Kemunduran Demokrasi Bila Gubernur Jakarta Dipilih Presiden
Rancangan Undang-undang tentang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) yang resmi menjadi usul DPR mengatur jabatan gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan presiden dengan mempertimbangkan usul DPRD. Mekanisme ini jadi sorotan karena dianggap sebagai bentuk kemunduran demokrasi.
Keputusan RUU DKJ jadi usul inisiatif DPR ini diambil dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/12). Dari sembilan fraksi di DPR, hanya Fraksi PKS yang menolak RUU tersebut.
Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah 'Castro' menilai RUU DKJ menjadi salah satu fakta yang semakin menguatkan apa yang dinamakan autocratic legalism.
"Yakni upaya menyandera produk legislasi untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan tertentu," ujar Castro kepada CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Rabu (6/12).
Castro berpendapat penunjukan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden mudah dibaca publik sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan. Ia mencontohkan soal 'cawe-cawe' Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
"Itu tidak bisa dibantah. Cawe-cawe presiden terhadap anaknya, meskipun tidak secara langsung, menggambarkan bagaimana hasrat melanggengkan kekuasaannya. Kalau presiden seorang negarawan, harusnya dia menahan pencalonan anaknya setidaknya hingga kekuasaannya selesai," kata dia.
Castro yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman itu menyatakan RUU DKJ merupakan kemunduran demokrasi yang luar biasa. Ia pun menilai RUU DKJ tidak memenuhi syarat terbentuknya undang-undang karena bukan untuk kepentingan rakyat.
"Bagi kami orang hukum, RUU ini dibuat semata-mata berdasarkan kacamata politik, yang miskin argumentasi hukum. Bahkan model penunjukan ini bertentangan dengan konsep pemilihan sebagaimana diatur dalam rezim UU Pemerintahan Daerah," kata Castro.
"Ini kan kemunduran yang luar biasa. Demokrasi didesak mundur oleh kepentingan segelintir orang, kepentingan para oligarki," ucapnya.
Castro menambahkan publik harus secara masif mengkritik ketentuan yang dibuat seolah-olah untuk melanggengkan kekuasaan tersebut. Ia bahkan menyerukan pembangkangan sipil jika protes publik tak dihiraukan DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang.
"Terlebih jika kecurangan terus dipertontonkan oleh kekuasaan," tuturnya.
Selain itu, Direktur Eksekutif Algoritma sekaligus dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana berpendapat klausul itu mengingkari semangat desentralisasi yang diusung pada saat reformasi 1998.
"Sehingga dengan demikian ini mengingkari semangat reformasi, semangat pada waktu 98," kata Adit saat dihubungi, Rabu.
Adit menilai belakangan ini pemerintah pusat memang lebih menonjolkan konsep sentralisasi ketimbang desentralisasi dalam mengelola hubungan pusat dengan daerah.
Ia mengatakan bahkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada beberapa titik telah berwenang mengevaluasi peraturan daerah serta kebijakan terkait anggaran di daerah.
"Makanya tadi, saya bilang tadi ada framing yang sepertinya sudah dibahas pemerintah pusat untuk menarik kembali makna desentralisasi," ucap dia.
Lihat Juga : |
Adit mengaku pernah dilibatkan dalam suatu kajian di Kemendagri ihwal evaluasi pelaksanaan pilkada. Hasilnya, masyarakat tak masalah dengan pilkada langsung, meskipun ada kepala daerah yang terjerat korupsi.
"Tapi perspektif mereka (pemerintah) pilkada itu mau ditarik ke pusat. Jadi, dipilih oleh DPRD. Dikembalikan ke zaman orde baru, asimetris sekali," tandasnya.
(ryn/tsa)