan kemudian kesalahan itu memang tidak bisa lepas dari pimpinan, bukan kemudian menyalahkan anak buah," ujar dia.
Zaenur menyebut antara KPK dan Puspom TNI semestinya membentuk tim koneksitas pada tahap penyidikan untuk mengusut dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pelaku sipil dan militer.
Tim koneksitas itu terdiri dari unsur KPK, Puspom TNI, dan oditur militer yang memiliki kewenangan di ranah penyidikan hingga penuntutan. Pembentukan tim ini diatur dalam Pasal 89, 90, 91 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Seharusnya ketika melakukan OTT, boleh KPK ikut menangkap sipil dan militernya, boleh. Tetapi kemudian selanjutnya sipilnya boleh langsung ditetapkan tersangka dalam waktu satu kali 24 jam, militernya serahkan kepada Pom TNI. Tetapi idealnya adalah sebelumnya juga sudah ada komunikasi, sehingga bisa dibentuk tim koneksitas itu tadi," ucapnya.
Zaenur lantas mendorong dibentuknya tim koneksitas dalam penanganam perkara ini. Di satu sisi terkait situasi terkini, Zaenur menekankan jangan sampai polemik yang terjadi belakangan justru menghambat penegakan hukum kasus ini.
"Jangan sampai ada gap, ada disparitas penanganannya karena dilakukan oleh KPK dan oleh Pom TNI. Saya berharap ada tim koneksitas yang dibentuk antara KPK dan Pom TNI," kata dia.
Sementara proses peradilannya, lanjut Zaenur, didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak menimbang pihak atau institusi mana yang mengalami kerugian paling dominan dari dugaan tindak pidana korupsi ini.
"Kalau kasus Basarnas ini kan kerugiannya di Basarnas gitu ya kerugiannya di bidang SAR, sehingga ini bukan kerugian di lingkungan militer. Sehingga seharusnya ini diadilinya di lingkungan pengadilan umum," tegasnya.
CNNIndonesia.com sudah berupaya menghubungi Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri pada Senin (31/7) pagi, mengenai kritik sejumlah pakar ini. Namun, sampai berita ini ditulis Ali belum menanggapi.
Sementara akhir pekan lalu, baik Ketua KPK Firli Bahuri maupun Wakil Ketua KPK Alexander Marwata sudah buka suara terkait polemik OTT Basarnas tersebut.
Firli menegaskan polemik penanganan kasus dugaan suap yang menyeret Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi menjadi tanggung jawab penuh pimpinan KPK.
"Seluruh proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh segenap insan KPK, serta berbagai upaya pencegahan dan pendidikan antikorupsi, adalah tanggung jawab penuh Pimpinan KPK," kata Firli dalam keterangan tertulis, Sabtu (29/7).
Dia menjelaskan pihaknya melakukan kegiatan tangkap tangan pejabat Basarnas dan sejumlah pihak swasta pada Selasa (25/7). Tim penindakan KPK mengamankan 11 orang beserta barang bukti transaksi dugaan suap berupa uang tunai sejumlah Rp999,7 juta.
Dari bukti hasil penyelidikan tersebut, pihaknya pun menaikkan status perkara ke tahap penyidikan dan menetapkan para pihak sebagai tersangka. Sebab ada pihak yang berstatus TNI aktif, Firli memastikan proses gelar perkara pada kegiatan OTT telah melibatkan pihak Pusat Polisi Militer TNI sampai dengan penetapan status perkara dan status hukum para pihak terkait.
"Maka kemudian KPK melanjutkan proses penanganan perkara yang melibatkan para pihak dari swasta atau non-TNI/Militer, dan menyerahkan penanganan perkara yang melibatkan Oknum Militer/TNI kepada TNI untuk dilakukan koordinasi penanganan perkaranya lebih lanjut," ucapnya.
Serupa Firli, Alexander Marwata yang melakukan konferensi pers penetapa tersangka kasus suap Basarnas pada Rabu lalu pun menegaskan tanggung jawab ada di tangan pimpinan KPK.
"Saya tidak menyalahkan penyelidik atau penyidik, maupun jaksa KPK. Mereka sudah bekerja sesuai dengan kapasitas dan tugasnya. Jika dianggap sebagai kekhilafan, itu kekhilafan pimpinan," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (29/7).
Alex menyebut dalam gelar perkara tersebut dihadiri oleh penyelidik, penyidik, jaksa penuntut umum (JPU), pimpinan KPK, hingga penyidik dari Puspom TNI. Menurutnya, semua pihak yang hadir diberi kesempatan bicara.
Ia menegaskan tidak ada yang keberatan atau menolak penetapan tersangka dalam kasus suap pejabat Basarnas tersebut.
(mnf/kid)