Jakarta, CNN Indonesia --
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak uji formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker) yang diajukan berbagai sejumlah pemohon dari kelas pekerja hingga buruh.
MK menyampaikan putusan lima perkara UU Ciptaker dibaca secara maraton pada Senin (2/10), mulai dari Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023, 40/PUU-XXI/2023, 41/PUU-XXI/2023, 46/PUU-XXI/2023, hingga 50/PUU-XXI/2023.
Pada intinya, majelis hakim menyatakan menolak permohonan untuk seluruhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam putusan yang menolak gugatan UU Ciptaker itu terdapat empat hakim berpendapat berbeda (dissenting opinion) yakni Saldi Isra, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih.
Sementara itu, lima hakim yang unggul suara untuk menolak gugatan UU Ciptaker itu adalah Hakim Konstitusi Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P Foekh, Manahan MP Sitompul, dan Guntur Hamzah.
Sikap menolak yang diambil para hakim itu berbanding terbalik dengan sikap pada Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU 11/2020 tentang Ciptaker inkonstitusional bersyarat yang dibacakan pada November 2021 silam.
Dalam putusan itu MK menyatakan apabila tak direvisi pembuat undang-undang (pemerintah dan DPR) dalam tempo dua tahun setelah putusan, maka UU Ciptaker dinyatakan inkonstitusional.
Namun, alih-alih merevisi, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada 2022 silam mengeluarkan Perppu mengganti UU Ciptaker yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Perppu itu pun segera disahkan DPR menjadi UU 6/2023.
UU 6/2023 itulah yang kemudian digugat kembali oleh sejumlah buruh dan organisasi profesi pekerja ke MK baik lewat uji materi maupun uji formil. Dan, 'perlawanan' itu kandas di meja MK dengan komposisi lima hakim konstitusi sepakat menolak permohonan, dan empat lain dissenting opinion.
Elemen buruh pun menentang keras putusan MK pada awal Oktober 2023 itu. Salah satunya, Partai Buruh yang juga ikut menggugat UU 6/2023 ke MK.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal menduga perubahan formasi hakim MK menjadi faktor kalahnya para buruh pada permohonan kali ini.
 Massa aksi buruh melakukan unjuk rasa saat MK membacakan putusan atas gugatan terhadap UU Ciptaker, Senin (2/10). (CNN Indonesia/Adi Ibrahim) |
Putusan MK: UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat
Diketahui, sebelumnya, pada Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada 25 November 2021, terdapat 5 hakim yang menyatakan inkonstitusional bersyarat dan 4 hakim menyatakan memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Artinya, gugatan pemohon unggul suara di mahkamah.
Formasi hakim MK kala itu ada lima hakim yang menyatakan inkonstitusional bersyarat adalah Hakim Konstitusi Aswanto, Saldi Isra, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih.
Empat hakim yang dissenting opinion adalah Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan MP Sitompul, dan Daniel Yusmic P Foekh.
Aswanto kemudian tak ada dalam penangan permohonan uji materi dan uji formul UU6/2023 yang putusannya dibacakan pada Senin lalu. Dia telah ditarik sebagai hakim MK dari pilihan DPR, lalu diganti dengan Guntur Hamzah.
Dan, posisi dalam penanganan perkara UU Ciptaker pun berbalik pada Oktober ini. Dengan bantuan Guntur Hamzah, maka komposisi hakim konstitusi yang menolak gugatan Ciptaker jadi 5-4.
Said Iqbal menduga penggantian Aswanto secara paksa lewat mekanisme di DPR adalah permainan politik untuk meloloskan UU Ciptaker tetap berlaku. Hal itu tercermin dari posisi Guntur yang menolak gugatan pemohon, sehingga para pemohon kalah suara di komposisi hakim.
Oleh karena itu, Said akan melaporkan lima Hakim MK yang membuat buruh kalah itu ke Majelis Kehormatan MK (MKMK).
"Patut diduga, biarlah pengawas MK nanti yang memeriksa, ada konspirasi dimulai dengan penggantian Hakim Aswanto, bisa dilihat 5-4 yang memenangkan gugatan awal Nomor 91/2020 yang lalu, Sekarang bisa jadi 4-5. Dan 4 yang dissenting opinion (pada putusan kali ini) itu yang kemarin memenangkan Buruh. Begitu itu (formasi hakim MK) diubah, itu (perubahan putusan) terjadi," ujar Said saat ditemui di Gedung MKRI usai sidang putusan, Senin (2/10).
Baca halaman selanjutnya.
