Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat sejumlah poin bermasalah dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang kini tengah dibahas di Komisi III DPR.
YLBHI bersama sejumlah koalisi masyarakat sipil hadir dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Komisi III DPR dan menyerahkan rumusan mereka terkait RKUHAP, Senin (21/7). Mereka turut menyerahkan naskah tandingan revisi tersebut.
"Bahwa hari ini kami juga menambahkan, selain PPT ini, ini contoh keseriusan kami. Kami melampirkan juga ringkasan rekomendasi pasal bermasalah dan juga tabel ini," kata Isnur di akhir rapat," kata Ketua YLBHI, Muhammad Isnur dalam rapat.
Menurut YLBHI, total ada 25 pasal bermasalah dalam RKUHAP yang terbagi dalam lima klaster. CNNIndonesia.com merangkum lima klaster tersebut.
YLBHI menyoroti sejumlah pasal yang berpotensi membuka ruang tindakan sewenang-wenang berupa kekerasan dalam revisi KUHAP yang tertuang dalam Pasal 85. Kemudian, ada pula Pasal 90 soal masa penangkapan tersangka yang dinilai terlalu panjang hingga 7 hari.
"Selama ini masa penangkapan yang terlalu panjang khususnya dalam kasus narkotika banyak menimbulkan penyalahgunaan (penyiksaan, kekerasan) yang bahkan sering berakibat sampai seseorang meninggal dunia," demikian catatan YLBHI.
Selain itu, ada beberapa pasal lain, misalnya terkait alasan penahanan yang dinilai terlalu subjektif di Pasal 93 huruf b dan d. Dan izin penahanan dari pengadilan yang dihapus dalam draf RUU masih di pasal yang sama.
Kemudian, YLBHI juga menyoroti Pasal 7 dan 22 terkait pengakuan bersalah. Menurut dia, RKUHAP belum mengatur check and balances terkait pengakuan bersalah yang berpotensi disalahgunakan.
"Perlu ada standar jaminan check and balances sebagaimana yang sudah diatur dalam bab penuntutan. Minimnya sistem kontrol dalam prosedur untuk mendapatkan pengakuan bersalah khususnya pada tahap penyidikan ini selain akan membuka ruang transaksional dan perilaku koruptif, juga rentan terjadi tekanan/kekerasan terhadap tersangka untuk dipaksa mengaku bersalah".
YLBHI menyoroti sejumlah pasal dalam RKUHAP terkait check and balances atau mekanisme pengawasan terhadap kerja aparat. YLBHI menilai sejumlah pasal dalam RKUHAP terkait hal itu masih perlu diperbaiki.
Beberapa di antaranya mulai dari Pasal 124 terkait penyadapan dan Pasal 106 dan 132 terkait penggeledahan dan pemblokiran tanpa izin. Sisanya, ada pula sejumlah ketentuan yang belum diatur seperti terkait objek pemblokiran hingga pengambilan sampel biologis untuk bukti.
Khusus penyadapan, setelah dibuang dari naskah terbaru, YLBHI meminta agar penyadapan tetap diatur. Menurut mereka, penyadapan tetap diperlukan untuk operasi intelijen dan pengamatan.
"Namun standar pengaturan mengenai penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum harus diatur dalam KUHAP," katanya.