"Ketika rumah sudah tidak bisa lagi menampung cerita, mereka turun ke jalan untuk menumpahkan air mata," kata Andi Malewa, pendiri Institut Musik Jalanan.
Pria asal Makassar itu merantau ke Jakarta. Demi bertahan hidup di ibu kota, Andi tak punya pilihan selain mengamen. Dia pun harus berhadapan dengan penguasa wilayah di sejumlah titik yang membatasi geraknya untuk mengais rezeki.
"Raja-raja kecil itu memang ada," kata Andi saat ditemui di kawasan Ancol, Jakarta Utara, 13 Desember 2023.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tantangan bukan hanya itu. Posisinya sebagai musisi jalanan itu kerap disetarakan dengan pengemis, gelandangan, bahkan orang dengan gangguan jiwa.
Bagi Andi, dikejar-kejar aparat bahkan sampai mengalami kekerasan seakan menjadi hal yang lumrah bagi pengamen.
"Saya cukup mau cari makan. Kok, saya dikejar-kejar seperti penjahat," kata Andi.
Menurutnya, para pengamen seharusnya mendapat perlindungan negara.
Pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara," mengamanatkan pemerintah agar melindungi dan memberdayakan masyarakatnya, termasuk pengamen, agar berkehidupan yang lebih layak.
Pengalaman pahit itu tidak membuatnya terpuruk. Dia justru bangkit dan melawan dengan caranya.
Andi kemudian mendirikan Institut Musik Jalanan (IMJ) sebagai wadah untuk melawan situasi yang tak berpihak pada musisi jalanan.
"Saya harus melawan, tapi dengan cara yang terhormat. Saya akan lawan bukan sebagai Andi Malewa yang pengamen tadi. Saya akan melawan sebagai Andi Malewa dengan cara yang intelektual. IMJ harus didirikan," ujarnya.
Dia menggagas institut tersebut pada 7 Juni 2014 bersama dua temannya, Iksan Skuter dan Fristo Gurning. Sejak itu, IMJ berkembang dan menjangkau banyak tempat di Indonesia.
IMJ diklaim mempunyai anggota berlisensi sekitar 1.020 orang per Oktober 2023. Lembaga ini juga mengurasi pengamen untuk mendapatkan lisensi.
Kurasi yang dimaksud adalah proses pemilihan pengamen yang dianggap memiliki potensi untuk 'naik kelas' dan nantinya bisa mengisi ruang publik.
Proses kurasi dimulai dengan observasi terhadap musisi jalanan yang aktif berkegiatan di sebuah kota. Selanjutnya, mereka akan dikurasi satu per satu secara tertutup oleh Andi Malewa dan kurator lain.
Setelah itu, mereka akan dihadapkan pada uji pentas sebagai proses terakhir. Berbeda dengan proses kurasi tertutup, nantinya pada tahap uji pentas mereka akan diperkenalkan ke masyarakat.
Jika terpilih, para musisi ini akan mendapat rompi khusus sebagai simbol bahwa mereka telah lolos seleksi.
Setelahnya, tim IMJ kembali ke Jakarta untuk memproses penerbitan lisensi yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lisensi ini berlaku sebagai izin bagi para pengamen untuk bisa tampil di ruang publik.
"Setelah dinyatakan lulus kurasi dan berhak untuk mendapatkan akses (tampil di ruang publik) sehingga legal, berkat rekomendasi itu mereka membawa itu ke pemerintah daerah, berkoordinasi, saya boleh mengakses ruang ini," kata Andi.
Jumat sore, suara instrumen terdengar sayup-sayup saat kaki mulai memasuki Stasiun MRT Bundaran HI, Jakarta Pusat.
Di lorong stasiun MRT tempat orang berlalu lalang, Lukman, Budi, Karel, dan Zabrik, sedang bersiap memainkan sebuah lagu. Mereka adalah musisi yang tergabung dalam IMJ.
Sebuah spanduk bertuliskan #PengamenNaikKelas berdiri di samping mereka. Jargon ini ditujukan bagi mereka yang bertransformasi dari pengamen jalanan di lampu merah.
Transformasi ini mengubah gaya mengamen mereka, dari meminta-minta di jalanan kini menempati ruang publik seperti stasiun MRT.
![]() |
Lukman mulai memainkan biola bersambut iringan piano dari Budi. Penampilan mereka berpadu dengan aksi Karel yang memainkan peran pantomim.
Instrumen yang dimainkan terasa memanjakan telinga. Penumpang MRT seperti diajak menyelami ungkapan hati para musisi lewat sebuah lagu.
Tidak jarang orang berhenti sejenak untuk menonton, berfoto, atau bahkan mengabadikan momen tersebut di akun media sosialnya.
Lukman berbagi cerita tentang masa lalunya. Si pemain biola ini dulunya adalah pengamen di lampu merah.
Turun ke jalan bukan pilihannya. Perekonomian keluarga yang buruk memaksanya putus sekolah di kelas 2 SMA lalu mengadu nasib di jalanan.
Lukman merasa kehidupan jalanan banyak memberi pengalaman dibandingkan uang.
Ia pernah ditangkap oleh Satpol PP dan dibawa ke panti sosial di Kedoya, Jakarta Barat. Lukman ditahan tiga bulan dan disatukan dengan ODGJ.
"Jadi saya itu dikasih tempat tidur bareng orang-orang ODGJ. Wah, itu ngerinya bukan main. Ada yang tiba-tiba malam-malam teriak marah-marah, ngerasain takutnya," ungkap Lukman.
Kadinsos DKI Jakarta Premi Lestari membenarkan bahwa pengamen termasuk kategori Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS). Mereka menjadi target untuk dibawa ke panti awal, di mana semua PPKS disatukan di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 1 dan 2.
"Ya, karena memang panti awal, panti penampungan awal itu semua. Semua karakter, semua jenis PPKS itu di panti awal," kata Premi kepada CNNIndonesia.com.
Hidup Lukman berubah ketika bergabung dengan IMJ pada 2019. Ia merasakan banyak perubahan drastis di sana.
Kini Lukman tidak lagi mengamen di lampu merah. Ia melakukan pertunjukan musik bersama musisi jalanan di ruang yang disediakan pemerintah, setelah diadvokasi oleh IMJ bersama Ditjen Kebudayaan Kemdikbud.
Baca halaman selanjutnya...