Bentuknya memang tak semegah masjid-masjid peninggalan Keraton Surakarta lainnya di Solo, Jawa Tengah. Namun di balik kesederhanaannya, Masjid Ki Ageng Henis atau Masjid Laweyan adalah salah satu monumen keberhasilan dakwah kultural dalam menyebarkan menyiarkan ajaran Islam di Solo sejak berabad-abad lalu.
Masjid Laweyan berdiri di tepi Kali Jenes, anak sungai Bengawan Solo, tepatnya di Kampung Belukan, Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Solo. Masjid yang berdiri setidaknya lebih dari 4,5 abad lalu itu terlihat lebih menonjol karena lokasinya yang lebih tinggi dibanding bangunan lain.
Humas Takmir Masjid Laweyan, Trian Widiananto mengatakan Masjid Laweyan didirikan leluhur Dinasti Mataram Islam, Ki Ageng Henis pada tahun 1546. Tanah dan bangunan Masjid Laweyan adalah sebuah pura yang diwakafkan Ki Ageng Beluk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Konon Ki Ageng Henis ini adalah utusan Kerajaan Demak untuk menjadi penasihat spiritual Sultan Hadiwijaya," kata Trian ditemui CNNIndonesia.com, Jumat (1/3).
Trian menceritakan kala itu sebagai utusan Demak, Ki Ageng Henis tinggal di daerah Laweyan. Seiring waktu berjalan, ia menjalin persahabatan dengan Ki Ageng Beluk, pemuka Agama Hindu kala itu yang juga tinggal di daerah Laweyan.
"Lama-kelamaan, Ki Ageng Beluk bersama pengikutnya masuk Islam. Akhirnya, [tanah] ini diserahkan ke Ki Ageng Henis untuk menjadi rumah ibadah," kata Trian.
![]() |
Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko menyebut kisah persahabatan antara Ki Ageng Henis dan Ki Ageng Beluk banyak dituturkan lewat teks-teks kuno seperti Babat Pajang, Babat Tanah Jawi, hingga Serat Centhini.
Ki Ageng Henis, kata dia, diyakini pula sebagai keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V.
"Dia adalah penasihat spiritual Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir dan ditempatkan di wilayah Laweyan itu. Artinya, dia termasuk dalam lingkaran elite kerajaan," kata Heri kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Saat itu Kali Jenes yang membelah daerah Laweyan sudah menjadi salah satu jalur perdagangan yang cukup ramai. Ada beberapa bandar yang berada di sepanjang Kali Jenes, salah satunya Bandar Kabanaran yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari Masjid Laweyan.
"Dalam buku-buku sejarah Laweyan, mereka adalah komunitas yang menganut kepercayaan Hindu. Pemuka agamanya bernama Ki Ageng Beluk," kata Heri.
Heri tak menampik kesuksesan Dakwah Ki Ageng Henis di daerah Laweyan juga tak lepas dari dukungan Keraton Pajang. Sebagai penasihat spiritual Sultan Pajang, ia memiliki legitimasi politik yang kokoh.
![]() |
Heri mengatakan Ki Ageng Henis hidup tak jauh dari masa-masa Wali Songo--yang dikenal sebagai penyebar Islam di tanah Jawa. Oleh karena itu, Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma itu meyakini Ki Ageng Henis banyak meniru metode dakwah Wali Songo yang mengedepankan pendekatan budaya.
"Jadi ada akulturasi. Pelan-pelan masuk di tengah masyarakat, tidak langsung merombak tata kehidupan yang sudah ada," kata Heri.
Salah satu bukti akulturasi antara budaya Jawa dan Islam terlihat dari bentuk Masjid Laweyan yang masih menyisakan ciri rumah ibadah Hindu.
Secara garis besar, Masjid Laweyan menjadi empat bagian, bangunan utama dan tiga serambi di depan, kanan, dan kiri. Total terdapat dua belas soko guru atau tiang penyangga di masjid tersebut.
Bentuk bangunan Masjid Laweyan tak jauh beda dari masjid-masjid tradisional Jawa yang menyerupai pura. Atap bangunan utama berbentuk tajuk bersusun, dan tiga serambinya menggunakan atap limasan.
Terdapat tiga pintu untuk menuju serambi depan. Humas Takmir Masjid Laweyan, Trian Widiananto mengatakan tiga pintu tersebut melambangkan tiga kunci agama yang paripurna,
"Tiga pintu itu artinya Iman, Islam, dan Ihsan," kata Trian.
Baca halaman selanjutnya