Pengacara Publik di LBH Jakarta Muhammad Fadhil Alfathan menilai sedari awal RUU DKJ minim partisipasi publik terutama masyarakat terdampak undang-undang, yakni warga Jakarta. LBH Jakarta sudah mewanti-wanti dari awal agar seluruh elemen masyarakat diikutsertakan.
Kini, berdasarkan draf yang beredar, LBH Jakarta kecewa sejumlah permasalahan yang mereka bawa dari aspirasi warga Jakarta tidak terakomodasi dalam rancangan calon beleid itu.
"Kita sulit bicara substansi ketika ruang partisipasinya tidak dibuka," kata Fadhil kepada CNNIndonesia.com, Rabu (7/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fadhil mengatakan LBH Jakarta bersama Koalisi Perjuangan Warga Jakarta (Kopaja) kembali membawa poin krusial untuk dibahas dalam RUU DKJ, namun menurutnya hampir seluruhnya tak dibahas.
Beberapa poin krusial yang seharusnya dibahas dan dicarikan jalan keluar lewat kebijakan teknis, lanjut Fadhil, adalah terkait buruknya kualitas udara Jakarta yang sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN), serta sulitnya akses air bersih di Jakarta akibat swastanisasi air.
Kemudian penanganan banjir Jakarta belum mengakar pada beberapa penyebab banjir, hingga ketidakseriusan DKI Jakarta dalam memperluas akses terhadap bantuan hukum.
Fadhil mengatakan proses pembentukan RUU DKJ mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020, yang menjamin hak warga untuk berpartisipasi secara bermakna alias meaningful participation dalam dalam tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Apabila nantinya disahkan, RUU DKJ menurutnya juga akan menambah daftar panjang praktik legislasi buruk selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Seperti revisi UU KPK yang merusak sistem akuntabilitas dan penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia, atau pengesahan RUU Minerba dan RUU Omnibus Law Cipta kerja yang melegitimasi kerusakan lingkungan, perampasan lahan, dan pelemahan perlindungan pekerja atau buruh.
"Jadi ini menerabas kaidah konstitusional mengenai proses pembentukan perundang-undangan," kata dia.
Terkait pasal kontroversial dalam RUU DKJ, Fadhil mengatakan proses diskusi belum bisa berjalan secara terang lantaran publik belum diberikan akses untuk mengetahui informasi terbuka atau draf RUU DKJ.
Namun demikian, LBH Jakarta telah menyoroti satu poin krusial yakni soal Pasal 10 ayat (2). Apabila pasal tersebut benar adanya, Fadhil menyebut hal tersebut telah memberangus demokrasi.
RUU DKJ menurutnya bakal memperparah kerusakan mendasar dalam sistem demokrasi di Indonesia, yakni mengenai posisi kedaulatan rakyat yang salah satunya mewujud dalam bentuk pemilihan langsung.
Pemilihan kepala daerah tidak langsung, menurut LBH Jakarta justru menyebabkan Indonesia mundur puluhan tahun lalu seperti di masa rezim otoritarian orde baru.
Padahal menurut Fadhil, sistem pemilihan tidak langsung di masa lalu telah terbukti gagal dan hanya menyisakan problem korupsi, ketimpangan, dan kesewenang-wenangan yang sedikit banyak masih dirasakan hingga kini.
Dengan lanskap politik yang nyaris tanpa oposisi dan cenderung dikuasai oleh segelintir golongan, alih-alih dipimpin oleh Kepala Daerah yang lahir dari proses politik yang demokratis.
LBH Jakarta bahkan menilai bukan tidak mungkin ke depan, prasyarat informal untuk menjadi Kepala Daerah di Jakarta adalah kedekatan dengan Presiden, baik secara politik maupun kekeluargaan.
"Utamanya soal peniadaan demokrasi langsung yang ini banyak problemnya. Untuk pasal lain kalau kami memang belum ada kajian secara khusus walaupun sudah ada beberapa kali konsolidasi ya," ujar Fadhil.
