Angka pendapatan bersih anggota DPR dalam setiap bulan menuai sorotan di tengah sejumlah kontroversi kinerja mereka dalam beberapa tahun terakhir.
Meski isu kenaikan gaji dan tunjangan itu telah dibantah, sejumlah pihak tetap menyoroti pendapatan anggota DPR yang mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan.
Di luar gaji pokok, DPR tercatat menerima tak kurang dari 15 sumber penghasilan lain dalam bentuk tunjangan hingga fasilitas. Mulai dari tunjangan kehormatan, jabatan, kendaraan, istri, anak, beras, pulsa, komunikasi, asisten pribadi, hingga dana aspirasi maupun reses.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
DPR periode baru 2024-2029 juga mendapat tambahan tunjangan sebesar Rp50 juta sebagai pengganti fasilitas rumah dinas yang ditiadakan.
Lihat Juga : |
Pendapatan anggota DPR yang menjulang ini tak diiringi dengan kinerja yang memuaskan. DPR dianggap tak memiliki empati terhadap ekonomi masyarakat yang bahkan sulit memiliki rumah hingga mencari pekerjaan.
"Uang dengan jumlah yang sangat lebih dari cukup itu seharusnya menghapus semua hambatan bagi anggota DPR untuk bekerja maksimal," ungkap Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, Rabu (20/8).
"Sayangnya kenaikan tunjangan itu bukan untuk mendongkrak kinerja. Tunjangan yang terus bertambah ternyata memanjakan anggota DPR," imbuhnya.
CNNIndonesia.com merangkum sejumlah kinerja DPR yang menuai sorotan dan kritik keras dari publik dalam setahun terakhir.
Jika rentan waktunya diperpanjang, jumlahnya bisa lebih banyak, misalnya soal revisi UU KPK hingga RKUHP pada 2019-2020.
Formappi memberikan rapor merah terhadap kinerja legislasi DPR selama periode masa sidang 2019-2024. Dalam satu periode itu, Formappi mencatat DPR hanya mengesah 27 RUU dari 263 RUU yang masuk prolegnas lima tahunan.
Dengan jumlah itu, persentasenya hanya setara dengan 10,26 persen. Beberapa RUU yang dinilai urgen hingga kini masih mandek, mulai dari RUU Masyarakat Adat, RUU PPRT, hingga RUU Perampasan Aset.
Sebaliknya, sejumlah RUU yang dinilai mendesak, terus dikebut DPR, seperti RUU TNI, RUU IKN, hingga Peraturan DPR soal evaluasi hakim Mahkamah Konsitusi.
Di akhir periode 2019-2024, DPR sempat melakukan manuver untuk membatalkan putusan MK yang mengubah syarat ambang batas pencalonan kepala daerah.
Kala itu, pada Agustus 2024, MK mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang memperbolehkan partai politik tanpa kursi di DPRD untuk mengusung calon kepala daerah. Sehari setelahnya, Baleg DPR menggelar rapat Panja RUU Pilkada secara maraton yang disebut untuk menganulir putusan MK.
Publik pun bereaksi keras dengan turun ke jalan lewat tagar #KawalPutusanMK, hingga hasil keputusan di Baleg itu dicabut alias dibatalkan.