Pihak kantor imigrasi akhirnya turun tangan mendalami status 5 Warga Negara Asing (WNA) asal China yang melakukan penyerangan terhadap lima prajurit TNI dan seorang petugas keamanan tambang emas di Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) akhir pekan lalu.
Belasan WN China itu telah dibawa ke Kantor Imigrasi Kelas II Non-TPI Ketapang untuk diperiksa menyeluruh perihal keimigrasian masing-masing. Sebelumnya total 15 WN China itu melakukan penyerangan dengan senjata terhadap seorang petugas keamanan dan lima prajurit TNI di area tambang emas yang dikelola PT Sultan Rafli Mandiri (SRM) di Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang.
"Benar, sudah dibawa ke Kantor Imigrasi Ketapang," kata Kepala Seksi Teknologi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian (Kasi Tikim) Kantor Imigrasi Ketapang, Ida Bagus Putu Widia Kusuma, Selasa (16/12) seperti dikutip dari detikKalimantan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terkait proses keimigrasian, sedang kami lakukan pemeriksaan. Apakah ada pelanggaran atau tidak, ini masih diperiksa," sambungnya.
Sebelumnya, 15 WN China ini disebut adalah pemegang Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas) dengan sponsor perusahaan pertambangan emas yakni PT SRM manajemen yang lama.
"15 WNA tersebut adalah pemegang KITAS dengan sponsor PT SRM," kata Ida Bagus.
Kitas umumnya memiliki masa berlaku 6 bulan hingga 2 tahun, dan dapat diperpanjang. Fungsi KITAS mencakup izin tinggal resmi, izin kerja, izin belajar, hingga izin untuk keluarga WNI, memfasilitasi aktivitas legal WNA di Indonesia.
Ida Bagus mengatakan, Imigrasi Ketapang tak tinggal diam menyikapi kabar penyerangan oleh WN China di kawasan dekat PT SRM di Kabupaten Ketapang.
"Untuk saat ini mereka (15 WN China) masih ditangani oleh kepolisian dan kita siap support aparat penegak hukum terkait pelanggaran yang dilakukan orang asing," tegasnya.
Terpisah, PT SRM mempertanyakan keberadaan aparat hukum TNI area tambang emas di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat yang diduga dikuasai secara ilegal.
Direktur PT SRM Li Changjin melontarkan pertanyaan tersebut menyusul dugaan penyerangan anggota TNI oleh belasan pekerja berkewarganegaraan China pada Minggu (14/12) lalu.
"Ada apa kok TNI ikut-ikutan menduduki tambang yang diduga dikuasai secara ilegal, saat kasusnya masih berperkara di PTUN dan berada dalam penyelidikan Bareskrim Polri," ujar Li Changjin melalui keterangan tertulisnya, Selasa (16/12).
Meski begitu, Li Changjin membenarkan ada warga negara asing (WNA) asal China sebagai staf teknis yang mengoperasikan moda nirawak (drone) di area tambang tersebut. Namun, perusahaan membantah pekerjanya melakukan penyerangan anggota TNI dari Batalyon Zeni Tempur 6/Satya Digdaya (Yonzipur 6/SD).
"Itu bukan area militer atau area yang dilarang. Kenapa tidak boleh menerbangkan drone di area tambang milik sendiri? Jadi ada pihak yang tidak suka, WNA yang mengoperasikan drone hingga akhirnya drone dan ponselnya disita," tegasnya.
Li Changjin menjelaskan perlengkapan staf teknis tersebut berupa drone dan ponsel disita serta hasil rekaman drone dihapus oleh pihak TNI, dan kemudian dikembalikan.
"Pada saat kejadian, staf teknis kita bahkan dalam kondisi ketakutan karena drone dan hp langsung disita sama mereka. Siapa yang tidak takut dengan tentara, tapi apa kepentingan mereka di sana? Kami juga tidak tahu," cerita Li Changjin.
Lebih lanjut, Li Changjin menegaskan Imran Kurniawan yang mengaku sebagai Chief Security PT SRM bukan pihak dari perusahaan. Imran dituding sebagai pihak tak bertanggung jawab yang ingin menguasai dan mengoperasikan fasilitas tambang emas tersebut.
"Imran Kurniawan dan komplotannya sedang didalami oleh Bareskrim Polri diduga melakukan pendudukan secara ilegal dengan membuat anggaran dasar palsu dan pendaftaran palsu di Ditjen AHU. Dia bukan staf dan petugas PT SRM," tambahnya.
