Kontroversi RKUHAP, Perbandingan Pembuat UU & Protes Koalisi Sipil

CNN Indonesia
Selasa, 18 Nov 2025 08:07 WIB
CNNIndonesia.com merangkum sejumlah persoalan yang disorot dan dikritisi koalisi sipil, dan pembahasan pasal krusial dalam RKUHAP di Komisi III DPR.
Ilustrasi. Ada sejumlah persoalan yang disorot dan dikritisi koalisi sipil, dan pembahasan pasal krusial dalam RKUHAP di Komisi III DPR. (iStock/artisteer)

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pembaruan KUHAP menganggap pembahasan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) cacat formil dan materiil.

Oleh karena itu, dalam konferensi pers bersama akhir pekan lalu, koalisi meminta Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI menunda proses pembahasan aturan tersebut.

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pembaruan KUHAP meminta pemerintah mendengar dan mempertimbangkan aspirasi mereka terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana mengatakan ada beberapa catatan terkait RUU KUHAP, termasuk hak tersangka, korban, dan saksi.

"Masukan publik tidak boleh diabaikan begitu saja atau hanya kemudian dijadikan etalase sekedar didengar, tapi kemudian tidak pernah dipertimbangkan atau diakomodir," kata Arif dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (16/11).

"Masukan-masukan itu penting dan berharga, dan menjadi kebutuhan riil dari masyarakat sipil, dari masyarakat yang selama ini menjadi korban," tambahnya.

Koalisi ini mengeluarkan somasi terbuka kepada Presiden, DPR, Kementerian Hukum, dan Kementerian Sekretariat Negara.

Keberatan koalisi sipil

Pertama adalah klaim yang disampaikan pembuat undang-undang telah membahas masukan pasal yang diklaim berasal dari masukan koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan YLBHI dkk.

Namun, faktanya, mereka mengklaim sejumlah masukan yang dibacakan dalam rapat panja ini disebut berbeda dengan masukan yang diberikan koalisi sipil.

Selain itu, koalisi juga menyoroti pembahasan RUU KUHAP yang sangat singkat dan tidak substansial. Pembahasan terbaru disebut tidak menunjukkan perubahan dibandingkan dengan draf pada Juli 2025.

"Pembahasan kemarin memang tidak ada perubahan signifikan dari yang kita suarakan di bulan Juli lalu. Kemudian kita melihat apa yang berlaku di dua hari itu sebetulnya itu tidak menjawab masalah-masalah kami, yang paling utama sebetulnya soal penangkapan dan penahanan," tutur Peneliti ICJR Iftitah Sari dalam konferensi pers, Minggu (16/11).

Penangkapan dan Penahanan

Iftitah lantas mencontohkan bagaimana penangkapan dan penahanan dilakukan serampangan pada sejumlah orang dalam rangkaian demo Agustus lalu.

Koalisi berharap UU KUHAP yang baru nantinya bisa menjadi kontrol terhadap hal semacam ini.

Koalisi juga menyoroti kerentanan masyarakat untuk ditangkap, digeledah, dan disadap tanpa izin hakim.

Selain itu, Isnur mengatakan ada ancaman bagi setiap orang yang bisa ditangkap dan ditahan di tahap penyelidikan (Pasal 5).

Jika dibandingkan dengan Pasal 5 KUHAP yang saat ini berlaku, tindakan pada tahap penyelidikan sangat terbatas, tidak sama sekali diperbolehkan untuk melakukan penahanan.

Namun, dalam Pasal 5 RUU KUHAP, pada tahap penyelidikan dapat dilakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan bahkan penahanan.

"Padahal pada tahap ini tindak pidana belum terkonfirmasi," tutur Ketua Umum YLBHI Muhamad Isnur dalam keterangan pers pada akhir pekan lalu.

Undercover buy and controlled delivery

Lebih lanjut, koalisi juga menyoroti beberapa poin lain seperti operasi undercover buy (pembelian terselubung) and controlled delivery (pengiriman di bawah pengawasan) yang sebelumnya menjadi kewenangan penyidikan dan hanya untuk tindak pidana khusus, yakni narkotika.

Dalam RUU KUHAP kewenangan ini masuk ke dalam metode penyelidikan dan bisa diterapkan untuk semua jenis tindak pidana, tidak punya batasan dan tidak diawasi hakim.

Kewenangan tersebut menjadi metode penyelidikan (menciptakan tindak pidana), dan bisa diterapkan untuk semua jenis tindak pidana, tidak mempunyai batasan dan tidak diawasi hakim (Pasal 16).

Isnur mengatakan kewenangan luas tanpa pengawasan ini dinilai berpotensi membuka peluang penjebakan oleh aparat penegak hukum untuk menciptakan tindak pidana dan merekayasa siapa pelakunya.

Risiko bantuan hukum dibatasi, polisi di atas segalanya

Dalam konferensi pers, koalisi juga melihat semua penyidik PNS dan penyidik khusus diletakkan di bawah koordinasi polisi sehingga menjadikan, "Polri lembaga superpower dengan kontrol yang sangat besar (Pasal 7 dan Pasal 8)".

"Padahal selama ini mestinya polisi yang harus diawasi. Kepolisian masih memiliki banyak catatan masalah maladministrasi namun juga penyalahgunaan kewenangan," imbuhnya.

Selain itu, koalisi sipil juga menilai pasal-pasal yang menyangkut pemenuhan bantuan hukum dipengaruhi ancaman pidana.

"Padahal seharusnya bantuan hukum merupakan hak yang tidak melihat latar belakang kasus maupun ancaman hukuman," kata mereka.

"Selain itu rumusan pasal-pasal bantuan hukum terlihat ambigu yang menciptakan ketidakpastian hukum karena disatu sisi bantuan hukum diberikan karena merupakan kewajiban tapi di sisi lain bantuan hukum dapat ditolak atau dilepaskan," imbuhnya.

Check and balance restorative justice

Isnur mengataka pihaknya juga menilai RUU KUHAP gagal menjamin sistem check and balance oleh pengadilan dalam mekanisme keadilan restoratif (Restorative Justice/RJ).

Hal itu dikarenakan penetapan hakim untuk penghentian penyidikan hanya akan dianggap stempel, tanpa memandatkan kepada hakim untuk melakukan pemeriksaan secara substansial (judicial scrutiny) dan memberikan opsi menolak untuk menetapkan kesepakatan RJ yang tidak sesuai ketentuan, termasuk jika ada indikasi pemaksaan, pemerasan, atau penyalahgunaan lainnya oleh aparat. (Pasal 78, 79).

Penyandang disabilitas

Isnur menyatakan Pasal-pasal dalam RKUHAP masih bersifat ableistik karena tidak mewajibkan penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, sehingga proses hukum berpotensi berjalan secara tidak setara dan diskriminatif.

Lebih jauh, Pasal 137A dianggap membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual, dan secara implisit menempatkan keduanya sebagai pihak tanpa kapasitas hukum.

Pasal tersebut dinilai berpotensi melegitimasi perampasan kemerdekaan dan pengurungan sewenang-wenang (arbitrary detention), karena penjatuhan sanksi tidak diposisikan sebagai putusan pidana sehingga tidak memiliki standar jelas terkait batas waktu, mekanisme pengawasan, maupun penghentian tindakan.

"Situasi tersebut membuka ruang praktik koersif dengan dalih penegakan hukum," katanya.

14 Pasal Krusial dalam RKUHAP versi DPR

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER