Jakarta, CNN Indonesia -- Atlet bintang paralimpik Oscar Pistorius dibebaskan pengadilan Afrika Selatan pada Kamis (11/9) dari tuduhan pembunuhan Reeva Steenkamp.
Vonis bebasnya dibacakan hakim pengadilan, Thokozile Masipa, meski pengadilan sempat tertunda. Masipa sendiri berkata bahwa ia telah puas dengan bukti-bukti yang ditampilkan di pengadilan.
"Saya menilai bahwa terdakwa bertindak tergesa-gesa dan menggunakan kekerasan secara berlebihan. Jelas bahwa ia telah lalai," ujar Masipa di tengah persidangan. Ia juga menganggap bahwa tindakan Pistorius tidak beralasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam persidangan, jaksa penuntut Garrie Nel gagal membuktikan atlet berusia 27 tahun tersebut sengaja membunuh Steenkamp, dengan menembaknya setelah Pistorious dan Steenkamp bertengkar pada 14 Febuari lalu.
Kuasa Hukum Pistorius mengatakan bahwa penembakan tersebut merupakan kecelakaan akibat sang atlet salah mengira Steenkamp sebagai penyusup.
Pistorius tampak duduk termenung dan mengeluarkan air mata sesaat setelah Hakim menyampaikan putusan tidak bersalah.
Jika ia terbukti bersalah, Pistorius akan menghadapi hukuman 25 tahun kurungan penjara sesuai dengan hukum Afrika Selatan.
Terkait putusannya, meski Pistorius menjadi saksi yang "sangat buruk", Masipa menyatakan masih diperlukan bukti yang lebih kuat untuk membuktikan pembunuhan tersebut.
"Jaksa tidak dapat membuktikan bahwa ia bersalah tanpa sama sekali keraguan," ujar Masipa. "Masih kurang bukti."
Hakim kemudian menolak untuk melanjutkan kasus Pistorus dengan tuntutan tahap pembunuhan yang lebih ringan --dikenal dengan 'dolus eventualis'-- yaitu tergugat akan dikenakan sanksi jika efek dari tindakannya berlanjut.
"Jelas Pistorius tidak akan mengira akan membunuh orang yang berada di balik pintu, apalagi ia berpikir korban sedang tertidur di kasur," ujar Masipa.
Pakar hukum mengatakan Jaksa dapat mempertanyakan putusan ini.
"Saya pikir bahwa keputusan atas tuntutan pembunuhan terenana ini dapat diterima dengan baik dan sangat beralasan, dan bukan suatu kejutan," ujar Stephen Tuson, pengajar hukum di Universitas Witwatersrand Johannesburg.