Kontroversi RKUHAP, Perbandingan Pembuat UU & Protes Koalisi Sipil

CNN Indonesia
Selasa, 18 Nov 2025 08:07 WIB
CNNIndonesia.com merangkum sejumlah persoalan yang disorot dan dikritisi koalisi sipil, dan pembahasan pasal krusial dalam RKUHAP di Komisi III DPR.
Ilustrasi. Ada sejumlah persoalan yang disorot dan dikritisi koalisi sipil, dan pembahasan pasal krusial dalam RKUHAP di Komisi III DPR. ((Istockphoto/simpson33)

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman mengungkap 14 substansi perubahan dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang telah disahkan di tingkat satu pada Kamis (13/11).

Dalam rapat yang turut dihadiri wakil pemerintah itu, sebanyak delapan atau seluruh fraksi di Panja RKUHAP menyepakati RKUHAP segera dibawa ke Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.

Sebagian fraksi kompak menilai RKUHAP harus segera diperbarui karena sudah berusia 44 tahun sejak kali pertama disahkan pada 1981 era Presiden Soeharto.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Habib mengatakan RKUHAP yang telah disetujui berpeluang akan disahkan pada paripurna pekan ini.

Enam bulan masa pembahasan

Dalam jumpa pers pekan lalu, Habib mengungkap terhitung enam bulan pembahasan RUU itu dilakukan. RKUHAP mengatur sejumlah perubahan terkait tantangan pada sistem peradilan, terutama meliputi transparansi, akuntabilitas, dan hak para korban atau terdakwa.

"Oleh karena itu setiap pasal dalam RUU ini tentu harus merespons kebutuhan tersebut dengan bijaksana dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia," katanya.

Berikut daftar 14 substansi perubahan pada RKUHP:
1. Penyesuaian hukum acara pidana dengan memperhatikan perkembangan hukum nasional dan internasional

2. Penyesuaian pengaturan hukum acara pidana dengan nilai-nilai KUHP baru yang menekankan orientasi restoratif, rehabilitatif, restitutif guna mewujudkan pemulihan keadilan substansi dan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat

3. Penegasan prinsip diferensi fungsional dalam sistem penilaian pidana yaitu pembagian peran yang proposional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat dan pemimpin kemasyarakatan untuk menjadi profesionalitas dan akuntabilitas

4. Perbaikan pengaturan mengenai kewenangan penyelidik, penyidik dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antar lembaga guna meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas sistem peradilan pidana

5. Penguatan hak-hak tersangka, terdakwa korban, saksi termasuk hak atas bantuan hukum pendampingan advokat, hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak serta perlindungan terhadap ancaman intimidasi atau kekerasan dalam setiap tahap penegakan hukum

6. Penguatan peran advokat sebagai bagian integral dalam sistem peradilan pidana

7. Pengaturan mekanisme keadilan restoratif atau restoratif justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana luar pengadilan yang dapat dilakukan sejak tahap penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan

8. Perlindungan khusus terhadap kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas, perempuan, anak dan lanjut usia diperkuat dengan kewajiban aparat untuk melakukan asesment keutuhan khusus serta menyediakan sarana dan prasaran pemeriksaan yang ramah dan aksesibel
9. Penguataan perlindungan penyandang disabilitas dalam setiap tahap pemeriksaan

10. Perbaika pengaturan tentang upaya paksa untuk menjamin penerapan prinsip perlindungan HAM dan due proces of law. Termasuk pembatasan waktu syarat penetapan dan mekanisme kontrol yudisial melalui izin pengadilan atas tindakan aparat penegak hukum

11. Pengenalan mekanisme hukum baru dalam hukum acara pidana antara lain pengakuan bersalah bagi terdakwa yang kooperatif dengan imbalan keringanan hukuman dan perjanjian penundaan penuntutan bagi pelaku tindak pidana korporasi

12. Pengaturan prinsip pertanggungjawaban atas tindak pidana korporasi

13. Pengaturan kompetensi, restitusi, rehabilitasi secara lebih tegas sebagai hak hukum korban dan pihak yang dirugikan oleh kesalahan prosedur atau kekeliruan penegakan hukum

14. Modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan proses peradilan yang cepat sederhana, transparan dan akuntabel.

