LATAR BELAKANG

Dilema 'Bola Salju' Ekonomi ASIAN Games

CNN Indonesia
Rabu, 06 Agu 2014 16:03 WIB
Dorongan dan insentif ekonomi sering dijadikan alasan untuk jadi tuan rumah kompetisi olah raga berskala internasional seperti Olimpiade, Piala Dunia, dan Piala Asia. Demikian pula dengan Indonesia.
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Jika berjalan sesuai rencana, seharusnya pada 2019 rakyat Vietnam akan menyambut kedatangan kontingen atlet dari berbagai negara di Asia pada gelaran ASIAN Games ke-18. Turnamen itu akan menjadi turnamen berksala besar pertama yang diselenggarakan di negara yang baru saja 'selesai' perang pada pertengahan 1970-an tersebut.

Tapi pada 24 April 2014, Vietnam memutuskan untuk undur diri sebagai tuan rumah.

Meski menjadi negara gila olahraga, terutama sepakbola, Perdana Menteri Vietnam, Nguyen Tan Dung, berkata bahwa Vietnam tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam menyelenggarakan pesta olah raga dalam skala besar. Ia juga mengutarakan permasalahan ekonomi sebagai salah satu faktor dibalik pengunduran diri tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Tan Dung, menjadi tuan rumah memang bisa mendapatkan "sumbangan untuk perkembangan ekonomi-sosial, menaikkan citra negara, dan menaikkan posisi daya tawar." Tapi, jika penyelenggaraan ini tidak sukses, maka efeknya akan terbalik, demikian dinyatakan sang perdana menteri lewat surat rilis resmi pemerintah Vietnam.  

Kabar pengunduran diri Vietnam ini lalu disambut antusias oleh Indonesia. Melalui badan Komite Olahraga Indonesia, dua kota yaitu Jakarta dan Palembang diajukan sebagai tuan rumah pengganti Hanoi.

Tak hanya KONI, Plt Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, pun ingin agar Jakarta bisa terpilih sebagai tuan rumah. Selain berharap akan adanya perbaikan pada infrastruktur seperti renovasi Gelora Bung Karno sebagai persiapan menjadi tuan rumah ASIAN Games nanti, pejabat yang akrab dipanggil dengan sapaan Ahok ini juga berangan-angan akan adanya percepatan pembangunan Stadion Taman BMW dan juga infrastruktur lainnya.

Selain jalur Mass Rapid Transportation (MRT), Ahok menginginkan agar pembangunan Light Rapid Transit, jalur lingkar layang KRL, dan sistem bus kota juga bisa selesai dibangun sebelum ASIAN Games berlangsung.  

Insentif ekonomi memang sering kali dijadikan alasan untuk menyelenggarakan suatu perhelatan akbar.

Misalnya yang terjadi di Chiang Mai, Thailand. Pada 1997, kota ini dipilih oleh pemerintah Thailand untuk menjadi tuan rumah kompetisi olah raga se-Asia Tenggara, atau SEA Games. Kota yang dulunya lebih terkenal karena keindahan alam dan tidak memiliki berbagai fasilitas modern tersebut lalu dilimpahi beberapa proyek: pembangunan stadion utama, kompleks iolah raga, jalan bebas hambatan, dan juga jalan lingkar kota beserta pembangunan infrastruktur lain.

Berbagai atraksi wisata untuk para turis SEA Games pun dibangun, seperti halnya Safari Malam, Proyek Flora Chiang Mai, dan juga Pusat Konvensi Internasional.

Pembangunan-pembangunan ini pada akhirnya mendorong perkembangan Chiang Mai sebagai suatu kota. Kemudahan akses dan infrastruktur lalu membuat Chiang Mai bertansformasi jadi kota industri nan modern saat ini.

Tapi tak semua 'bola salju' ekonomi berefek positif atau akan jadi sebesar yang dibayangkan. Misalnya saja Piala Dunia Afrika Selatan yang berlangsung pada 2010 lalu. Pada gelaran akbar sepakbola tersebut, pemerintah Afrika Selatan mengeluarkan kurang lebih 3.9 milliar dollar untuk konstruksi stadion dan juga infrastruktur lain.

Dengan mengeluarkan dana tersebut, mereka berharap adanya perubahan citra negara dan juga peningkatan wisatawan ke Afrika Selatan. Tapi, nyatanya, ketika Piala Dunia berlangsung, hanya ada kurang lebih 200.000 turis yang berkunjung, dan hanya total 300.000 turis sepanjang tahun 2010.

"Artinya, pemerintah mengeluarkan dana hampir 13 ribu dollar untuk setiap turis yang berhasil didatangkan," ujar Johan Fourie, seorang profesor ekonomi di Universitas Stellenbosch di Afrika Selatan pada CNN Money.

Sebuah penelitian ekonomi yang dilakukan oleh Citibank pada kota-kota penyelenggara 10 Olimpiade terakhir menunjukkan bahwa dorongan ekonomi sebenarnya telah diserap oleh para penyelenggara justru sebelum kompetisi dimulai. Ini karena pengeluaran paling besar adalah untuk infrastruktur olah raga seperti stadion dan sarana lain. Terlebih lagi tidak ada nilai tambah ekonomi yang bisa didapatkan dari sarana-sarana tersebut.

Ketua Komite Olimpiade Indonesia, Rita Subowo, berkata bahwa pemborosan ini akan coba dihindari. Apalagi Jakarta dan Palembang telah memiliki pengalaman menjadi tuan rumah SEA Games, sehinga sebagian besar infrastruktur telah dipunyai Indonesia dan hanya perlu direnovasi.

Untuk penginapan atlet pun Rita berujar bahwa ia akan menggunakan apartemen yang tersedia di seputar Jakarta. Tapi bukan berarti ia tak menginginkan pembangunan sesuatu dengan adanya ASIAN Games.

"Jakarta sendiri harus memiliki velodrome berskala internasional," ujarnya pada akhir Juli lalu.
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER