Koalisi Jurnalis Bali mendesak Kepolisian Daerah Bali menindaklanjuti laporan wartawan detikBali, Fabiola Dianira, yang menjadi korban intimidasi dan kekerasan diduga dilakukan aparat kepolisian saat meliput unjuk rasa di Lapangan Renon, Kota Denpasar, Sabtu (30/8) lalu.
"Kami berharap agar polisi walau melakukan pemeriksaan terhadap sesama polisi tetap objektif melihat setiap fakta," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI-LBH Bali Ignatius Rhadite di Denpasar, Minggu (7/9).
Koalisi Jurnalis Bali merupakan gerakan solidaritas mendukung jurnalis yang menjadi korban tindakan intimidasi dan kekerasan oleh aparat kepolisian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koalisi ini kumpulan organisasi profesi jurnalis dan organisasi masyarakat sipil yang terdiri atas YLBHI-LBH Bali, AJI Kota Denpasar, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali, Ikatan Wartawan Online (IWO) Bali, Ukhuwah Jurnalis Bali (UJB), dan PENA NTT.
"Pelaku dalam peristiwa ini turut mendapatkan pertanggungjawabannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak terjadi impunitas. Artinya, pelaku ini tidak dibiarkan lepas begitu saja, namun mendorong agar diberikan sanksi yang berat," katanya.
Proses pelaporan kasus intimidasi dan kekerasan ini cukup alot karena Koalisi Jurnalis dan Fabiola Dianira selaku korban ingin kasus intimidasi dan kekerasan ini diproses menggunakan Undang-Undang Pers.
Tim kuasa hukum Fabiola Dianira dan teman-teman jurnalis yang mendampingi bolak balik dari SPKT ke Ditreskrimus Polda Bali untuk mendesak kasus ini bisa dijerat dengan UU Pers.
Laporan akhirnya diterima Polda Bali setelah memakan waktu hampir 12 jam, yakni mulai pukul 15.00 WITA sampai 02.14 WITA dengan nomor Laporan Polisi Nomor LP/B/636/IX/2025/SPKT/POLDA BALI tanggal 6 September 2025 dan Nomor LP/B/637/IX/2025/SPKT/POLDA BALI tanggal 7 September 2025.
Adapun pasal yang dilaporkan adalah Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP dan Pasal 4 ayat (2) dan/atau ayat (3) jo. Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 10 ayat (1) huruf d dan f; Pasal 12 huruf e dan g; dan Pasal 13 huruf m Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.
"Dalam hal ini melaporkan dugaan tindak pidana menghalang-halangi dan melakukan kekerasan terhadap aktivitas jurnalistik, pemaksaan dengan ancaman kekerasan atau kekerasan, serta sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses perangkat milik jurnalis serta pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh tiga orang personel Polri yang belum diketahui identitasnya," kata Rhadite.
Rhadite menegaskan kasus ini penting diselesaikan secara hukum untuk memutus mata rantai kekerasan yang dilakukan polisi kepada jurnalis.
Rhadite berharap seluruh jurnalis yang turut menjadi korban tindak intimidasi dan kekerasan aparat kepolisian untuk melaporkan kasus ini.
Menurutnya, kasus ini perlu dilaporkan ke Polda Bali karena tindakan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis merupakan bentuk pelanggaran serius baik terhadap demokrasi dan kerja-kerja jurnalistik yang telah dilindungi oleh UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
"Jadi, laporan ini menjadi upaya untuk menciptakan preseden. Kalau kita biarkan ke depan akan sangat mungkin terjadi kekerasan-kekerasan kepada kawan-kawan jurnalis," katanya.
Rhadite melampirkan sejumlah bukti tindakan intimidasi dan kekerasan polisi, yakni kartu pers Fabiola Dianira, surat tugas peliputan dan dua orang saksi.
Tim kuasa hukum juga melampirkan petunjuk berupa titik lokasi rekaman CCTV yang dapat menunjukkan peristiwa tindakan intimidasi dan kekerasan polisi.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Bali Komisaris Besar Polisi Ariasandy saat dikonfirmasi membenarkan laporan tersebut sudah masuk di Polda Bali.
Aryasandi mengatakan penyidik akan memproses laporan tersebut. "Laporan diterima dan akan ditindaklanjuti," kata mantan Kabid Humas Polda NTT itu.
Sementara itu, Kordiv Gender dan Kemitraan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar Ni Kadek Novi Febriani mengapresiasi keberanian Fabiola Dianira melaporkan tindakan intimidasi dan kekerasan yang diduga dilakukan anggota Polri.
Fabiola Dianira adalah bukti jurnalis perempuan pemberani melawan segala bentuk intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis.
Febri mengatakan kebebasan pers adalah kunci sebuah negara demokratis yang tidak dapat ditawar. Hal yang dialami Fabiola Dianira menambah daftar panjang kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia.
Padahal, dalam kondisi politik sosial yang bergejolak, justru publik membutuhkan berita yang akurat, independen dan bisa dipercaya.
Dia menilai aparat kepolisian seharusnya bisa menjamin kebebasan pers. Kekerasan dan intimidasi tidak bisa dibiarkan begitu saja karena kerja-kerja jurnalistik dilindungi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Pada Pasal 8 Undang-Undang Pers disebutkan dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum. Maka adanya tindakan kekerasan dialami oleh jurnalis saat meliput aksi 30 Agustus adalah pelanggaran hukum dan demokrasi," katanya.
Febri berharap tidak ada lagi jurnalis yang mengalami kekerasan dan intimidasi. Selain itu, AJI Kota Denpasar dengan tegas mengecam segala kekerasan dan intimidasi yang dialami jurnalis saat meliput aksi pada 30 Agustus lalu.
Kemudian, menuntut Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Bali mengusut dan menghukum aparat yang mengintimidasi jurnalis.
"Kami meminta polisi secara profesional mengungkap kasus kekerasan, juga menjamin kebebasan pers," tandasnya.
Fabiola Dianira adalah salah satu jurnalis yang jadi korban kekerasan polisi saat meliput aksi unjuk rasa di Lapangan Renon, Kota Denpasar, Sabtu (30/8). Salah satu hal yang disoroti massa aksi terkait kenaikan tunjangan DPR dan tewasnya pengendara ojol Affan Kurniawan.
Fabiola Dianira diintimidasi karena hendak merekam sejumlah tindakan dugaan kekerasan aparat saat membubarkan massa aksi, yaitu massa ditendang, dipukuli dan diborgol.
Walau sudah menyatakan sebagai jurnalis, sekitar 3-4 orang polisi berpakaian serba hitam mengintimidasi dengan melarangnya mengambil foto.
Tak hanya itu, kedua tangan Fabiola Dianira dicengkeram dua orang anggota polisi. Salah satu di antara mereka selanjutnya merampas dan memaksa membuka ponselnya memastikan tidak ada dokumentasi kebrutalan pembubaran massa.
Akibat dari kejadian itu, Fabiola Dianira mengalami depresi hingga terpaksa menjalani pemulihan psikologis.
(kdf/gil)