Merespons Said Iqbal, Ketua MK Anwar Usman mempersilakannya melaporkan lima hakim konstitusi terkait putusan uji formil UU Ciptaker.
"Begini, putusan hakim ya, itu jelas, bukan hanya yang mengenai Ciptaker. Semua putusan itu hampir menimbulkan pro dan kontra. Ada yang merasa puas, ada yang tidak merasa puas," jelas Anwar di Gedung MK, Jakarta, Selasa (3/10).
Anwar mengatakan rencana pelaporan tersebut merupakan hak semua warga negara. Ia memastikan putusan yang diketok hakim MK sudah sesuai prosedur.
"(Terkait akan dilaporkan) Itu kan hak semua warga negara, mau lapor mau apa, yang penting ya sesuai dengan prosedur," ujar Anwar.
Lebih lanjut, Anwar tidak banyak berkomentar terkait tudingan politis dalam putusan UU Ciptaker.
Dia hanya menegaskan Aswanto merupakan hakim yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Itu saya enggak bisa masuk ke wilayah itu. Itu DPR. Pak Aswanto kan dari DPR," kata dia.
Terpisah, Kepala Biro Hukum Administrasi dan Kepaniteraan (Kabiro HAK) MK Fajar Laksono enggan berkomentar mengenai tudingan politis dalam putusan UU Ciptaker terkait pergantian Aswanto.
"Itu pendapat dan penilaian masing-masing, tentu dengan argumen masing-masing. Silahkan aja," kata Fajar kepada CNNIndonesia.com, Selasa (3/10).
Pertimbangan MK atas Gugatan UU Ciptaker
Selain perkara formasi hakim, terdapat pertimbangan Mahkamah atas gugatan UU Ciptaker pada 2021 dan 2023 juga menjadi sorotan.
Pada Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada November 2021, majelis hakim MK menyatakan UU 11/2020 cacat formil dengan berbagai pertimbangan, salah satunya karena bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, oleh karena terhadap tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil," bunyi salah satu pertimbangan majelis hakim pada Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
[Gambas:Photo CNN]
Sementara, pada Oktober 2023 ini, pada Putusan Nomor 54/PUU-XXI/2023, salah satu dalil pemohon yang disampaikan majelis hakim adalah terkait Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU Nomor 6 Tahun 2023 telah ditetapkan presiden dengan melanggar prinsip ihwal kegentingan memaksa dan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait partisipasi bermakna (meaningful participation).
Majelis hakim menjelaskan Perppu yang merupakan hak prerogatif presiden sebagai bentuk extraordinary rules dalam menanggulangi keadaan kegentingan yang memaksa adalah bersifat sementara. Oleh karena itu, diperlukan proses review yang berujung pada persetujuan DPR untuk dapat berlaku definitif menjadi undang-undang atau ditolak.
Majelis juga menegaskan adanya Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 telah memberikan parameter terhadap kegentingan yang memaksa adalah dalam rangka memberikan tafsir konstitusional sebagai pedoman bagi Presiden dalam membuat perppu dan sekaligus juga sebagai pedoman DPR dalam mengawasi, menilai, dan memberikan persetujuan terhadap perppu sebelum disetujui menjadi undang-undang.
Artinya, kata Majelis hakim, ketika sebuah Perppu telah mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, maka sejatinya perppu tersebut secara substantif dan definitif telah menjadi undang-undang.
"Andaipun Mahkamah hendak menilai, quad non, proses terbitnya perppu a quo telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa karena UU 11/2020 telah diperbaiki dan diganti dengan Perppu 2/2022, hal tersebut sejalan dengan asas lex posterior derogat legi priori. Terlebih, membuat/revisi UU 11/2020 secara prosedur biasa memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan," demikian salah satu pertimbangan majelis hakim pada Putusan Nomor 54/PUU-XXI/2023.
Terdapat pula pertimbangan hakim mengenai meaningful participation.
Mahkamah di dalam putusannya mengatakan dalam proses pembentukan sebuah undang-undang (biasa), meaningful participation wajib dilakukan pada seluruh tahapan dari mulai pada tahapan pengajuan, pembahasan, dan persetujuan.
"Namun demikian, berbeda halnya dalam proses persetujuan RUU yang berasal dari perppu, pelaksanaan meaningful participation tidak relevan lagi. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang menyatakan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh presiden dengan melanggar Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait meaningful participation adalah tidak beralasan menurut hukum," bunyi pertimbangan majelis hakim pada Putusan Nomor 54/PUU-XXI/2023.