Pada pertengahan Maret 2025, publik juga melayangkan kritik keras terhadap proses pembahasan RUU TNI yang dinilai buru-buru dan tertutup. Kolisi sipil terutama mengkritik karena rapat itu digelar di hotel mewah, Fairmont, Jakarta.
Rapat bahkan berlangsung maraton hingga malam sehingga para anggota dewan harus menginap di hotel tersebut. Koalisi sipil pun menggruduk lokasi rapat, dan sempat diamankan.
Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar mengklaim rapat di hotel bintang lima untuk membahas RUU TNI itu sudah sesuai aturan karena rapat sangat mendesak. Ia merujuk pada aturan Tata Tertib DPR Pasal 254 yang mengatur kegiatan rapat yang sangat mendesak diperbolehkan dilakukan di luar Gedung DPR.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita bicara aturan dulu gitu ya, aturan berkaitan dengan rapat-rapat dengan urgensitas tinggi itu dimungkinkan untuk tidak di gedung DPR," jelasnya kepada wartawan, Sabtu (15/3).
Pada Mei 2024, publik juga mengkritik proses pembahasan RUU Kementerian Negara yang dinilai untuk mengakomodasi kepentingan calon penguasa baru, berdasarkan hasil Pilpres 2024 yang memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.
RUU Kementerian Negara disahkan kurang dari dua minggu sejak menjadi usul inisiatif DPR pada 15 Mei. Beberapa poin atau substansi RUU juga menuai sorotan, karena tak membatasi Presiden untuk menetapkan jumlah kementerian dari semula dibatasi hanya 38.
Kemudian, pada awal Februari 2024, DPR juga kembali melakukan manuver dengan menambah kewenangan mereka untuk mengevaluasi pejabat eksekutif mauapun yudikatif usulan DPR.
Kewenangan itu dilakukan lewat revisi Tatib DPR Pasal 228A, yang berbunyi, "DPR melakukan evaluasi terhadap pejabat negara yang dipilih melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) oleh DPR secara berkala, paling sedikit satu kali dalam lima tahun masa jabatan. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud bersifat mengikat dan disampaikan kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan".
Subsanti pasal itu dikritik karena Tatib DPR mestinya berlaku internal, bukan untuk lembaga eksekutif atau yudikatif yang menjadi kewenangan Presiden.
Langkah itu dilakukan menyusul sejumlah keputusan MK yang dianggap melangkahi kewenangan DPR, salah satunya putusan soal ambang batas pencalonan kepala daerah. Pembahasan revisi itu juga dilakukan secara kilat hanya dalam sehari.