Ia mengungkap WNA China tersebut sengaja diasingkan dan dihalangi oleh Imran untuk memasuki area perusahaan.
Lalu, Li Changjin juga membantah terkait tuduhan membawa senjata tajam, berupa airsoft gun dan alat setrum karena tidak ada bukti yang jelas.
Sebelumnya, TNI AD melalui KOdam XII/Tanjungpura, mengungkap kronologi penyerangan yang dilakukan oleh 15 Warga Negara Asing (WNA) asal China terhadap 4 anggota Batalyon Zipur 6/SD, di Ketapang, Kalimantan Barat.
Kapendam XII/Tanjungpura, Kolonel Inf Eko Wardono menyebut para prajurit yang terlibat dalam insiden itu sedang dilaksanakan Latihan Dalam Satuan. Eko menjelaskan ketika itu anggota yang sedang latihan mendapatkan informasi dari pihak keamanan jika terlihat drone terbang di seputaran area latihan.
"Selanjutnya anggota melakukan pengejaran serta mendatangi lokasi orang yang mengoperasional drone, ternyata drone tersebut dioperasionalkan 4 orang WNA asal Beijing," jelasnya dalam keterangan tertulis, Selasa kemarin.
Ia mengatakan pada saat itu anggota berupaya meminta keterangan dari keempat WNA terkait alasan penerbangan drone. Akan tetapi, Eko menyebut secara tiba-tiba muncul 11 WNA lainnya dan langsung menyerang anggota dengan senjata tajam, airsoft gun dan alat setrum.
"Motif penyerangan dan penerbangan drone ini masih didalami. Kerugian materiil akibat penyerangan itu berupa kerusakan berat pada 1 unit Mobil Perusahaan jenis Hilux dan 1 unit sepeda motor vario milik karyawan PT SRM," katanya.
Mengutip dari detik.com, hingga Senin (15/12) kemarin, Kapolres Ketapang AKBP Muhammad Harris mengatakan, hingga saat ini belum ada pihak yang membuat laporan resmi ke Polres Ketapang. Baik dari korban penyerangan dari unsur sipil, TNI maupun perusahaan.
"Kami proses klarifikasi terlebih dulu, karena belum ada laporan (LP) resmi baik ke polsek maupun polres," kata Harris
Sementara itu, pada hari peristiwa terjadi, Kapolsek Tumbang Titi, Iptu Made Adyana mengatakan sesaat setelah insiden terjadi situasi sudah kembali kondusf.
"Sampai dengan saat ini situasi kondusif," jelasnya, Minggu malam seperti dikutip dari detikKalimantan.
Sebelumnya, Imran Kurniawan selaku Chief Security PT SRM menjelaskan penyerangan terjadi di Desa Pemuatan Batu, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, pada Minggu kemarin, sekitar pukul 15.40 WIB.
Kronologi kejadiannya bermula pada pukul 15.30 WIB, anggota pengamanan sipil PT SRM sedang melaksanakan tugas jaga. Terlihat aktivitas penerbangan moda nirawak atau drone di sekitar area PT SRM. Dan, pada saat bersamaan ada empat WNA yang menerbangkan drone.
Imran menjelaskan soal keberadaan anggota TNI turut dalam tim pengamanan perusahaan mendekati WN China yang menerbangkan drone.
"Saat anggota pengamanan kami dan anggota TNI turun dari kendaraan, tiba-tiba datang sebelas WN China lainnya. Mereka membawa empat bilah sajam [senjata tajam] dan air softgun, serta alat setrum," kata Imran, Minggu, seperti dikutip dari detikKalimantan.
Kendaraan properti PT SRM yang rusak akibat penyerangan belasan WN China di Ketapang, Kalbar. (Dok. Istimewa via Detikcom) |
Dia bilang lima anggota TNI dari Batalyon Zeni Tempur 6/Satya Digdaya (Yonzipur 6/SD) Anjungan yang ada di lokasi. Dan pada saat itu, mereka akhirnya ikut melakukan pengejaran terhadap WN China yang menjadi pilot drone.
"Saat anggota pengamanan kami mengejar pilot drone, lima anggota Yonzipur 6/SD yang ada di lokasi kejadian karena mereka sedang dalam kegiatan LDS (latihan dasar satuan) di PT SRM. Jadi total ada enam yang mengejar pilot drone," beber Imran.
Imran mengatakan kendaraan properti perusahaan tambang emas itu rusak akibat keributan terkait belasan WN China itu. Dia bilang kendaraan properti perusahaannya dirusak belasan WN China itu.