9 Catatan Kritis Koalisi Masyarakat Sipil: RKUHAP Ancam Kerja KPK

CNN Indonesia
Kamis, 24 Jul 2025 07:19 WIB
Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan RKUHAP saat ini memberikan kekhawatiran serius terhadap potensi pelemahan kerja-kerja pemberantasan korupsi KPK.
Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan RKUHAP saat ini memberikan kekhawatiran serius terhadap potensi pelemahan kerja-kerja pemberantasan korupsi KPK. istockphoto/LumiNola
Jakarta, CNN Indonesia --

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengungkapkan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang saat ini sedang dibahas DPR memberikan kekhawatiran serius terhadap potensi pelemahan kerja-kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Koalisi ini terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII), Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (SAKSI), Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas (PUSaKO), Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT), dan Indonesia Memanggil (IM57+) Institute.

"Pasal 329 dan Pasal 330 yang menjadi ketentuan peralihan dari UU yang saat ini berlaku dengan RKUHAP menimbulkan pertentangan satu sama lain. Jika berkaca dari asas lex specialis derogat legi generali, maka sesungguhnya UU KPK, UU Tipikor, dan UU Pengadilan Tipikor yang seharusnya digunakan. Namun, jika dibaca secara verbatim, Pasal 329 dan Pasal 330 justru menyatakan bahwa yang digunakan adalah RKUHAP yang baru," ujar Peneliti ICW Wana Alamsyah melalui keterangan pers, Rabu (23/7).

Koalisi mencatat setidaknya sembilan permasalahan serius RKUHAP pada aspek tindak pidana korupsi (tipikor).

Pertama mengenai pertentangan norma peralihan Pasal 329 dan Pasal 330 RKUHAP yang mengedepankan asas lex posterior derogat legi priori, bertentangan dengan prinsip kekhususan dalam UU KPK dan UU Tipikor (lex specialis). Menurut koalisi, hal itu berpotensi menyingkirkan ketentuan acara pidana khusus dalam pemberantasan korupsi.

Kedua menyoal penyelesaian perkara oleh KPK. Pasal 327 disebut membatasi KPK hanya menggunakan KUHAP lama (UU 8/1981) dalam menyelesaikan perkara yang sedang berjalan. Dengan kata lain mengabaikan hukum acara khusus yang dimiliki KPK.

Ketiga definisi penyelidikan dalam Pasal 1 angka 8 RKUHAP tidak mencerminkan standar KPK yang mewajibkan bukti permulaan cukup sejak tahap penyelidikan, sehingga berisiko menghambat efektivitas kerja awal KPK.

Keempat, koalisi juga menyoroti pembatasan upaya paksa dan koordinasi yang birokratis. Upaya paksa dalam RKUHAP hanya bisa dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa, tidak menjangkau saksi atau pihak lain yang krusial dalam kasus korupsi. Selain itu, kewajiban koordinasi dengan Polri dalam berbagai tahapan mengancam independensi kerja KPK.

Poin kelima terkait dengan mekanisme penyadapan RKUHAP yang mengatur penyadapan hanya di tingkat penyidikan sehingga berpotensi menghambat Operasi Tangkap Tangan (OTT). Dalam aturan yang saat ini berlaku, penyadapan sudah bisa dilakukan KPK di tahap penyelidikan.

Keenam mengenai potensi penundaan penanganan perkara melalui Praperadilan. Pasal 154 menyebutkan sidang pokok perkara tidak bisa diperiksa sebelum proses Praperadilan selesai.

"Ini berpotensi dijadikan taktik penundaan oleh tersangka korupsi," kata Wana.

Selanjutnya, ketujuh, koalisi menyinggung kewenangan dalam menangani perkara koneksitas yang tidak jelas. Wana menyatakan RKUHAP belum mengakomodasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 87/PUU-XXI/2023 yang menegaskan kewenangan lembaga antirasuah untuk menangani kasus korupsi dengan pelaku militer. RKUHAP disebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam perkara koneksitas.

Poin kedelapan adalah perihal perlindungan saksi dan korban yang hanya mengakui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai pelaksana. Ketentuan dalam RKUHAP ini dinilai mengabaikan kewenangan KPK sebagaimana diatur dalam UU KPK dan berpotensi menimbulkan hambatan birokrasi.

Terakhir, kesembilan, adalah kewenangan penyidikan dan penuntutan yang terancam. Pasal 8 ayat (3) RKUHAP mewajibkan penyerahan berkas perkara melalui penyidik Polri, tanpa pengecualian bagi KPK.

"Ini berpotensi mengganggu independensi, membuka celah intervensi dan melemahkan kerja cepat KPK," ungkap Wana.

(ryn/gil)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER