Di sisi lain, Castro tak memungkiri polemik putusan tersebut bisa saja berdampak pada revisi UU MK yang saat ini tinggal menunggu pengesahan di rapat paripurna.
Meskipun sebelumnya Wakil Ketua DPR Adies Kadir mengatakan pihaknya tak akan merevisi UU MK menyusul putusan pemisahan pemilu. Adies berkata demikian dengan dalih UU MK telah direvisi pada periode DPR sebelumnya.
Lihat Juga : |
"Kalau kemudian ada upaya menggulirkan kembali perubahan Undang-Undang MK motifnya jelas, itu adalah motif untuk mengkooptasi kembali MK karena dianggap tidak sejalan dengan DPR, terutama terhadap keputusan-keputusan MK yang dianggap membatalkan undang-undang yang dibuat oleh DPR dan pemerintah," kata Castro.
Castro menyebut hal semacam ini juga bukanlah hal baru. Bahkan, di tahun 2022 lalu DPR juga pernah mengambil langkah mencopot Aswanto dari hakim konstitusi.
Diketahui, pencopotan itu buntut kekecewaan DPR lantaran banyak usulan undang-undang yang diajukan justru turut dianulir Aswanto sebagai hakim konstitusi. Tak hanya itu, Aswanto juga dianggap tidak menjalankan komitmennya sebagai hakim yang ditunjuk DPR
"Kalau kemudian dianggap situasi ini akan memunculkan gonjang-ganjing dan upaya mengkooptasi kembali MK, saya kira ini sudah menjadi kebiasaan kan dan bukan kali pertama DPR melakukan itu," ujarnya.
Senada, Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro juga berpendapat polemik putusan tersebut bakal berdampak pada proses revisi UU MK di DPR. Termasuk, mengulang kasus pencopotan hakim Aswanto oleh DPR.
"Tapi ini lebih jauh untuk mengevaluasi secara total undang-undang itu Jadi bukan hanya satu hakim saja, bisa jadi sebagian besar hakim nanti," kata Agung.
Atas dasar itu, menurut Agung, DPR dan MK harus duduk bersama untuk membahas tindak lanjut atas putusan pemisahan pemilu tersebut.
"Antara DPR dan MK perlu duduk bersama untuk memastikan ada konsensus, karena kita tahu keputusan MK ini final dan mengikat," katanya.