Lebih lanjut, Fadhil pun heran lantaran dengan tenggat waktu dua tahun, RUU DKJ yang dianggap terburu-buru sedari awal justru malah tidak segera dirampungkan. Ia menyebut ada kelalaian legislatif dan eksekutif. Temuan tersebut menurutnya bisa dibawa ke PTUN.
"Melalaikan kewajiban untuk menyelesaikan perubahan UU itu. Artinya mereka sudah lalai membentuk peraturan perundang-undangan untuk merevisi jadi RUU DKJ," lanjutnya.
Fadhil menduga ada tarik ulur kepentingan politik dalam perumusan RUU DKJ ini. Ia menilai RUU DKJ ini sarat akan kepentingan pihak tertentu baik terkait pasal penunjukan Gubernur atau soal keberlanjutan IKN di Kalimantan Timur itu.
Apabila berkaitan dengan hukum, RUU DKJ sudah 'cacat' dalam formil ditambah fakta kelalaian melebihi tenggat waktu. Namun apabila dilihat dari sisi politik, Fadhil menduga ada diskusi panjang soal beberapa pasal yang berpengaruh dalam RUU ini oleh sejumlah elite.
"Yang bisa dijelaskan secara politis saja, ada tarik ulur nih berati. Ada tarik menarik kepentingan untuk mendeterminasi RUU DKJ," ucapnya.
Di sisi lain, Fadhil meyakini RUU DKJ akan tetap gol dan diketok palu menjadi UU dalam waktu dekat. Baginya, naif rasanya apabila publik masih menyangkal RUU kebut-kebutan seperti sebelum-sebelumnya tidak akan lolos.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa RUU DKJ harus sudah disepakati sebelum Keppres soal pemindahan ke IKN resmi diterbitkan.
"Aturan main di Jakarta kelar dulu baru dipindahkan, dan jangan pindah kalau aturan di Jakarta belum jelas," ujar Fadhil.
Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional Adib Miftahul mewanti-wanti agar pemerintah dan DPR tidak gegabah menentukan kebijakan yang sembrono di tengah suhu panas masyarakat pasca Pemilu 2024.
Namun di sisi lain Adib juga masih berkeyakinan DKJ Jakarta nantinya akan tetap melaksanakan skema demokrasi dengan Pilgub. Menurutnya terlalu prematur apabila mengomentari nama-nama yang berpeluang menjadi Gubernur DKI karena dekat dengan Presiden.
"Saya masih melihat Pilgub DKI masih menjadi domain rakyat. Karena situasi semakin panas, dan pemerintah serta DPR tidak boleh main-main soal ini,"kata Adib kepada CNNIndonesia.com, Kamis (7/3).
Adib menilai Jakarta akan tetap menjadi daerah dengan sumber anggaran dan pendapatan yang tinggi sehingga akan dilirik beberapa tokoh beken yang ingin berkuasa. Pun biasanya apabila berhasil menjadi orang nomor satu di Jakarta akan memuluskan langkah dalam kontestasi Pilpres.
"Tentunya kekuasaan itulah yang membuat perebutan. Tapi kalau ditanya UU DKJ ini sarat kepentingan, pasti iya," kata dia.
Terpisah, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU DKJ dari pemerintah telah mengakomodasi; Gubernur Jakarta tetap dipilih oleh rakyat.
"Bahwa itu [Gubernur Jakarta] dipilih oleh rakyat. DIM-nya itu sudah dipilih oleh rakyat," kata Dasco di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (5/3).
Dasco mengatakan DPR telah menerima DIM RUU DKJ dari pemerintah ketika DPR sedang reses beberapa waktu lalu. Ia juga memastikan mekanisme penentuan Gubernur Jakarta dalam RUU DKJ nantinya akan tetap dipilih oleh rakyat.
"Tetap begitu, dipilih oleh rakyat," kata Dasco.