Frasa Polri penyidik utama

Dalam keterangannya pada Jumat (14/11), Habib menyatakan tak menghapus frasa ' Polri sebagai penyidik utama' di dalam RKUHAP karena sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

Frasa itu ada di dalam Pasal 6 RKUHAP.

"Memang ada usulan bahwa ketentuan tersebut dihapus, namun demikian setelah diingatkan bahwa pasal tersebut sudah sesuai keputusan mahkamah konstitusi akhirnya tidak jadi dihapus," kata dia yang juga dikenal sebagai politikus Gerindra itu.

Frasa penyidik utama dalam KUHAP tertuang dalam Pasal 6 yang menjelaskan unsur penyidik, yang berbunyi, "(1) penyidik terdiri atas: a. Penyidik Polri; b. PPNS; dan c. Penyidik Tertentu".

Lalu pada ayat 2, "Penyidik Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang".

Penyitaan tanpa izin pengadilan

Dalam rapat lanjutan pembahasan RKUHAP pada Rabu (12/11) lalu para pembuat undang-undang menyepakati beleid penyitaan dilakukan tanpa izin ketua pengadilan negeri (PN) dalam keadaan mendesak.

Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 112A dan disepakati dalam rapat lanjutan Panja RKUHAP antara Komisi III DPR dan Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej.

"Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua pengadilan negeri (PN) hanya atas benda bergerak dan untuk itu paling lama 5 hari kerja wajib meminta persetujuan kepada ketua PN," demikian bunyi ayat (1) Pasal 112A.

Eddy menjelaskan, lewat ayat tersebut, penyidik artinya boleh melayangkan izin setelah penyitaan dilakukan, maksimal hingga lima hari.

Sementara, syarat keadaan mendesak diatur dalam ayat (2), yakni letak geografis yang susah dijangkau; tertangkap tangan; tersangka berpotensi merusak bukti; benda atau aset mudah dipindahkan; situasi lain berdasarkan penilaian penyidik.

Kemudian, ayat ketiga atau terakhir Pasal 112A mengatur tentang izin yang harus diberikan ketua pengadilan.

"Ketua PN paling lama 2 hari terhitung sejak penyidik meminta persetujuan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 wajib mengeluarkan penetapan persetujuan atau penolakan".

"Oke sepakat teman-taman?" ujar Habiburokhman meminta persetujuan peserta rapat pada Rabu pekan lalu itu.

Alat perekam selama pemeriksaan tersangka

Selain itu, Pemerintah dan DPR menyepakati alat perekam dalam proses pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh aparat aparat kepolisian dalam RKUHAP.

Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 31 ayat 2.

"Supaya aparatnya enggak dituduh sewenang-wenang juga, dia enggak gebukin, wah ini gebukin padahal enggak ada buktinya, kalau sama-sama bisa akses CCTV kan enak. Bagaimana? Aman? Ketok ya," ujar Habib.

Pasal 31 ayat 2 tersebut berbunyi, "Pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat direkam dengan menggunakan kamera pengawas selama pemeriksaan berlangsung".

Kemudian ayat 4 mengatur penggunaan rekaman digunakan untuk kepentingan pembelaan terhadap tersangka dan terdakwa.

Wamenkum Eddy Hiariej menyetujui usulan pasal tersebut. Dia menilai penggunaan rekaman diperlukan sebagai pengawas untuk memberikan keadilan baik bagi penyidik, pelapor, dan terlapor.

"Pemerintah setuju pak, karena dengan penggunaan kamera pengawas ini yang secara berimbang baik kepada pelapor dan terlapor itu bisa diberikan, Pak," kata Eddy.

(kid)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER